Blitar, HarianForum.com- “Umur kulo pra nggih wonten 80, wong kulo jaman pasar cendek ingkang dereng dibangun sampun sadean dateng mriki, wektu niku kulo taksih perawan,” cerita mbah Katinem di los dagangannnya yang semakin hari hasil dari pendapatan dari berjualan semakin memprihatikan.
Disampaikan mbah Katinem kalau usianya sudah 80 tahunan, dan mbah Katinem mengungkapkan pertama kali berjualan di pasar masih gadis. Dari penelusuran riwayat, bahwa pasar Legi dibangun pada tahun 1911 atau setelah 5 tahun berdirinya kota praja Blitar pada tahun 1906.
Pasar yang terletak di kecamatan Sukorejo kota Blitar ini telah mengalami renovasi 2 kali pada tahun 1977 dan tahun 1999. Dari cerita yang disampaikan mbah Katinem, memulai berjualan masih gadis dan pasar belum direnovasi, bisa diambil kesimpulan bahwa mbah Katinem mulai berjualan sebelum tahun 1960 atau berdagang di pasar Legi kota Blitar lebih dari 60 tahun. Dan perempuan yang sudah termasuk orang sepuh ini, terlihat masih sehat dan cekatan untuk berhitung.
Disinggung tentang pendapatan dari berjualan, mbah Katinem menceriterakan yang dialami pada saat ini meskipun sempat merasa khawatir dengan apa yang disampaikan kepada Harian Forum.com. “Dinten niki kulo angsal tigang ewu (Rp.3.000) yakin kulo, wingi angsal sewu punjul rongatus (Rp.1.200), winginane angsal sepuluh ewu punjul rongewu (Rp.12.000) sakderenge angsal petangpuluh pitu ewu (Rp.47.000). Pokok wonten tiyang jedul saking ler nggih mbalik ngaler terus jedul king kidul mbalik malih, kinten kinten mergi niki lo,” tutur Katinem sambil menunjuk tangga pasar di depan kios dagangnya, Selasa (23/6/20).
Mbah Katinem menceriterakan menurunnya pendapatan dari dagangan secara drastis sejak dibangunnya tangga hasil renovasi setelah terbakarnya pasar yang terjadi pada tahun 2016. HarianForum.com melihat antara jarak bangunan tangga dengan lapak dagangan memang sangat sempit, tidak bisa untuk berpapasan. Kondisi tersebut membuat orang yang belanja enggan melewati jalur tersebut karena tidak nyaman. Mungkin juga dari adanya bangunan tangga tersebut menimbulkan semrawutnya penataan lapak lapak pedagang yang dulunya ditempati sebelum dilakukan renovasi akibat kebakaran yang berada di sekitar tangga.
Saat ini mbah Katinem sendiri menunggu lapak dagangnya, pedagang lainnya meninggalkan, dan berpindah di tempat yang lebih strategis. Sedangkan mbah Katinem tetap tidak mau pindah karena mengaku fisiknya sudah tidak kuat lagi untuk membawa barang dagangannya berpindah pindah. Bahkan perempuan sepuh ini menunjukkan dagangannya yang sudah 3 hari tidak ada yang membeli karena memang tidak ada orang belanja yang melewati depan lapaknya.
Menjalani usahanya berdagang hasil bumi di pasar Legi kota Blitar sekitar 60 tahun atau mungkin bisa lebih, berapa juta konsumen yang dilayani untuk memenuhi kebutuhannya, berapa ribu petani mendapat hasil dari penjualan pertaniannya dan berapa ratus juta mbah Katinem memberi kontribusi pendapatan asli daerah kepada pemerintah daerah dengan pembayaran retribusi pasar.
Pemangku kewenangan di pemerintah daerah beserta perangkatnya, harusnya lebih responsif dan segera menyibukkan diri untuk menanggapi keluhan masyarakat meskipun seorang pedagang seperti mbah Katinem yang sedang mengeluh karena mengalami kesulitan usahanya di pasar Legi yang masuk wilayah kewenangan pemerintahan kota Blitar, seperti menyibukkan diri pada saat menerima tamu kehormatan yang akan berkunjung.
Begitu juga para legislator sebagai wakil rakyat, dan menempati gedung aspirasi rakyat, sudah menjadi kewajibannya untuk melihat apa yang sedang terjadi atas suatu permasalahan yang ada di masyarakat nantinya bisa disampaikan kepada pemerintah untuk mencari penyelesaian.(Ans)