Pertanian

Menunggu Program Unggulan Pertanian Kota Blitar

320
×

Menunggu Program Unggulan Pertanian Kota Blitar

Sebarkan artikel ini
Mochamad Amin, Ketua KTNA Kota Blitar.

Blitar, HarianForum.com- Mengutip dari situs kota Blitar yang bertajuk “Picu Luas Lahan Pertanian di Kota Blitar Berkurang”. Dari kutipan blog yang ditulis pada tanggal 20/2/2020 bahwa pertanian kering dan tidak produktif, pembangunan untuk kepentingan umum dan alih fungsi lahan untuk perumahan menjadi pemicu kondisi tersebut.

Dalam situs, disampaikan Ir. Rodiah, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Blitar, lahan kering dipicu musim kemarau panjang dan sulitnya mengalirkan air ke persawahan. Selain itu tanah tidak produktif lagi karena pengaruh obat pertanian yang sudah terlalu banyak terkandung di tanah, sehingga unsur hara berkurang dan sulit ditanami kembali.

Pembangunan gedung yang berkaitan dengan kepentingan umum, seperti pembangunan gedung sekolah dan kantor juga ikut berperan mengurangi luas lahan pertanian termasuk pembangunan perumahan milik pribadi.

Luas lahan pertanian Kota Blitar berkurang rata – rata 10 hektare tiap tahun. Data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Blitar menyebutkan, di 2016 luas lahan pertanian masih mencapai 1.085 hektare. Di 2018, luas lahan pertanian tinggal 1.065 hektare. Selama dua tahun (2016 – 2017) terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 20 hektare.

Salah satu sektor penyangga kekuatan negara terutama pada swasembada pangan, tidak ada alasan untuk tidak  diwujudkan. Karena ketersediaan kebutuhan pangan memiliki dampak yang luas di daerah  dengan luas wilayah sekitar  32,57 km2 memiliki jumlah penduduk kurang lebih 158 ribu jiwa. Tidak hanya bahan pangan yang cukup, tetapi kualitas bahan pangan baik serta nilai gizi yang tinggi akan berdampak pada perekonomian dan sumber daya manusia.

Mochamad Amin, petani kota Blitar merasakan prihatin dengan kondisi pertanian yang dirasa semakin sulit dalam mengelolanya. Selain pajak tanah yang tinggi, tanah untuk pertanian terus menurun kesuburannya, bahkan menurutnya bisa dikatakan sakit, terutama pada lahan tanaman pangan.

Adanya permasalahan atau persoalan pertanian pada saat ini, Amin menyampaikan bahwa jangan hanya petani yang mencari solusi, tetapi pihak pemangku jabatan yang terkait dengan pertanian juga harus ikut aktif terlibat.

“Dinas terkait dalam hal ini dinas ketahanan pangan dan pertanian, bahwasanya permasalahan yang dihadapi petani tidak bisa dipikir sendiri oleh petani. Kita selama ini turun ke bawah banyak menerima keluhan permasalahan dari petani. Kami sebagai petani berharap untuk ke depan, dinas bisa memberikan program salah satunya produk unggulan pertanian di kota Blitar,” ungkap ketua Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan atau KTNA kota Blitar, Rabu (22/09).

Hibatullah Al Azizi, pengamat pertanian Kota Blitar.

Disinggung penggunaan anggaran pada institusi pertanian kota Blitar yang bisa mendukung untuk perekonomian masyarakat, Amin memberi pemikiran program wisata pertanian di kota Blitar memiliki signifikansi, namun program tersebut  sebaiknya dilakukan secara optimal.

“Ada program wisata pertanian di wilayah Sananwetan (kecamatan.red), menurut kami program tersebut bagus. Namun jangan kecil kecilan. Bahkan kalau bisa ke depannya kota Blitar ada wisata pertanian untuk edukasi masyarakat terutama bisa dimanfaatkan bagi generasi muda atau milenial,” tandas Mochamad Amin.

Kondisi pertanian di kota Blitar juga disikapi salah satu generasi milenial, Hibatullah Al Azizi. Hibat menyampaikan pendapatnya tentang potensi maupun keunggulan bidang pertanian di Kota Blitar, sesuai pengamatannya bahwa pertanian di kota Blitar perlunya mengolah potensi alam dengan dukungan sumber daya manusia yang mumpuni.

Menurutnya, terus menurunnya keinginan warga kota Blitar untuk menggeluti pertanian cukup beralasan. Persoalan ekonomi dengan berharap hasil dari pertanian yang  tidak menjajikan, bahkan tidak sedikit menilai sektor tersebut tidak mampu memberikan kesejahteraan para petani, sehingga memicu produktivitas pertanian yang berada di kota Blitar.

“Kiranya dari pihak terkait khususnya dari pemerintah melalui dinas pertanian harus step down membantu para petani tersebut guna menunjang produktivitas yang nantinya memiliki dampak terhadap kesejahteraan para petani di di kota Blitar. Wacana urban farming atau pertanian di perkotaan  sudah santer terdengar pada beberapa tahun yang lalu. Namun kenyataannya di kota Blitar yang memiliki 3 kecamatan ini tidak terjadi inovasi yang signifikan,” ungkap alumni Universitas Brawijaya, fakultas pertanian, jurusan tehnologi pertanian.

Kepada HarianForum.com, Hibat melontarkan gagasan untuk menggugah gairah petani di Kota Blitar, perlunya diciptakan urban farming selain dengan kemandirian benih juga didukung dengan ketersedian pupuk.Konsekuensi pemerintah harus memberikan subsidi untuk benih maupun pupuk dengan kualitas yang baik sehingga petani di kota Blitar bisa memperoleh hasil yang maksimal meski pada lahan  yang tidak luas.

Warga kelurahan Plosokerep, kecamatan Sananwetan, menambahkan, sangat perlu adanya  sistem irigasi yang bagus, teknologi pertanian baik pada pra panen, panen dan pasca panen. Pemerintah juga step down dan penyuluh pertanian harus menjadi agent of change guna mendorong inovasi inovasi dari petani itu sendiri. Bagi Hibat, perlunya sharing pengetahuan,  bimtek dan juga pelatihan terhadap pengelolaan lahan, pemilihan jenis pupuk dan pestisida, penggunaan dan perawatan alat dan mesin pertanian bantuan dari pemerintah.

“Pemerintah harus terus mendorong dan memberi motivasi ketertarikan kaum milenial pada dunia pertanian dengan memanfaatkan lahan sebagai pengembangan pertanian di kota Blitar yang dikelola dengan hidroponik, pertanian vertikultur, tabulampot, dan usaha produksi serta penjualan benih atau benih tanaman. Dan juga tidak kalah penting, memangkas rantai ekonomi pada sektor pertanian. Karena permasalahan ini sangat vital. Realitanya apabila petani bertemu dengan konsumen, maka nilai jual juga akan semakin tinggi pula. Tetapi jika masih melewati tengkulak atau dengan istilah lainnya, maka penerima keuntungan yang signifikan bukan dari pihak petani melainkan pihak yang dekat dengan konsumen. Pemerintah ambil sikap dan harus turun tangan dengan memanfaatkan badan usaha milik daerah atau BUMD yang dimiliki,” pungkasnya.(Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *