Serba-serbi

Warga Desa Sidorejo Doko, Tuntut Kejelasan PT Perkebunan Tjengkeh

956
×

Warga Desa Sidorejo Doko, Tuntut Kejelasan PT Perkebunan Tjengkeh

Sebarkan artikel ini
Warga dan Pemdes di Kantor Bupati Blitar.

Blitar, HarianForum.com- Danang Dwi Suratno Kepala Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar mengungkapkan kedatangannya di Kantor Pemerintah Kabupaten Blitar bersama perangkat Pemerintah Desa serta Ketua Badan Perwakilan Desa atau BPD, mengantarkan tembusan surat kepada Bupati Blitar atas surat yang ditujukan kepada PT Perkebunan Tjengkeh.

Selain kepada Bupati Blitar, dirinya menyampaikan tembusan surat juga dialamatkan kepada Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Pertanian, Kapolri, KPK, Gubernur Jawa Timur, Kapolda Jawa Timur, Kapolres Blitar, Camat Doko serta Kapolsek Doko.

Ditemui HarianForum.com, Senin (5/9)
di halaman timur kantor pemerintah kabupaten Blitar seusai menyampaikan surat dan ditanyakan maksud serta tujuan surat untuk perusahaan cengkeh beserta tembusan sebagai laporan kepada beberapa institusi pemerintah mulai pusat hingga tingkat kecamatan, Danang Dwi menjelaskan tentang surat tertanggal 2 September 2020 yang ditujukan kepada direktur PT Perkebunan Tjengkeh, menindak lanjuti keinginan warga desanya untuk meminta keterangan pada pihak perusahaan perkebunan, adanya kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai amanat undang – undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan, selain kejelasan Corporate Social Responsibility atau CSR.

Danang Dwi Suratno Kades Sidorejo.

“Kami atas nama warga Desa Sidorejo, melaporkan bahwasanya di wilayah kami ada perkebunan cengkih yang mana sudah memperpanjang HGU, sehingga warga sekitar menuntut kewajiban perusahaan perkebunan dengan berdasar perundang – undangan, Yang kita suarakan melalui surat dengan tembusan di lembaga pemerintah adanya tuntutan dari masyarakat adalah CSR, dimana kompensasi tahun 2021 dan 2022 belum diberikan,” ujarnya.

“Kemudian yang kedua, seperti yang diamanatkan dalam undang undang no 39 tahun 2014, seperti surat yang kita sampaikan bahwa pihak PT perkebunan harus memfasilitasi 20 persen dari total areal yang diusahakan untuk fasilitasi kebun masyarakat, setelah HGU diperpanjang. Ini ada pak Kamituwo, Ketua BPD dan perangkat desa lainnya. Selaku pemerintah desa, sampai surat ini kita kirim, kami benar benar belum menerima dengan apa yang seharusnya ditunaikan kepada kami. Sebelumnya kami melakukan mediasi dengan berdiskusi sambil menanyakan perihal tersebut, itu sudah kita lakukan. Namun sampai detik ini, belum ada tindak lanjut dari pihak perkebunan atau niat baik yang kita terima,” ungkapnya sembari menegaskan tidak ada permintaan pembagian lahan untuk diserahkan kepada para petani penggarap atau istilahnya redistribusi tanah.

Dilain tempat dan waktu berbeda, Dr, Suhadi, SH, MHum dari Lembaga Kajian Hukum Nasional atau LKHN yang mendampingi aksi tuntutan masyarakat desa Sidorejo terhadap perusahaan perkebunan cengkih, saat dikonfirmasi dengan permasalahan tersebut menuturkan, bahwa kegiatan perusahaan perkebunan diatur dalam undang – undang perkebunan, dimana setiap perkebunan yang bentuknya perseroan terbatas mempunyai beberapa kewajiban.

Dr. Suhadi, SH, MHum direktur LKHN.

Lebih lanjut, Dr. Suhadi mengatakan, untuk Corporate Social Responsibility atau CSR telah diatur dalam undang undang perseroan terbatas. Sedangkan dalam undang undang, perusahaan perkebunan mempunyai kewajiban menyelenggarakan perkebunan rakyat seluas 20 persen dari lahan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan.

“Saya mendapat informasi tentang data luas lahan lebih dari 500 hektar yang dimiliki oleh perkebunan cengkih itu. Sehingga 20 persen dari luasan itu, perusahaan wajib menyelenggarakan perkebunan rakyat diluar lahan 500 hektar. Apabila perusahaan memiliki agumen terhadap kewajibannya, maka semua berdasarkan argumen bahwa negara kita adalah negara hukum, dan semua didasarkan pada hukum yang berlaku. Ketika argumentasinya tidak berdasar pada hukum yang berlaku, maka argumentasinya itu diabaikan atau tidak bisa diterima, karena konsep negara kita adalah negara hukum,” praktisi hukum yang juga mengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

“Sedangkan siapa nanti yang berwenang melakukan tindakan ini, tidak hanya masyarakat, tetapi pihak terkait seperti BPN yang mengeluarkan HGU. Kemudian Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden mempunyai kewajiban untuk mewujudkan apa yang diamanatkan dalam undang undang itu.Justru para penguasa punya power untuk mengawal terwujudnya amanat yang dituangkan dalam undang undang tersebut,” pungkasnya.(Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *