A. Asal Usul Gudeg
Gudeg sebagai makanan khas tradisional Yogyakarta dikenalkan oleh Nyai Ageng Sabingah tahun 1576. Nyi Ageng Sabingah adalah adik Juru Mertani, putri Ki Ageng Saba. Setelah dewasa menikah dengan Ki Ageng Pemanahan.
Babad Mentaok menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram. Berkat jasanya pada kraton Pajang, Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya memberi ganjaran kepada Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi. Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah alas Mentaok. Ki Ageng Penjawi mendapat hadiah bumi Pati.
Untuk menjamu para pekerja yang sedang membuka lahan di alas Mentaok Nyi Ageng Sabinah selalu membuat hidangan sayuran yang terbuat dari nangka. Sayuran nangka ini dimasak enak, yang membuat para pekerja memiliki sifat patuh, manut, dan bisa digugu. Karena hatinya senang para pekerja itu menjalankan tugas tiada henti alias ora mandeg-mandeg.
Ki Ageng Pemanahan merasa perintahnya digugu. Sedangkan para tukang bekerja ora mandeg-mandeg. Semua itu berkat hidangan Nyi Ageng Sabingah yang nikmat dan lezat. Sayur nangka ini sepakat dinamakan dengan sebutan Gudeg.
Dengan demikian kata gudeg merupakan akronim dari kata yang digugu dan ora mandeg-mandeg. Suguhan gudeg yang ditemukan oleh Nyi Ageng Sabingah ini diteruskan oleh anak menantunya yang bernama Kanjeng Ratu Waskitha Jawi.
Pada tahun 1582 Danang Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar dinobatkan menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Putra Ki Ageng Pemanahan dengan Sabingah ini sejak kecil diambil sebagai anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang. Setelah dewasa Danang Sutawijaya ini menikah dengan Kanjeng Ratu Waskitha Jawi putri Ki Ageng Penjawi.
Cita rasa gudeg bertambah enak, setelah Ratu Waskitha Jawi membawa koki yang berasal dari pesisir utara pulau Jawa. Juru Masak dari Bangsri Jepara didatangkan di ibukota Mataram Kotagede. Koki Bangsri Jepara memang ahli kuliner sejak jaman kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh Ratu Sima.
Perlu kiranya diceritakan tentang ketangguhan Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. putri Bupati Pati ini terkenal hebat, kaya raya, trampil, pintar, murah, ramah dan cantik jelita. Ditambah lagi memiliki kemampuan estetika dan cita rasa masakan yang tinggi. Atas inisiatifnya makanan gudeg tampil mendunia.
Dalam lintasan sejarah Kotagedhe telah menyumbangkan keagungan peradaban. Kerajaan Mataram didirikan pada tahun 1584. Mataram beribukota di Kotagedhe atau Kutha Ageng. Pendirinya tiga serangkai yang amat misuwur. Ketiga tokoh itu adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Juru Martani. Sesepuh Mataram ini nyata sebagai jalma limpat seprapat tamat. Beliau berilmu tinggi, kebak ngelmu sipating kawruh, putus ing reh saniskara.
Dalam Babad Mentawis disebutkan kiprah Ki Ageng Giring yang mempunyai spesialis ilmu nggiring. Orientasi keilmuan sebatas pada wacana menggiring. Titik temannya sebatas tut wuri handayani. Sebagai rakyat sewajarnya memberi dorongan pada pemerintah yang mendapat mandat. Inilah penerapan konsep manunggaling kawula Gusti.
Adapun Ki Ageng Pemanahan memiliki ilmu manah. Tempat tinggalnya di Manahan yang masih wewengkon Kasultanan Pajang. Beliau penasihat utama raja Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Bagi Ki Ageng Pemanahan pola pikir hendaknya selaras dengan laku dikir. Penerapannya terjabar pada konsep Kejawen sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Tasawuf Islam mengajarkan syariat tarikat hakikat makrifat.
Pemilik ilmu tingkat sangkan paraning dumadi yakni Panembahan Senapati. Manggalih adalah manunggaling barang kalih, yaitu kepala dada yang digambarkan dengan orong orong. Ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga, guru suci ing Tanah Jawi cukup menjadi solusi. Pada saat pembangunan Masjid Agung Demak Bintara perlu penyempurnaan. Saka guru Masjid lantas dijangkepi dengan anyaman tatal kang sambung sinambung.
Panembahan Senapati tokoh yang mampu membangun peradaban besar. Saben mendra saking wisma lelana laladan sepi. Ngingsep sepuhing sopana mrih pana pranaweng kapti. Dalam prakteknya beliau selalu amemangun karyenak tyasing sesama. Ikut serta dalam memelihara perdamaian dunia yang berdasarkan keadilan abadi.
Begitu tangguh, sepuh, utuh, wanuh, gambuh penghayatan ilmu pengetahuan yang dimiliki Panembahan Senapati. Kanjeng Ratu Kidul, penguasa pantai selatan pun kalah perbawa. Dari Kotagedhe menuju Kedaton Kanjeng Ratu Kidul yang disebut Saka Domas Bale Kencana. Di sanalah Panembahan Senapati melakukan meditasi dan refleksi spiritual. Ilmu iku kelakone kanthi laku.
Nama kecil Panembahan Senapati adalah Sutawijaya, yang bermakna anak Sultan Hadiwijaya, raja Pajang. Sejak lahir hingga dewasa, Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar memang diasuh oleh Sultan Hadiwijaya. Di Kasultanan Pajang Sutawijaya digembleng lahir batin. Diberi pelajaran ilmu kanuragan jaya kawijayan. Ilmu tata negara diberikan Ki Juru Martani. Ilmu diplomasi kenegaraan diajarkan oleh Ki Ageng Penjawi. Sutawijaya menjadi pribadi paripurna.
Alas Mentaok merupakan cikal bakal bumi Mataram Kotagedhe. Mentaok berarti dimen taberi olah kawruh. Maka trah Mataram harus wignya tembung kawi. Kawruh agal alus, sesuai kumandang sastra gendhing. Danang Sutawijaya dipilih oleh Sultan Hadiwijaya sebagai raja Mataram Kotagedhe atas restu Kanjeng Sunan Giri Parepen. Kebijaksanaan Sultan Pajang ini dalam rangka politik kompromi antara trah Pajang dan keturunan Sultan Demak Bintara.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya membekali dua pusaka utama. Tombak Kyai Plered dan Rontek Tunggul Wulung. Tombak Kyai Plered warisan Ki Ageng Banyubiru. Ampuhnya setarap dengan Tombak Kyai Baru Klinthing milik Ki Ageng Mangir. Ujung tombak Kyai Plered terdapat zat kimia yang menyemburkan gas beracun. Korbannya yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang Panolan.
Pusaka Rontek Kyai Tunggul Wulung sejenis bendera gula kelapa. Pusaka ini warisan Adipati Sri Makurung Handayaningrat. Beliau Bupati pengging yang menikah dengan Ratu Pembayun, putri Prabu Brawijaya V. Kyai Tunggul Wulung penting sekali. Gunanya untuk menyingkirkan pageblug mayangkara. Segala macam penyakit menular akan pergi ketika Rontek Kyai Tunggul Wulung berkibar. Bencana alam, banjir, Gunung meletus, gempa bumi cukup diatasi dengan kitab pusaka Rontek Kyai Tunggul Wulung.
Danang Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar dinobatkan menjadi raja Mataram Kotagedhe , nak tumanak run tumurun. Bergelar Panembahan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panetep Panatagama. Berkuasa di kerajaan Mataram tahun 1584 sampai 1601. Beliau juga mendapat julukan Wong Agung ing Ngeksiganda. Sejak itu pedoman raja Mataram adalah agama ageming aji.
Setiap ada perhelatan, pahargyan atau pesta kenegaraan Kanjeng Ratu Waskitha Jawi tak lupa menyuguhkan sayur gudeg. Para koki diberi latihan agar mampu menyajikan masakan tradisional dengan cita rasa dan kemasan yang pantas.
B. Pelatihan Kuliner Gaya Mataraman
Makanan yang disajikan oleh Istana Mataram selalu dimasak oleh koki yang handal. Untuk jenis martabak di datangkan dari daerah Tegal. Bumbu pecel didatangkan dari Madiun. Bumbu trasi didatangkan dari Lasem Rembang. Bumbu kecap didatangkan dari daerah Purwodadi.
Begitulah inisiatif Kanjeng Ratu Waskitha Jawi yang melakukan pelatihan kuliner gaya Mataraman pada tahun 1584. Koki dari Surabaya melatih cara membuat rujak cingur. Teknik masak tahu dilakukan oleh para koki dari Kediri sedangkan kue sejenis lumpia didatangkan dari Semarang. Bolu emprit diserahkan pada koki Tuban.
Jadwal pelatihan sayur nangka di pegang oleh koki Dawar Mojosongo Boyolali. Gudeg Mataraman semakin dikenal luas. Rasanya enak, harganya murah. Kian hari seluruh pelancong yang datang ke wilayah Mataram terkesan dengan suguhan gudeg. Muncullah industri kreatif berbasis makanan tradisional.
Kiprah Kanjeng Ratu Waskitha Jawi semakin dirasakan guna manfaatnya. Tata wilayah Kotagedhe sebagai ibukota Mataram berhubungan erat dengan sejarah Kabupaten Pati dan Gresik. Garwa prameswari Panembahan Senapati adalah Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. Beliau putri Bupati Pati, Ki Ageng Penjawi. Ibunya berasal dari keluarga kalangan Wali Sanga. Beliau bernama Raden Ayu Panengah, putri Kanjeng Sunan Giri Parepen di Gresik.
Asal usul Ki Ageng Penjawi cukup berbobot. Ayahnya adalah Ki Ageng Ngerang, tokoh masyarakat Juwana. Sedangkan Ki Ageng Ngerang merupakan anak Ki Ageng Getas Pendawa. Orang tua Ki Ageng Getas Pendawa adalah Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih. Raden Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya V, raja Majapahit. Dewi Nawangsih adalah putri Ki Ageng Tarub yang menikah dengan Dewi Nawangwulan. Bila ditarik ke atas masih keturunan Bupati Wilwatikta Tuban.
Masa kanak kanak Ki Ageng Penjawi digunakan untuk belajar dan bekerja. Beliau pernah mengabdi kepada Pangeran Hadirin, suami Kanjeng Ratu Kalinyamat Jepara. Pangeran Hadirin adalah menantu Sultan trenggana yang menjadi saudagar kaya raya. Berasal dari kerajaan Samudera Pasai Aceh. Kekayaan yang berlimpah ruah ini digunakan untuk menyumbang pembangunan di Karaton Demak Bintara. Melihat bakat dan kemampuan Ki Ageng Penjawi ini, Pangeran Hadirin memberi beasiswa. Biaya hidup, perjalanan dan operasional ditanggung penuh. Malah boleh dikatakan turah turah.
Pada tahun 1559 sampai 1564 Ki Ageng Penjawi berguru ke Persia Iran. Waktu itu negeri Persia Iran diperintah oleh dinasti Safawi. Rajanya bernama Sri Baginda Sultan Qajar Pahlewi Syah. Ki Ageng Penjawi belajar ilmu arsitektur, kesusasteraan, tata kota, bangunan monomen dan sejarah Britania. Selama belajar di negeri Persia Iran Ki Ageng Penjawi menggunakan nama Abdullah Mukmin Pahlewi.
Kanjeng Ratu Waskitha Jawi mendapat status the First Lady Karaton Mataram dengan modal yang sangat besar. Leluhurnya memang bangsawan terhormat, trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih. Dari jalur ibu dan bapaknya adalah tokoh sejarah Jawa. Proses pendidikan dan kepribadian dijalani dengan begitu rapi. Layak menduduki permaisuri Panembahan Senapati. Dari guwa garba rahimnya lahir Raden Mas Jolang. Kelak menjadi raja kedua Mataram. Bergelar Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati, yang memerintah kerajaan Mataram tahun 1601 sampai 1613.
Atas prakarsa Kanjeng Ratu Waskitha Jawi, Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati menikah dengan Ratu Banuwati. Beliau putri Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Dari pernikahan ini lahir Raden Mas Jatmika. Nanti menjadi raja ketiga Mataram dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Memerintah kerajaan Mataram tahun 1613 sampai 1645.
Selama bertugas sebagai ibu negara kerajaan Mataram, Kanjeng Ratu Waskitha Jawi aktif membangun Kotagedhe. Jarak antar kota dibuat sejauh 30 km. Inspirasi penjarakan kota ini berasal dari Persia Iran. Dengan alasan jalannya kuda normal ditempuh maksimal 30 km. Jarak pasar sebagai pusat perbelanjaan dibuat sekitar 5 km. Dengan argumentasi orang jalan normal dapat menempuh 5 km. Kotagedhe dibangun dengan landasan logika etika estetika.
Inspirasi dari negeri Persia Iran amat dominan dalam membangun istana Kotagedhe. Istana Mataram dibangun dengan kayu jati Cepu. Tukangnya dari juru ukir Jepara. Batu marmer dari Tulungagung. Tengah kota dibangun alun alun sebagai sarana space public. Ruang umum ini berfungsi sebagai pelepas lelah, hiburan dan menjalin komunikasi sosial. Tak lupa dibangun Masjid untuk beribadah. Masjid agung dilengkapi bedug dan kenthongan. Baru kemudian dibangun pasar untuk transaksi barang dan jasa.
Pengaruh Kanjeng Ratu Waskitha Jawi sangat kuat di Kotagedhe. Wajar saja, karena beliau orang kaya. Usaha dari keluarga Pati meliputi kayu jati, semen, minyak, pari gaga dan burung perkutut.
Perusahaan multi bidang yang diwarisi dari Ki Ageng Penjawi tersohor di Asia Tenggara. Bahkan Kanjeng Ratu Waskitha Jawi berhasil pula mengembangkan bisnis perikanan, pelayaran dan pelabuhan di Jepara, Tuban dan Semarang. Ketrampilan usaha ini dikembangkan di Kotagedhe. Pemuda pemudi Mataram dilatih untuk mengembangkan beragam kerajinan. Muncullah industri kerajinan perak berkualitas eksport.
Kerajaan perak Kotagedhe maju pesat. Kewirausahaan orang Kotagedhe teruji dalam lintasan sejarah. Ini berkat jasa Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. Industri batik juga dibina. Hanya saja tempatnya di wilayah sekitar bengawan Solo. Tepatnya di sekitar kawasan Laweyan. Untuk penasaran hasil bumi dikembangkan di daerah Karangkajen. Pusat kuliner sate klathak dipilih sepanjang daerah wonokromo. Naluri bisnis Kanjeng Ratu Waskitha Jawi amat tajam. Kotagedhe sebagai ibukota Mataram benar benar loh subur kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku.
Kanjeng Sultan Agung membuat kebijakan baru. Pada tahun 1613 sampai 1645 ibukota Mataram pindah ke Kerta. Pada tahun 1645 sampai 1677 ibukota Mataram pindah ke Plered. Masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Tegal Arum. Pada tahun 1677 sampai 1745 ibukota Mataram di Kartasura. Tahun 1745 sampai 1755 ibukota Kerajaan Mataram di Surakarta. Pada tanggal 13 Pebruari 1755 ada perjanjian luhur. Namanya perjanjian Giyanti. Kerajaan Mataram semakin arum kuncara.
Namun demikian, Kotagedhe tetap dianggap sebagai pepundhen oleh para Pangageng Mataram. Tiap bulan ruwah utusan keraton Surakarta dan Yogyakarta marak sowan ing Kotagedhe. Mengapa? Karena the founding fathers Mataram kang wus surut ing kasedan jati, sumare ing Puroloyo Kotagedhe.
Pengembangan masakan gudeg dari waktu ke waktu semakin menunjukkan hasil yang memuaskan. Kanjeng Ratu Banowati adalah mantu Kanjeng Ratu Waskitha Jawi. Ibu mertua dan mantu ini sama-sama ahli kuliner. Gudeg Mataraman dikembangkan dengan kemasan yang lebih elok.
C. Industri Kreatif Kuliner Tradisional
Yogyakarta sebagai destinasi wisata nasional telah lama menyajikan aneka ragam jajanan tradisional. Kegiatan ini memicu semaraknya industri kreatif. Pariwisata didukung dengan hadirnya ragam makanan yang bernilai komoditas.
Makanan gudeg menjadi suguhan istimewa saat upacara penandatanganan Perjanjian Giyanti. Para diplomat Surakarta dan Yogyakarta merasa cocog dengan suguhan merakyat ini. Ternyata gudegmemperlancar jalan diplomasi kenegaraan.
Perjanjian Giyanti ditanda tangani di desa Giyantiharjo Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 13 Pebruari 1755. Terjadi pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono lll yang memerintah tahun 1749 sampai 1788.. Beliau mendapat julukan Sinuwun Suwarga. Artinya raja yang ikhlas lahir batin. Pelopor perdamaian di tanah Jawa.
Tidak cuma itu, Sinuwun Paku Buwono lll pada tanggal 17 Maret 1757 menanda tangani perjanjian Salatiga.
Perjanjian Giyanti mengesankan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Sultan hamengku Buwono l.
Perjanjian Salatiga meresmikan Raden Mas Said berkuasa dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya mangkunegara l. Semua itu terjadi atas kemurahan hati Kanjeng Sinuwun Paku Buwono lll. Beliau raja besar yang ahli sejarah, teater, sosiologi, sastra budaya. Semasa mudanya bernama Gusti Raden Mas Suryadi kerap berperan sebagai sutradara teater keliling.
Karya Sinuwun Paku buwono lll yang terkenal adalah Serat Wiwaha Jarwa. Dalam seni pedalangan digubah menjadi lakon Begawan Mintaraga. Sebagian menyebut cerita Begawan Ciptowening.
Pada tahun 1966 RS Subalinata dari Fakultas Sastra UGM meneliti Reriptan Sinuwun Paku Buwono lll dalam bentuk skripsi. Dr Kuntara Wiryamartana pada tahun 1987 membahas karya Paku Buwono lll dalam disertasi yang diterbitkan menjadi buku oleh Duta Wacana University Press. Disertasi itu diajukan di hadapan wibawa Senat UGM dengan promotor utama Prof Dr A Teuuw dari Universitas Leiden.
Sebelum tanda tangan soal kenegaraan, Sinuwun Paku Buwono lll selalu sowan ke Puroloyo Kotagedhe. Minta lilah dan petunjuk pada leluhur Mataram. Beliau juga mahas ing ngasepi di gunung Lawu, tempat muksanya Prabu Brawijaya V.
Tiap bulan ruwah tak lupa siram jamas di Umbul Ngabehan Pengging. Sekali tempo melakukan tapa kungkum di kahyangan Dlepih Tirtamaya Wonogiri. Kadang kadang lek lekan, cegah dhahar lawan guling di Gunung Danaraja. Untuk kontemplasi beliau memilih tempat ing tepis wiringing gisik Bekah.
Menurut isi perjanjian Giyanti, wilayah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen milik sepenuhnya Karaton Surakarta Hadiningrat. Kotagedhe, Imogiri Ngawen dijadikan wilayah setingkat Kabupaten. Pimpinan yang mengelola ketiga wilayah ini mendapat status Bupati.
Mereka bertugas atas perintah dan bertanggung jawab kepada Karaton Surakarta Hadiningrat. Alangkah indahnya bila hubungan kultural itu tetap dilestarikan sampai sekarang, demi menggali kearifan lokal. Kata Bung Karno, jasmerah jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Wawasan kebangsaan bisa dianyam dengan pelestarian budaya.
Masjid agung Kotagedhe dibangun oleh Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta yang memerintahkan tahun 1893 sampai 1939. Beliau raja kaya raya. Punya saham di perusahaan pabrik gula sebanyak 176 buah.
Perkebunan teh di Ampel Boyolali, perkebunan tembakau di Tegalgondo Klaten dan perkebunan kopi di Kembang Semarang. Kejayaan dan kemakmuran digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Masjid Kotagedhe sebagai benda cagar alam dibangun megah mewah tahun 1926.
Puroloyo Kotagedhe tempat sumare Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Martani, Panembahan Senapati dan Prabu Hadi Hanyakrawati.
Puroloyo Mataram ini dibangun dengan begitu agung dan anggun.
Upacara nyadran dilaksanakan setiap bulan ruwah oleh Karaton Surakarta Hadiningrat dengan segala kesungguhan. Ini wujud mikul dhuwur mendhem jero. Segenap abdi dalem Kotagedhe dan Imogiri sowan ke Karaton Surakarta Hadiningrat tiap ada acara tingalan jumenengan dalem dan upacara Grebeg Mulud.
Untuk kepengurusan Masjid Kotagedhe diserahkan pada takmir secara otonom. Tapi semua biaya disediakan oleh Karaton Surakarta Hadiningrat. Umumnya takmir masjid Agung Kotagedhe pernah mengenyam pendidikan agama Islam di Mambaul Ulum. Letak kantornya di kompleks Masjid agung Karaton Surakarta Hadiningrat. Kegiatan belajar mengajar di Mambaul Ulum menempati beberapa lokasi yang menyebar sampai kawasan Sri Wedari.
Takmir Masjid di Pajimatan Imogiri dan Puroloyo Kotagedhe sejak masa pemerintahan Patih Sosrodiningrat selalu dibekali pendidikan yang cukup. Mambaul Ulum adalah lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola dengan kurikulum modern.
Alumni pendidikan Mambaul Ulum misalnya Prof Dr HM Rasyidi Atmosudigdo, Prof Dr Mukti Ali dan Munawir Zadzali MA, pernah menjabat Menteri Agama RI. Tokoh Kotagedhe alumni Mambaul Ulum yaitu Zubair Muhsin yang aktif dalam bidang sosial keagamaan. Pahlawan nasional Prof Dr Abdul Kahar Muzakkir adalah alumni Mambaul ulum Surakarta yang melanjutkan belajar di Perancis, Mesir dan Nederland. Mambaul Ulum telah memberi pencerahan pada putra bangsa.
Patih Sasradiningrat sebagai Perdana Menteri Karaton Surakarta Hadiningrat amat peduli pada pergerakan islam. Bahkan beliau juga menjabat ketua PDM Muhamadyah Surakarta. Bersama dengan KGPH Hangabehi turut membantu organisasi Budi Utomo dan Sarikat Islam.
Pada tahun 1945 Drs Sasradiningrat juga, alumni Universitas Leiden menjadi anggota BPUPKI. Utusan Karaton Surakarta Hadiningrat dalam BPUPKI lainnya yaitu Dr Radjiman Wedyadiningrat, KGPH Surya Hamijaya, RMAA Drs Wuryaningrat, RP Singgih. Presiden Soekarno diberi kursus oleh Drs RMAA Sasradiningrat tentang sistem protokol kenegaraan.
Karaton Mataram memberi warisan kultural. Sejarah sebagai piranti kaca benggala untuk membaca owah gingsire jaman.
Hubungan historis Karaton Surakarta Hadiningrat dengan Kotagedhe sampai sekarang tetap semangat dan hangat. Daerah Laweyan Solo, Kotagedhe dan Pekajangan Pekalongan adalah contoh koneksi historis dan bisnis. Jaringan ini bisa digunakan untuk merajut nilai kebangsaan. Generasi muda perlu belajar sejarah peradaban masa lampau.
Kedudukan Kotagedhe mendapat perhatian khusus dari kalangan akademis. Prof Dr Notonagoro adalah guru besar dan ahli filsafat Pancasila UGM. Beliau merup menantu Sinuwun Paku Buwono X. Saat sembahyang di Masjid Kotagedhe, beliau selalu berdoa untuk para pendiri Mataram.
Dalam kehidupan sehari hari Prof Dr Notonagoro menghayati kebudayaan leluhur dengan sepenuh hati. Tahun 1983 wafat dan dimakamkan di pajimatan Imogiri. Satu kompleks dengan makam raja Surakarta. Kesadaran kultural ini dilanjutkan oleh murid muridnya yang mendapat nama sesebutan dari Karaton Surakarta dengan pangkat Bupati Riya Inggil.
Kotagedhe memang telah menjadi monumen sejarah kebesaran Karaton Mataram. Sungguh besar jasa Panembahan Senapati yang dibantu oleh Kanjeng Ratu Waskitha Jawi.
Putri Penjawi dari bumi Pati adalah wanita sembada wiratama. Prameswari Mataram yang tampil sebagai mustikane putri, tetunggule widodari. Mereka wanita wani mranata.
Gudeg Yogya
Kutha Yogyakarta mas wis kondhang gudhege
Kanca geplak Bantul gathot thiwul Gunungkidul
Pancen enak tenan salak pondoh Sleman
Dolan menyang Wates mundhut gebleg sarwa pantes
Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati
Pasar Godean kripik welut pinggir ndalan
Kaliurang jadah tempene yen mathuk bakpia Pathuk
Lagu Gudeg Yogya itu menyemarakkan promosi wisata nasional. Dijelaskan pula ragam makanan tradisional yang melipuati daerah Bantul, Gunungkidul, Sleman dan Wates. Geplak Bantul cocok buat oleh-oleh bagi para wisatawan. Jajanan ini terbuat dari bahan baku kelapa yang diolah dengan ketrampilan lokal.
Makanan ini rasanya enak, gurih dan manis. Kalau digunakan untuk oleh-oleh, ditanggung dapat tahan lama. Dengan membeli jajan geplak berarti turut serta dalam meningkatkan derajat ekonomi rakyat.
Gudeg Yogya memberi kontribusi pada kesejahteraan warga. Program wisata nasional berjalan lancar dengan hadirnya makanan khas tradisional.
Pengembangan ekonomi kreatif bisa dilakukan lewat jajanan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kesejahteraan rakyat perlu ditingkatkan dengan hadirnya kuliner tradisional pedesaan.
(Dr. Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA)