Brebes, Harian Forum.com- Petani terancam punah bukan hanya sebuah wacana. Namun tulisan “Petani Indonesia Terancam Punah” dikutip dari laman lipi.go.id (25/9/17), tentang adanya ancaman punahnya petani merupakan hasil dari riset Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI. Dalam riset disebutkan saat ini rata-rata usia petani nasional mayoritas berumur 45 tahun ke atas. Bahkan, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di Jawa Tengah mencapai 52 tahun.
Kaum muda yang bersedia melanjutkan usaha tani keluarga hanya sekitar 3 persen, dan kesimpulannya ke depan tidak ada lagi generasi baru petani. LIPI juga mempertegas dalam menyampaikan hasil risetnya, bahwa keberadaan pertanian keluarga skala kecil atau lahan terbatas sebagai penyediaan pangan juga mulai semakin berkurang.
Riset yang dilakukan oleh LIPI setidaknya telah terjawab. Di pulau Jawa perubahan terlihat pola kehidupan sosial masyarakat khususnya kalangan anak muda yang tinggal di pedesaan pada saat ini. Seiring dengan peralihan waktu, menunjukkan adanya bergesernya dikalangan anak muda dengan gaya hidup dan pilihan profesi yang dulunya dekat dengan profesi bertani, saat ini banyak yang beralih menggeluti bidang perdagangan, industri dan jasa.
Krisis generasi milenial terhadap minat untuk terjun langsung menggeluti pertanian, adanya alasan dengan pandangan bahwa pertanian pada saat ini dinilai sudah tidak menguntungkan lagi. Selain hasil yang diperoleh tidak menguntungkan, profesi petani secara status sosial masih dipandang rendah.
Namun prespektif tentang profesi petani yang tidak menguntungkan dan tidak memiliki nilai dalam status sosial tidak berlaku bagi Suharjo, SP.Justru sebaliknya, baginya pada musim tanam saat ini selesai memanen bawang merah 7 kwintal dengan lahan 1000 M2, merupakan sebuah apresiasi tersendiri setelah menjalani perjuangan selama 45 hari.
Petani milenial yang tinggal di desa Sidamulya, kecamatan Wanasari, kabupaten Brebes, Jawa Tengah, memiliki pendapat sebaliknya tentang petani. Menurutnya petani itu profesi yang merdeka, bebas dalam berinisiasi atau ide di pertanian dan merasa bahwa dengan bertani membuatnya bahagia.
“Awal saya menjadi petani adanya permasalahan peternakan yang tidak produktif atau tidak menghasilkan keuntungan. Orang tua saya beternak kambing bukan prioritas, tetapi hanya usaha sampingan saja. Setiap satu kali kloter lahir anakan sampai 15 ekor atau bisa lebih, namun yang hidup sampai besar hanya 3 atau 4 ekor saja itupun pertumbuhannya juga tidak baik. Dan pengalaman saya budidaya bawang merah, yang memerlukan modal tidak sedikit, bahkan saya sering berhutang untuk memenuhi kebutuhan pembudidayaan bawang merah. Berangkat dari permasalahan dan pengalaman seperti itu, saya bertekad untuk membuat pertanian yang muda petaninya, mudah diaplikasikan dan murah ongkosnya, bertani dengan menyenangkan serta migunani atau bermanfaat bagi orang banyak. Makanya saya mencoba mengkolaborasikan antara peternakan kambing dan budidaya bawang merah,” tuturnya kepada Harian Forum.com (14/12).
Diusianya 30 tahun, petani milenial ini terus menerus melakukan inovasi tehnologi pertanian. Suharjo bukanlah petani yang menyimpan ilmu dan pengalamannya untuk dirinya sendiri. Dengan ngobrol ngobrol tentang pertanian pada webinar agribisnis, pada tanggal 16 Desember 2020, dimulai pukul 13.00 sampai 15.00 wib, Suharjo akan memberikan langkah maupun strategi untuk menjadi petani milenial.
Dalam webinar nantinya, alumni Institut Pertanian atau INTAN Yogyakarta jurusan Agroteknologi ini, akan menjadi penyampai materi dengan mengusung tajuk “Seiring Sejalan Ternak Kambing dan Budidaya Bawang Merah”. “Petani muda harus mau berproses, dan jangan pernah putus asa, tetap konsisten pada cita cita yang ingin di capai, dan terus belajar pada siapapun. Bersama sama, milenial harus mampu melahirkan petani petani muda yang konsisten dan berkelanjutan. Apabila ke depan tidak ada regenerasi petani maka bangsa kita pasti akan mengalami krisis petani,” pesan Suharjo, SP. (Ans).