HarianForum.com- Di usianya yang masih belia, saat itu Kuntiyah (84th) sudah menjadi pejuang. Veteran asal Lamongan ini, masih bisa mengingat betul masa-masa ia ikut bejuang melawan penjajah, saat itu dimasa Agresi Militer Belanda yang kedua.
Ketika itu, wanita yang disapa Bu Topo ini, ia betugas menjadi pengintai disaat penjajahan. Saat itu ia harus bersembunyi di semak-semak menunggu kedatangan tentara Belanda sedangkan para tentara Republik bersembunyi untuk meledakkan jembatan ketika rombongan tentara Belanda datang.
Bu Topo Menjelaskan “Saat itu saya masih berusia 12 tahun dan masuk hutan di kawasan Kedungadem, Bojonegoro, bergabung dengan para pejuang untuk mempertahankan republik,” jelas Bu Topo di kediamannya, Jalan Khoirulhuda Lamongan, Jumat (17/8/2018).
Saat Bu Topo melaku persembunyiannya itu, ia tidak bisa bersembunyi bersama-sama, melainkan harus berpencar. Begitu pasukan Belanda lewat, ia tinggal memberikan tanda kepada tentara Republik lalu meledakkan jembatan tersebut.
Bu Topo masih ingat kali itu, ia melihat kedatangan tiga truk pasukan Belanda. Beruntung jembatan tempatnya mengintai cukup panjang sehingga ada waktu baginya untuk memberikan tanda kepada tentara Republik. “Begitu Belanda datang, kami ledakkan jembatan dan kami mengambil senjata mereka untuk kami gunakan, setelah itu kami masuk hutan lagi,” ujarnya.
Bahkan tak hanya truk, Bu Topo mengaku juga pernah mengintai kedatangan pasukan Belanda yang mengendarai tank. “Yang tank ini juga tak hanya satu, tapi seingat saya ada 3 tank yang kemudian diledakkan di sebuah jembatan di kawasan Kedungadem,” tuturnya.
Saat di usianya yang masih belia itu, Bu Topo bersama 2 perempuan seusianya juga sering keluar masuk hutan bersama para tentara Republik untuk menghadang tentara Belanda yang ingin mengusai kembali Indonesia.
Bu Topo menuturkan, Ada juga tugas mengantarkan surat dari satu pos ke pos lainnya atau dari markas ke lokasi keberadaan pasukan tentara republik di hutan. “Tak ada yang curiga dengan kami, karena mungkin saat itu saya masih dianggap anak-anak,” tutur Bu Topo.
Meski demikian, Bu Topo mengaku ikhlas menjalankan setiap tugasnya. Kendati untuk makan saja mereka harus mau seadanya, yaitu tiwul pemberian warga yang sengaja datang untuk membantu para tentara Republik.
Bu Topo Mengatakan, “Tak ada rasa takut sama sekali ketika itu. Yang ada hanya keberanian untuk mengusir penjajah,” kata Bu Topo.(tik/nur)