A. Warisan Kraton Majapahit.
Kerajaan Majapahit terkenal sebagai negara yang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Rakyat berkecukupan sandang pangan papan, makmur lahir batin.
Pembangunan di segala bidang gencar dilakukan. Kejayaan Kerajaan Majapahit dipimpin oleh Kanjeng Sinuwun Prabu Hayamwuruk sejak tahun 1350. Perdana Menteri dijabat oleh mahapatih Gajah Mada. Demi persatuan dan kesatuan nusantara, Patih Gajah Mada melaksanakan ikrar suci sumoah palapa.
Pujangga Majapahit kenamaan yaitu Empu Prapanca dan Empu Tantular. Atas petunjuk kedua Empu minulya itu, pada tahun 1354 dibangun tempat pemujaan. Sanggar pamujan ini berbentuk sebuah candi. Terbuat dari batu bata berkualitas prima. Candi dibangun segi empat. Puncaknya berhias wajah arca balaupata. Wajah raksasa ini berseri seri, optimis, terang, cerah, indah. Mirip raksasa penjaga Sela matangkep alun Alun kayangan Junggring Salaka.
Candi sakral itu berada di bawah kaki gunung Wilis. Pada jaman awalnya bernama Petri Pujastuti. Terletak di daerah Ngetos Nganjuk. Masyarakat lantas menyebut Petri Pujastuti sebagai Candi Ngetos.
Kegiatan spiritual Majapahit kerap dilakukan di kawasan Petri Pujihastuti. Pada tahun 1361 Empu Tantular memimpin pujamantra. Terlebih dahulu Empu Tantular siram jamas di Grojogan Sedudo. Pembacaan kidung Kakawin Sutasoma bertujuan untuk memohon keselamatan bagi sekalian warga Kerajaan Majapahit. Acara doa ini atas dhawuh Sri Baginda Raja.
Sosialisasi visi misi Kerajaan Majapahit berlangsung di Candi Ngetos pada tahun 1363. Empu Prapanca menjelaskan isi kitab Negara kertagama. Tata praja dan sistem hukum Majapahit diharapkan dapat dimengerti oleh segenap aparat. Birokrasi dianjurkan untuk menjadi pelayan masyarakat. Hadir menyertai Empu Prapanca segenap pembesar Kerajaan.
Kanjeng Sinuwun Prabu Hayamwuruk manjing ing tepet suci, kondur ing kasedan jati. Pada tahun 1386 raja Majapahit ini mangkat. Rakyat merasa kehilangan pengayom agung. Para pengrawit Istana segera nabuh gangsa Kyai Tawang Rujit. Tanda berduka cita. Lamat Lamat suara gamelan bernada sedih menyayat hati. Di bawah rintik rintik hujan gerimis, rakyat antri layat.
Atur puji pangastuti. Saat yang bersamaan, Kawula dalem yang berdomisili di desa Kuncir mengadakan ritual pujasastra. Mereka membaca kidung bhagawat gita bagian doa arwah pahlawan. Pembacaan doa ini berlangsung tujuh hari tujuh malam. Mereka berdoa dengan sukarela, demi ngalap berkah pada arwah Prabu Hayamwuruk.
Kerajaan Majapahit adalah payung besar untuk berteduh. Bagi warga sekitar gunung Wilis, Prabu Hayamwuruk adalah narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil para marta, ber budi bawa laksana, memayu hayuning bawana.
B. Aura Magis Candi Ngetos.
Perjalanan menuju Candi Ngetos dari Kota Nganjuk ditempuh sekitar 40 menit. Kendaraan melintasi terminal, stasiun, alun alun, stadion, pertigaan loceret, Berbek, Kuncir. Terus berjalan dengan pemandangan elok menawan.
Hari besar nasional. Siang itu tepat dengan peringatan hari Sumpah Pemuda, hari Rabu tannggal 28 Oktober 2020. Rombongan PAKASA, Paguyuban Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat, cabang Nganjuk mengadakan penelitian budaya. Nguri nguri budaya Jawi murih basuki lestari.
Pimpinan Pakasa Nganjuk yaitu KRT Sukoco Madunagoro. Beliau didampingi oleh staf yang handal, KMT Ida Madusari. Turut serta sebagai pelaku pupuk bawang, cah Grogol Mojorembun Rejoso Nganjuk. Namanya Purwadi. Tim peneliti Pakasa Nganjuk itu kerap terjun langsung di lapangan, untuk melakukan dokumentasi seni budaya bangsa.
Hari itu pula riset dimulai dengan konsultasi kepada ahli ilmu sosial dan sejarah. Beliau adalah Ibu Dra Emmy Herwiati. Beliau memang lama mengajar tentang seluk beluk kehidupan masa silam. Konsultasi akademis berlangsung di perumnas candirejo blok M Nganjuk. Tempatnya asri teduh. Kanan kiri pepohonan rindang. Angin sumilir bertiup segar. Wejangan Ibu Dra Emmy Herwiati cukup untuk bekal riset di lokasi.
Suasana konsultasi di perumnas candirejo ibarat sowan di pertapan saptaharga. Resi Abiyasa memberi wedharan ngelmu kasampurnan kepada para cantrik. Tim Pakasa Nganjuk merasa puas ngangsu kawruh pada Ibu Dra Emmy Herwiati Sigra bidhal dhateng perenging arga Wilis.
Kutha cilik sangisore gunung Wilis, iku pantes dadi pacangkramaning pra turis. Yo kanca ing sedhudho, ing perenging arga. Lelumban lan byur byuran, weh bagase raga. Rampung njajan nginep ing Pesanggrahan
Wis mesthi kepranan nyawang kaendahan. Ja lali ja keri kutha Nganjuk mranani.
Begitulah pemandangan alam yang dilukiskan oleh Ki Panut Darmoko. Dalang terkenal ini tinggal di gang sikatan ploso tahun 1930 – 2010. Jasanya dalam pengembangan seni budak amat besar.
Kali kuncir gumrojok airnya. Berasal dari aliran grojogan Sedhudho. Banyu bening, sebening doa suci yang diucapkan Empu Tantular dan Empu Prapanca. Tak mengherankan bila banyak penghayat Kejawen kerap nenepi di kawasan Kuncir.
Hutan jati di sekitar candi ngetos berjajar jajar. Buah jambu mente pating grandhul. Pala gumandhul jambu mete menyebar ke berbagai pelosok pasar. Buah kepel melengkapi kekayaan alam. Warga merasa beruntung tikel matikel.
KRT Sukoco Madunagoro dan KMT Ida Madusari trampul rikat trengginas. Lokasi candi dipotret dan dicatat. Termasuk kuliner asem asem sempat pula dijelaskan. Untuk menambah stamina, juga mampir di warung imbuh dhewe. Tersedia menu sega thiwul, jangan kluwih, iwak pindhang. Rasanya mak nyus. Nyamleng tenan. Seperti kuliner di kayangan cakra kembang.
Kabudayan kesenian pancen nyata. Iku dadi pikukuh kapribadening bangsa. Kerawitan pedalangan beksa olahraga. Candi ngetos wis nyata peninggalan kuna. Pembangunan kuncara liyan praja. Rerengganing kutha wis sarwa tumata. Ja lali ja keri kutha Nganjuk nggon seni.
Promosi wisata candi ngetos cukup berhasil. Dengan ilmu hidup lebih mudah. Dengan agama hidup lebih terarah. Dengan seni hidup lebih indah. Itulah seni Edi peni, budaya adi luhung.
Lebih lengkap lagi bila wisata kultural ini dengan siram jamas di talaga Roro Kuning. Tempatnya di Bajulan Loceret. Katanya bisa menambah keberuntungan nasib. Bakul jadi laris, perawan cepet temu jodho, janda segera mendapat pengganti. Cita cita gancar lancar. Jumbuh ingkang ginayuh, sembada ingkang sinedya.
(Dr. Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA)