Blitar, Harian Forum.com – Mengungkap kembali sejarah peran warga Gerakan Pemuda Ansor ikut menumpas aksi-aksi yang mendasarkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme yang jelas bertentangan dengan Pancasila, baik di saat sebelum maupun sesudah meletusnya Gerakan 30 September PKI atau G 30 S PKI. Mengupas sebagian isi buku “Banser Berjihad Menumpas PKI”, diterbitkan pasa Agustus 1996 oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur Dan Pesulukan Thoriqot Agung (PETA) Tulungagung untuk mengingatkan kepada generasi muda nahdliyin dimasa sekarang dan masa yang akan datang, bahwa berdirinya Barisan Ansor Serba Guna atau Banser merupakan reaksi atas aksi-aksi sepihak yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI, mulai dari perang urat syaraf hingga benturan fisik. Mengutip kata sambutan Pimpinan Wilayah GP Ansor Jawa Timur, buku yang disusun oleh Drs Agus Sunyoto, M.Pd bersama Miftahul Ulum, SH, H.Abu Muslih serta Imam Khusnin Ahmad, disampaikan betapapun peran Banser pada saat itu tidak terlepas dari komando ABRI, secara praktis aksi-aksi penumpasan yang melibatkan Banser, selalu berada pada garis komando atau perintah dari pihak militer, bukan gerakan liar.
Dalam buku tertulis, berdirinya Barisan Ansor Serba Guna atau Banser, KH Abdurorrochim Sidiq salah satu pendiri Banser menuturkan, dibentuknya Banser tidak lain karena makin maraknya aksi massa sepihak yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, dimana semua aset yang dimiliki pemerintah diklaim milik rakyat, artinya semua milik pemerintah akan dimiliki oleh PKI, mulai dari tanah bengkok atau tanah – tanah kas desa secara sepihak diklaim milik PKI dengan mengatasnamakan rakyat. Tidak hanya itu tanah milik orang kaya dirampas, bahkan sekolah – sekolah negeri diklaim sebagai sekolah milik PKI.Menurut KH Abdurorrochim Sidiq, dengan aksi sepihak tersebut baik perangkat desa maupun guru – guru yang ingin terus bekerja, harus menjadi anggota Partai Komunis Indonesia.
Dilakukannya aksi massa sepihak oleh PKI, seorang pemilik surau melaporkan penguasaan sekolah – sekolah dasar kepada GP Ansor kabupaten Blitar.Dan atas laporan tersebut, GP Ansor melakukan aksi tandingan yang dikenal dengan istilah “drop-dropan”, dimana anggota PKI dan anggota Ansor terlibat tawuran di desa – desa. Merasakan suasana bertambah hari semakin genting, pengurus GP Ansor mengadakan pertemuan yang dihadiri M. Zein Kayubi, Abdurrohim Sidiq, Moch Fadhil, Supangat, Dzanuri Acham, Moch Romdhon, Chudhori Hasyim, Atim Miyanto, Badjuri dan Ali Mukhsin, memutuskan membentuk satuan paramiliter merupakan embrio terbentuknya Banser. Dalam buku setebal 182 halaman, menurut Dzanuri Acham dan Moch Romdhon tentang pemberian nama kesatuan paramiliter Ansor, Moch Fadhil menyampaikan usul dengan Barisan Ansor Serbaguna yang disingkat BANSER, dan usulan diterima yang hadir dalam pertemuan, yang mana paramiliter serbaguna Banser dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dimasa genting atau waktu aman.
Sedangkan lambang yang disepakati, keberadaan Banser meliputi cangkul, senapan dan kitab. Menurut Moch Romdhon, makna dari lambang tersebut bahwasanya seorang anggota Banser disimbolkan dengan Cangkul siap melakukan pekerjaan membantu masyarakat yang membutuhkan, Senjata siap membela agama, bangsa dan negara serta simbol Kitab siap untuk belajar.
Gagasan pembentukan Banser diterima oleh pengurus pusat GP Ansor di Jakarta dan ketua PBNUKH Idham Chalid pada peringatan hari lahir Gerakan Pemuda Ansor 24 April 1964 di Jakarta, dalam suatu apel telah melantik Banser Blitar serta menetapkan Zein Kayubi menjadi komandan.Dalam apel tersebut, KH Idham Chalid juga mencanangkan pembentukan Banser berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia, untuk mengantisipasi gerakan komunis di Indonesia terutama menanggulangi aksi – aksi massa sepihak PKI.
Pembentukan paramiliter Banser mendapat sambutan di Blitar, Kediri, Malang, Surabaya dan Banyuwangi dimana anggota Banser mendapat pendidikan militer khusus dari Komando Distrik Militer, Komando Rayon Militer, bahkan Banser Banyuwangi mendapat pelatihan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD. Namun begitu, tradisi yang berlaku dikalangan warga Nahdliyin latihan kemiliteran dianggap belum cukup, yang mana dalam tradisi Nahdliyin dikenal doktrin yang tidak bisa memisahkan antara pembinaan fisik oleh militer, dengan pembinaan kekuatan spiritual oleh para kyai, perihal yang sama dilakukan oleh generasi muda Nahdlatul Ulama saat terlibat dalam kegiatan kemiliteran pada pembentukan kesatuan Pembela Tanah Air, Hizbullah dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Asy Syekh Abdul Djalil Mustaqim atau dikenal Kyai Djalil, pengasuh pondok Pesulukan Thoriqot Agung, Tulungagung didalam buku Banser Berjihad Menumpas PKI menuturkan menjelang meletusnya G 30 S PKI, para pemuda Islam yang tergabung dalam GP Ansor maupun santri – santri datang ke pondok PETA, meminta bekal kekuatan gemblengan.Kyai Djalil mewakili Romo Kyai Mustaqim memberi bekal kepada para pemuda dengan rotan yang sudah diberi do’a – do’a. Selain Asy Syekh Abdul Djalil Mustaqim, pengasuh pondok pesantren Al – Hikmah, Purwosari, Kediri KH. Badrus Sholeh, KH Achyar Blitar, KH Mohamad Zubair Tulungagung, KH Machrus Ali dan KH Syafii Marzuki Lirboyo Kediri, KH Mas Muhadjir Sidosermo Surabaya, KH Jawahiri Kencong Kediri, KH Shodiq Pagu Kediri, KH Abdullah Sidiq Jember dan masih banyak para kyai terkenal lainnya, juga memberikan gemblengan – gemblengan spiritual.
Terbentuknya Banser menjadi spirit yang kuat bagi para anggota Ansor menggalang kekuatan untuk menangkal aksi massa sepihak yang dilakukan oleh PKI.Bentrokan – bentrokan fisik sering terjadi antara Banser dengan PKI yang saling menyerang, salah satunya di pondok pesantren Kanigoro, Kras Kediri pada pagi 13 Januari 1965, ribuan Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia dengan bersenjatakan golok, pedang, kelewang, arit dan pentungan berteriak dengan histeris ” Ganyang Santri, Ganyang Serban, Ganyang Kapitalis, Ganyang Masyumi “, tidak hanya menyerbu kegiatan mental training Pemuda Pelajar Indonesia namun juga mengumpulkan kitab Al Qur’an serta buku pelajaran agama, kemudian dimasukkan kedalam karung dan diinjak – injak dengan memaki – maki.Sementara pimpinan dan pengasuh pondok pesantren, ditangkap dan dianiaya. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan Banser Kediri, dan dalam waktu singkat Gus Maksum Djauhari melakukan konsolidasi hingga pada siang 13 Januari 1965, delapan truk berisi anggota Banser menggerebek markas dan rumah para anggota PKI dan pimpinan Pemuda Rakyat serta Barisan Tani Indonesia, selanjutnya ditangkap dan diserahkan ke Polsek.
Selain di Kanigoro Kras Kediri, bentrokan PKI maupun onderbouwnya dengan Banser, juga terjadi di Prambon disaat Ludruk Lekra mementaskan lakon yang menyakiti hati umat Islam.Di desa Ngumpak aksi sepihak dilakukan PKI untuk menguasai tanah milik Tamami, begitu juga di Jl SMEA Surabaya, aksi sepihak PKI beramai – ramai mengkapling tanah negara. Sedangkan di Sidoarjo massa PKI secara sepihak menguasai tanah milik rakyat, dan di Ngetrep Pagu Kediri juga aksi sepihak persoalan tanah, serta di kecamatan Kepung Kediri, PKI menguasai kantor kecamatan. Semua peristiwa aksi – aksi massa sepihak yang dilancarkan PKI selalu dihadapi oleh anggota Banser.
Di kabupaten Malang, tepatnya di Pagedangan, Turen Malang, seorang tokoh PKI seringkali sesumbar menantang orang – orang NU maupun Ansor, dan puncaknya tokoh PKI tersebut menginjak – injak Al – Qur’an.Akibat dari perilakunya, tokoh PKI tersebut pada akhirnya menemui kematian ditangan anggota Banser Turen, dan mayatnya ditenggelamkan di sungai.Tidak hanya itu, di Kedok Turen, terjadi tawuran massal antara PKI dan Banser pada saat pawai drum band memperingati hari kemerdekaan 17 Agustus 1965, dan masih banyak peristiwa bentrokan fisik antara PKI dengan Barisan Ansor Serbaguna.
Merupakan salah satu aset bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama dalam perjalanan, kiprah maupun perannya, tidak sedikit berkontribusi kepada bangsa dan negara, begitu juga Ansor maupun Barisan Ansor Serbaguna.Disampaikan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama Blitar, santri kepercayaan Asy Syekh Abdul Djalil Mustaqim atau Kyai Djalil, pernah menjabat ketua GP Ansor kabupaten Blitar, H.Muhammad Khoirudin mempunyai kedekatan dengan semua kalangan masyarakat termasuk dengan tokoh – tokoh nasional KH Abdurahman Wahid hingga Prabowo Subianto.
Menyampaikan perjalanan NU, Ansor serta Banser, pada tahun 1965, H.Muhammad Khoirudin menuturkan dirinya pada waktu itu masih kecil, tetapi mengingat aksi – aksi sepihak namun tidak masuk didalam buku Banser Berjihad Menumpas PKI, yang mana tanah milik kepolisian sektor Srengat pada saat itu dijadikan bangunan Barisan Tani Indonesia.Menjelang meletusnya peristiwa 1965, dilahan tersebut telah dibangun barak – barak dengan tulisan BTI, sedangkan tanah tersebut milik negara yang telah diklaim oleh PKI, dan belum lagi dengan aksi – aksi brutalnya lainnya.Bagi H.Muhammad Khoirudin, mengerti sejarah NU, Ansor dan Banser sangat penting.
” pertama ilmu harus dikuasai, setelah itu riyadhoh harus dilakukan sendiri, tidak bisa beli.Ahlusunnah wal jamaah tetap, sedikit istiqomah dan ini sekarang generasi tidak berani.Sekarang yang pandai bicara Al Qur’an dan Hadist, tetapi mengamalkan secara istiqomah jarang, itu ilmu dari amal. Yang kedua belajar dari sejarah, harus bertanya dengan membuka mata, membuka telinga sambil membawa buku. Itu yang tidak dibudayakan, sehingga semua yang diterima dalam bahasa cerita, katanya – katanya. Pernah saya menjadi ketua Ansor menginstruksikan kalau pergi kemana – mana modalnya hanya 3, kamera, catatan, dan lampu senter, dan saya pernah instruksikan itu dulu ” tuturnya.
” Kalau sekarang mudah, kamera pasti, lampu senter ada, tapi catatan malah jarang. Padahal di khazanah Islam Ahlusunnah wal jama’ah mewarisi dari catatan, kalau tidak ada terus meleset bagaimana.Sekarang contohnya para habaib menggencarkan cerita, banyak yang percaya karena tidak membudayakan catatan, tidak membudayakan kamera, tidak membudayakan lampu senter. Kalau santri yang betulan, gelap menjadi terang karena membawa lampu senter, kalau terang bisa bersembunyi.Santri kalau tidak punya strategi, ya ditipu yahudi – yahudi seperti itu, kasihan generasi nanti. Ilmu dan sejarah harus menyatu seperti mata uang, kalau hanya pandai saja tetapi tidak mengerti sejarah dan kurang pergaulan, ya dicoba saja.Pergaulan itu penting, maka didalam tasawuf jaman dulu hidup sederhana, setelah dapat ilmu merantau. Saya itu gurunya kalau soal wiritan, maksudnya wira – wiri turut ratan, tetapi kenyataan saya juga dikenal di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur karena berkahnya Ansor ” terang H.Muhammad Khoirudin bercerita pengalaman mengikuti kegiatan Ansor hingga di luar Jawa.
Perjalanan Barisan Ansor Serbaguna dari Orde Lama bergeser Orde Baru hingga saat ini, dikemukakan H.Ahmad Dardiri, tokoh Ansor NU kabupaten Blitar yang masih mengingat peristiwa gerakan PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 1968. Kepada Harian Forum.com, disampaikan bahwasanya peran Banser pada saat itu sangat besar, pada saat satuan tugas Operasi Trisula dipimpin Kolonel Witarmin, dimana Komando Daerah Militer V Brawijaya mengerahkan beberapa Batalyon Infanteri, Komando Distrik Militer, Komando Rayon Militer , Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat dan Angkatan Udara, anggota Banser dari Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Malang dan Jombang, juga ikut mendukung penumpasan PKI di Blitar selatan dengan mengenakan seragam Pertahanan Sipil atau Hansip.
Namun begitu, H.Ahmad Dardiri juga mengungkapkan Banser tidak hanya terlibat mendukung stabilitas pertahanan dan keamanan negara, akan tetapi aksi sosial juga dilakukan secara nyata, salah satunya anggota Banser yang didatangkan dari seluruh kecamatan di kabupaten Blitar, melakukan pencarian korban akibat muntahan lahar yang dikeluarkan dari perut Gunung Kelud menyebabkan terendamnya puluhan rumah yang berada di kawasan Poluhan pada tahun 1966.
Diakuinya, di Blitar menjelang G 30 S PKI situasi kondisi sangat berat, akan tetapi dengan berjalannya kurun waktu tahun 1966 sampai 1968 seolah NU dan Banser termanjakan, karena pada saat itu menjadi mitra ABRI setelah Operasi Trisula.Namun beberapa tahun berubah, menjelang pemilu 1971, NU menjadi partai politik sehingga dalam rentang waktu 1971 hingga 1977 banyak Badan Otonom atau Banom NU di level bawah cabang mengalami mati suri.Pada waktu itu jelasnya, banom – banom NU selain Ansor juga Fatayat, IPNU, IPPNU dan banom lainnya, nyaris ada pengurus hanya di cabang, dan itupun beberapa orang. Tahun 1977 akhir pemilu, terdapat ide dari pengurus wilayah untuk penyegaran berorientasi menghidupkan kembali aktivitas organisasi yang dimulai dari anak cabang.
Ditandaskan, meskipun NU ditahun 1973 sudah fusi ke Partai Persatuan Pembangunan, akan tetapi tekanan rezim Orde Baru sangat kuat sekalI, sehingga banyak warga nahdliyin tidak berani mengaku NU, meskipun dalam hatinya tetap mengakui sebagai warga NU, terutama yang menjadi pegawai pemerintah tidak berani sama sekali mengakui sebagai anggota NU, bahkan kalau bisa memusuhi teman sendiri sesama warga NU.
Ditanyakan, adanya elit – elit pada saat ini terlihat jauh panggang dari api, dirasa lupa dengan perjalanan sejarah perjuangan para pendahulunya, H.Ahmad Dardiri pernah duduk sebagai anggota DPRD kabupaten Blitar dari fraksi PKB, mempunyai pendapat bahwa kemungkinan para elit – elit kurang mengetahui sejarah perjuangan khususnya NU dan Ansor maupun Banser di Blitar. Menurut pemikirannya, elit – elit di Blitar dalam perkirakaannya yang berusia 60 tahun lebih, pada tahun tersebut masih berada di pondok pesantren, sehingga tidak paham terhadap dinamika di Blitar, atau juga memang karena bukan warga Blitar asli.
“Kalau saat itu tidak mengetahui dan memahami dinamika yang terjadi, ya wajar kalau tahunya setelah khittah NU itu nyaman, dimanjakan dan diakui oleh pemerintah dimanapun. Lebih – lebih Gus Dur menjadi presiden, ibarat membuat acara kalau tidak mengajak NU tidak sempurna, itu iklim sudah berbalik.Tetapi ketika saat – saat susah, mungkin beliau – beliau masih berada di pondok, atau mungkin belum menikah dengan orang Blitar, karena saya mengerti siapa beliau – beliau itu.Yang memprihatinkan generasi sekarang tidak hanya di NU, tetapi secara menyeluruh dalam satu dekade sepertinya pelajaran sejarah dihilangkan Jangankan di NU, sejarah umum anak – anak tidak mengenal dengan negaranya sendiri.Dan banyak kalangan mengkhawatirkan generasi tidak paham sejarah, nantinya lama – lama sejarah akan dipalsukan sehingga generasi penerus tidak mengetahui nilai – nilai perjuangan ” tandas H.Ahmad Dardiri.(Ans).”