Uncategorized

Jamaah Anak Nahdlatul Ulama (ANU) Dilahirkan, Perjuangan Kiai Djalil Menjaga Gus Dur

106
×

Jamaah Anak Nahdlatul Ulama (ANU) Dilahirkan, Perjuangan Kiai Djalil Menjaga Gus Dur

Sebarkan artikel ini

Blitar, Harian Forum.com – Semakin terlihat ketidaksenangan rezim Orde Baru terhadap jam’iyyah Nahdlatul Ulama, terutama terhadap Ketua Umum KH. Abdurrahman Wahid. Di bawah kekuasaan Soeharto, rezim Orde Baru menganggap Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membuat ketidaknyamanan bagi mereka. Selain dianggap merongrong wibawa pemerintah, Gus Dur juga dinilai berpotensi menjatuhkan kekuasaan.

H.Purnawan Bukhori, penulis buku manaqib Asy Syekh Abdul Djalil Mustaqim

Tekanan terhadap KH. Abdurrahman Wahid dan Nahdlatul Ulama semakin kuat dari hari ke hari. Bahkan, ada ancaman terhadap keselamatan jiwa. Puncak kejengkelan rezim terlihat saat KH. Abdurrahman Wahid kembali terpilih sebagai Ketua PBNU dalam Muktamar di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 19 Desember 1994, setelah mengalahkan Abu Hasan yang didukung sebagian kalangan pemerintah dan militer dengan selisih suara tipis.

Konflik internal di tubuh Nahdlatul Ulama saat itu memprihatinkan Syekh Abdul Djalil Mustaqim, atau Kiai Djalil. Dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi jam’iyyah NU, justru ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan keselamatan agama dan umat. Kiai Djalil menyindir para oportunis dengan membuat mural di tembok Pondok PETA berupa gambar kepala orang berkopyah, namun dengan wajah anyaman bambu, yang berarti “raigedek” atau “tidak tahu malu”, serta sosok bersorban yang membawa koper berisi uang dolar.

Mengutip tulisan H. Purnawan Buchori dalam bukunya Jejak-Jejak Mbah Djalil (2017), dalam kondisi tersebut, Syekh Abdul Djalil Mustaqim memutuskan langkah politis dengan memprakarsai terbitnya buku Banser Berjihad Menumpas PKI, yang disusun oleh H. Agus Sunyoto. Buku ini mengisahkan perjuangan Barisan Ansor Serbaguna dalam menumpas PKI pada tahun 1965-1968, dengan tujuan menunjukkan bahwa peran pemuda NU sangat diperlukan oleh bangsa dan negara. Selain itu, Syekh Abdul Djalil Mustaqim juga memprakarsai berdirinya ANU, singkatan dari Anak Nahdlatul Ulama, yang mayoritas anggotanya adalah santri-santri Mbah Djalil, dengan ciri kaos hitam bertuliskan ANU serta tanda tangan Syekh Abdul Djalil Mustaqim yang menyerupai huruf “LM” yang dimaknai sebagai “Logam Mulia” atau kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah.

Semua jamaah Anak Nahdlatul Ulama di pelosok negeri diarahkan oleh Kiai Djalil agar selalu berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mentaati peraturan pemerintah, termasuk peraturan lalu lintas. Jamaah ANU juga diarahkan untuk bersikap sopan santun kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, serta mengikuti pesan Rasulullah Muhammad SAW, “Khairunnas anfa’uhum linnas” (sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain).

Show of force atau unjuk kekuatan ANU sering dilakukan bersama Gerakan Pemuda Ansor maupun Banser. Belasan ribu jamaah ANU pernah mengucapkan ikrar Anak Nahdlatul Ulama di Masjid Al-Munawwar Tulungagung, dengan salah satu nilai penting dalam ikrar tersebut adalah mengangkat KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai panglima tertinggi Anak Nahdlatul Ulama.

Pada Desember 1996, hampir 20 ribu jamaah ANU turut serta dalam istighosah kubro yang digelar PWNU Jawa Timur di Gelora 10 Nopember atau Stadion Tambaksari Surabaya. H. Purnawan Buchori menulis bahwa selain mengirimkan belasan ribu santri, Syekh Abdul Djalil Mustaqim juga mengutus jamaah hadrah Al-Muhibbin, Kampung Dalem, Tulungagung untuk membacakan Shalawat Ad-Diba’i. Saat pembacaan “Asyroqol” dalam posisi berdiri (makhalul qiyam), seorang santri senior melihat langit seakan terbuka.

Pada saat istighosah oleh para masayikh dan kiai sepuh, banyak yang hadir tak kuasa menahan air mata. Bahkan saat Gus Dur memimpin doa, Syekh Abdul Djalil Mustaqim turut menangis. Beberapa bulan kemudian, istighosah kubro kedua digelar di lapangan Makodam Brawijaya, dan Kiai Djalil mengirimkan kembali jamaah ANU dalam jumlah yang lebih besar.

H. Purnawan Buchori, penulis buku Manaqib tentang pengasuh Pondok Pesulukan Thoriqot Agung, adalah kakak sulung Hj. Rini Syarifah atau Mak Rini, putra tertua H. Musa Ismail, santri dekat dengan Syekh Abdul Djalil Mustaqim. Dalam diskusi bersama Harian Forum.com, Kak Pur menceritakan manaqib sebagai dokumentasi perjalanan al-Maghfurlah Syekh Romo KH. Abdul Djalil Mustaqim, yang memberikan gambaran kepada para santri Pondok Pesulukan Thoriqot Agung atau Pondok PETA mengenai ajaran dan dakwah beliau. Selama 35 tahun, Syekh Abdul Djalil Mustaqim mengemban tugas sebagai pemimpin umat sekaligus sebagai mursyid tiga thoriqot agung, dan telah meletakkan garis besar pendidikan di Pondok PETA.

Saat ditanya mengenai perkembangan Nahdlatul Ulama, baik dari sisi jamaah maupun jam’iyyah, mantan Wakil Wali Kota Blitar periode 2010-2015, Kak Pur, menuturkan bahwa khittah 1926 perlu dijaga dan dilestarikan. Ia menegaskan bahwa politik NU sebaiknya tetap dalam kerangka politik kebangsaan, keumatan, dan kerakyatan yang beretika. Menurutnya, NU adalah aset bangsa Indonesia dan tidak perlu terlibat dalam politik praktis yang berorientasi kekuasaan dan berpotensi mengorbankan kesolidan di tubuh NU.

Kak Pur juga menyampaikan bahwa generasi muda NU perlu ditanamkan nilai-nilai amaliyah Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja dan ke-NU-an agar mereka tidak terpengaruh oleh amaliyah yang kurang sesuai dengan warga Nahdlatul Ulama.

“Sebaiknya NU kembali ke khittah 1926 dan mempertahankan netralitas. Berdasarkan sejarah, jika NU terlibat politik praktis, perjuangannya akan rusak. Nantinya, NU sendiri yang akan terpecah-belah. Jadi, lebih baik netral saja,” tutur Kak Pur.

“Generasi muda NU harus benar-benar memahami prinsip-prinsip Aswaja dan ke-NU-an. Menghadapi disintegrasi bangsa, NU sebagai aset bangsa harus tetap solid dan tidak mudah dibenturkan, terutama dengan sesama muslim. Sangat disayangkan jika sesama warga NU saling berkonflik. NU adalah aset bangsa, dan generasi mudanya harus berpikir jauh, jernih, demi masa depan NU,” tandas H. Purnawan Buchori. (Ans.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *