Seni Budaya

Sejarah Makam Raja Mataram di Pajimatan Imogiri

510
×

Sejarah Makam Raja Mataram di Pajimatan Imogiri

Sebarkan artikel ini

A. Kaswargan Para Nata ing Tanah Jawi.

Pajimatan Imogiri merupakan tanda kebesaran adat istiadat peradaban. Pelestarian tata cara adat demi kehidupan yang ayem tentrem. Hari Senin Wage, 5 Oktober 2020 diselenggarakan pisowanan di makam Pajimatan Imogiri. Sebagai pimpinan yaitu KGPH Mangkubumi, Putra Sinuwun Paku Buwana XIII.

Putra Mahkota Karaton Surakarta Hadiningrat ini berdiri di depan untuk memuliakan para raja Mataram, yang sudah cinandi ing angkasa, manjing ing kaswargan jati. Dengan harapan bumi pertiwi kokoh jatidiri, berkilauan dalam kepribadian.

Makam Imogiri dibangun oleh Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Pada tahun 1621 beliau naik haji ke Makkah. Saat melempar jumrah, tiba tiba batu terbang melayang. Batu jumrah itu jatuh di atas Gunung Merak. Atas wangsit Kanjeng Ratu Waskitha Jawi, Permaisuri Panembahan Senapati ada dhawuh khusus. Tempat di atas Gunung Merak itu, supaya digunakan untuk memule Trah Mataram.

Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, surut ing kasedan jati tahun 1645. Tempat pemakaman di puncak Gunung Merak yang diberi nama Pajimatan Imogiri. Enam tahun kemudian, tahun 1651 Kanjeng Ratu Batang ndherek sumare. Beliau adalah garwa prameswari Kanjeng Sultan Agung. Abdi dalem dalang kinasih yang diperkenankan ikut dalam satu kompleks pemakaman yakni Dalang Panjang Mas.

Tahlil tahmid tasbih takbir berkumandang di kaswargan Sultan Agungan. Sayup Sayup seperti bremara reh mbrengengeng. Lir swaraning madu brangta. Manungsum sarining kembang. Abdi dalem ulama Pajimatan membaca doa dengan khusuk.

Kukusing dupa kumelun, ngeningken tyas sang apekik, kawengku sagung jajahan, nanging sanget angikibi, sang Resi Kanekaputra, kang anjog saking wiyati.

Bau dupa sumerbak wangi. Sekar ganda arum diuntai di pusaka Makam Sultan Agung. Melati, kenanga, mawar menjadi piranti tata cara. Doa puji pangastuti bersama dengan sekar sumawur.

Abdi dalem Bedaya berbusana Jawa dengan pakaian kemben. Nyampingan, sanggulan, samiran duduk timpuh. Lenggah andheku amarikelu, nenuwun murih raharjaning jagad raya.

Sementara abdi dalem kakung mengenakan busana padintenan. Kali ini warna agak beragam. Menandakan tata cara termasuk acara isindentil. Kalau ada hajad penting, Karaton Surakarta Hadiningrat senantiasa mohon lilah pada leluhur.

Berurutan yang seba yaitu KGPH Mangkubumi, GKR Retno Dumilah, GKR Wandansari, KPH Wirrobhumi. Diikuti sentana, wayah dalem dan abdi Bedaya. Pagi hari sebelumnya hujan deras mengguyur. Tapi sore itu waktu menunjukkan pukul 17 sore. Angin sumilir sepoi sejuk. Angkasa rasa tampak biru cerah. Tanda doa terkabul. Sembada kang sinedya, jumbuh kang ginayuh.

Segera turun melewati gapura Sri Manganti. Rindang pepohonan, terutama wit maja. Kanan kiri petamanan yang dirawat rapi. Pantulan cahaya matahari dari arah barat, asri terang benderang. Seberang arah selatan berdeburan ombak samudera Kidul.

Kompleks makam raja Mataram untuk sebelah timur disediakan keluarga Karaton Yogyakarta. Sebelah barat untuk keluarga Karaton Surakarta Hadiningrat. Pengelola makam terdiri dari para abdi dalem.

Tangga makam berundak undak. Terhitung dari tangga terbawah sampai paling atas berjumlah 582. Untuk melewati diperlukan tenaga ekstra. Keringat gemrobyos tanda olahraga. Sowan di Pajimatan Imogiri berarti menyehatkan badan.

Hari mulai gelap. Tata cara dilanjutkan di kaswargan kaping sedasan. Penerangan berupa anglo padupan. Perapian menyala di makam Sinuwun Paku Buwana X, Sinuwun Paku Buwana XI, Sinuwun Paku Buwana XII.

Kewibawaan spiritual muncul dengan kesungguhan. Para pendherek tradisi berbakti sebagai wujud dedikasi.

B. Memegang Paugeran Turun Tumurun.

Paugeran dipegang kuat oleh sentana, pengageng dan abdi dalem. Urusan pemakaman Trah Karaton Mataram diatur sangat rinci. Drajad seseorang menurut protokol paugeran. Nak tumanak run tumurun berlaku menjadi tradisi yang dipegang teguh.

Pendherek di makam Imogiri terbatas raja, istri dan putra. Untuk wayah cucu disediakan makam di Pasareyan Ki Ageng Henis Laweyan. Untuk generasi wayah buyut cicit mendapat jatah makam Ngendhen. Itu tradisi yang berlangsung berabad abad.

Generasi pendahulu Sultan Agung bersemayam di Puroloyo Kotagedhe. Di sana terdapat makam Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya Kamidil Syah Alam Akbar Panetep Panatagama. Beliau memerintah kerajaan Pajang tahun 1546-1682. Disusul makam Panembahan Senapati raja Mataram tahun 1682-1601. Diteruskan makam Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati,raja Mataram tahun 1601-1613.

Kanjeng Panembahan Senapati beserta dua garwa prameswari, GKR Waskitha Jawi, putri Ki Penjawi bupati Pati. Juga GKR Retno Dumilah putri Pangeran Timur, Bupati Madiun yang masih keturunan Kasultanan Demak Bintara. Beliau berdua amat berpengaruh terhadap gerak peradaban sejarah Kraton Mataram.

Tokoh tokoh Pajang dan awal Mataram dimakamkan di Puroloyo Kotagede. Seperti Ki Ageng Pamanahan, Ki Ageng Juru Martani.
Sesepuh Mataram ini sungguh bijak bestari, Waskitha ngerti sakdurunge winarah.

Keistimewaan terjadi pada diri Kanjeng Sinuwun Amangkurat Agung. Beliau raja Mataram yang beribukota di Plered. Tanggal 10 Juli 1677 wafat di Lesmana, Ajibarang, Banyumas. Lantas dimakamkan di Pakuncen Adiwerna Tegal.

Kompleks makam raja Surakarta Hadiningrat di Imogiri siang malam ramai peziarah. Para penghayat Kejawen percaya bahwa ingkang sumare adalah jalma limpat seprapat tamat. Kemuliaan mereka bisa merembes pada putra wayah yang mau ngalap berkah.

Para putra raja Surakarta Hadiningrat menjelang tahun 1945 aktif dalam BPUPKI, Badan Penyelidik usaha Usaha Kemerdekaan Indonesia. Misalnya KGPH Suryahamijaya, KRMA Wuryaningrat, KRMA Sosrodiningrat. Beliau dimakamkan di kompleks kaping sedasan. Juga Prof Dr Notonagoro, guru besar dan ahli filsafat Pancasila UGM. Jasa mereka pada Negara Indonesia amat besar.

Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak dibantu oleh keluarga kerajaan Nusantara. Mereka aktif dalam pergerakan dan perjuangan. Pikiran dan jasanya layak dikenang sepanjang masa.

Nilai kejuangan berlangsung pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana XII. Beliau memerintah Karaton Surakarta Hadiningrat tahun 13 Juli 1945- 11 Juni 2004. Pemerintah Indonesia memberi banyak piagam penghargaan kepada Sinuwun Hamardika.

Perjalanan spiritual diteruskan di Pantai Parangkusumo. Untuk menghormati penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencono Sari. Beliau tingal di istana Soko Domas Bale Kencono. Istana Kanjeng Ratu Kidul terbuat dari emas yang berkilauan.

Saat itu jatuh pada malam Selasa Kliwon. Gisik samudra Kidul menjadi sarana meditasi bagi penghayat Kejawen. Ilmu iku kelakone kanthi laku.

Pajimatan Imogiri memberi pelajaran sejarah. Kejayaan masa lampau harus tetap berlanjut. Medang, kahuripan, jenggala, daha, Kediri, Majapahit, Demak, Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, Paku Alaman mewariskan peninggalan luhur. Sebuah kaca benggala untuk generasi muda.

(Dr. Purwadi, M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *