Berita

Menilik Fenomena Bumbung Kosong Dalam Pilkada

265
×

Menilik Fenomena Bumbung Kosong Dalam Pilkada

Sebarkan artikel ini
Ropingi el Ishaq, pengajar IAIN Kediri

Blitar, Harian Forum.com – Salah satu yang mengkhawatirkan dalam gelaran pemilihan Kepala Daerah adalah terjadinya bumbung kosong. Fenomena politik yang pernah terjadi di Kabupaten Blitar pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah tahun 2016 dijalankan dengan satu pasangan calon menghadapi bumbung kosong. Kemudian pada tahun 2019 di Kabupaten Kediri, satu pasangan calon menghadapi bumbung kosong.

Calon tunggal pada pemilihan Kepala Daerah merupakan sebuah anomali demokrasi, dimana dalam pemilihan hakikatnya masyarakat dipaksa memilih satu calon, karena lawannya hanya bumbung kosong. Sangat kecil kemungkinan masyarakat memilih bumbung kosong, meskipun para pemilih tidak menyukai dengan pasangan calon yang ada. Para pemilih akan berpikir dipastikan lebih baik memilih calon yang ada dari pada memilih bumbung kosong.

Dalam konteks demokrasi Pancasila prinsip dasarnya adalah musyawarah mufakat, sebenarnya pemilihan pemimpin tidak selalu harus melalui pemungutan suara. Pada masa Orde Baru berkali-kali dilakukan, yang mana Partai Peesatuan Pembangunan, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia, bersepakat untuk memilih HM. Soeharto sebagai Presiden diperiode berikutnya. Sedangkan Pasca Reformasi, pemilihan Presiden dan pemilihan Kepala Daerah sudah diatur di dalam undang-undang tersendiri, mengatur tentang pemilihan Presiden dan Kepala Daerah melalui pemungutan suara, sehingga pemungutan suara dalam Pilkada menjadi sebuah keharusan Undang-Undang.

Lalu permasalahannya adalah bagaimana jika hanya ada satu pasang calon saja yang maju dalam pemilihan Kepala Daerah, dan itupun belum tentu ideal. Majunya satu pasang calon ini mengindikasikan beberapa hal, pertama adanya calon memiliki tingkat elektabilitas tinggi yang sulit untuk dikalahkan sehingga calon – calon yang lain tidak berani muncul. Kondisi seperti ini cukup menggembirakan sebenarnya, kenapa karena berarti terdapat calon pemimpin yang sangat disukai oleh masyarakat. Tetapi sekali lagi perihal tersebut tidak menjamin bahwasanya calon yang disukai oleh masyarakat luas tersebut berkompeten.

Kedua adanya satu pasang calon menunjukkan bahwa masyarakat sebagai pemilih tidak menghasilkan calon – calon pemimpin yang qualified dalam jumlah yang banyak, terbukti hanya ada satu pasangan calon. Perihal tersebut lebih jauh dapat diartikan bahwa tidak ada calon yang layak untuk maju dan dipilih oleh rakyat sebagai pemimpin. Ketiga, majunya satu pasangan calon tentunya harus menghadapi kandidat bumbung kosong, dalam pemilihan telah mengindikasikan betapa demokrasi pada saat ini sudah dikapitalisasi. Santer terdengar adanya mahar politik dari para calon yang ingin memperoleh rekomendasi dari partai politik. Adanya mahar politik ini berarti calon pemimpin yang akan maju dituntut untuk menyediakan logistik untuk dana untuk kampanye, dikarenakan partai politik tidak meng-cover dana kampanye. Sangat berat, calon dituntut untuk memahami permasalahan daerah untuk merumuskan program-program unggulan, namun disisi lain calon masih harus menanggung logistik pemilihan. Sehingga tidak dipungkiri, hanya calon – calon memiliki modal dana besar yang bisa maju menjadi calon, meskipun calon tersebut belum tentu memiliki kualifikasi kepemimpinan.

Sementara, kader-kader yang memiliki kualitas, dedikasi, loyalitas, komitmen yang tinggi serta kualifikasi kepemimpinan yang baik, namun kebetulan tidak memiliki logistik kuat menjadikan jalan untuk maju menjadi calon Kepala Daerah telah tertutup, merupakan bentuk dzhalim murakkab atau dzhalim yang berlipat – lipat yang dilakukan partai politik, dan kondisi yang ada terjadi di dalam demokrasi kita. Mengapa, karena pola tersebut mempersempit ruang demokrasi yang pada dasarnya untuk membuka kran – kran aspirasi sehingga semua calon – calon yang memiliki kompeten bisa hadir untuk menjadi pemimpin.

Keempat, partai politik dikatakan telah mengalami kegagalan tidak hanya pada edukasi politik, namun juga partai politik tidak berhasil menyiapkan calon – calon pemimpin di daerah. Partai politik pada saat ini tidak melakukan edukasi politik, bahkan bisa dikatakan hanya menjadi makelar politik sebagai buah regulasi politik. Bisa dilihat dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011, Perubahan Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2008, partai politik tidak lagi menjadi lembagai edukasi politik.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 masih bicara tentang edukasi politik untuk anggota maupun masyarakat. Sementara Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak berbicara tentang fungsi partai politik, akan tetapi Undang – Undang tersebut hanya mengatur administrasi partai politik saja. Dari sinilah bisa dipahami mengapa partai politik saat ini tidak lagi memiliki idealisme, akan tetapi sangat pragmatis.

Fenomena bumbung kosong sesuatu perihal yang sangat mengkhawatirkan bagi kita masyarakat luas. Disaat partai politik sudah sangat pragmatis, kapitalisasi demokrasi di tingkat daerah dapat dilakukan dengan cara menciptakan bumbung kosong. Partai – partai politik bisa bersepakat hanya memunculkan satu pasangan calon agar memiliki potensi kemenangan sangat tinggi. Bumbung kosong sebagai bentuk rekayasa dalam pemilihan Kepala Daerah, dengan orientasi bahwasanya partai politik bisa menancapkan kuku untuk mencengkeram kekuasaan yang lebih kuat dan berkelanjutan. Cengkeraman kekuasaan partai politik bersama pemodal besar atau konglomerat, pada akhirnya membahayakan sumber daya daerah yang ada.Konglomerat yang memiliki kepanjangan tangan kekuasaan melalui partai politik, sangat berpeluang menguasai sumber daya daerah yang ada.Penguasaan sumber daya daerah jelas tidak akan dimanfaatkan bagi kemakmuran masyarakat secara menyeluruh, akan tetapi hanya akan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, siapa saja yang memiliki akses kepada konglomerat dan pejabat dan jumlahnya tidak banyak. Kalaupun berbagi, kemungkinan bisa merata sangat kecil salah satunya siapa yang bisa mendapatkan kaos dan amplop di saat pejabat turun ke daerah dengan membagi – bagi amplop dan melempar – lempar kaos, hanya orang-orang tertentu.

Sekali lagi, bumbung kosong menjadi jalan potensial perselingkuhan pejabat dan konglomerat untuk menggenggam kekuasaan dan menghisap sumber daya daerah.Pada titik ini, pemiskinan struktural akan menjadi realitas sehari – hari.( * )

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *