A. Wilujengan Negari untuk Memperoleh Keselamatan.
Upacara wilujengan negari maesa lawung diselenggarakan pada hari Senin Wage, tanggal 14 Desember 2020. Bertepatan dengan penanggalan Jawa, 28 Jumadil Awal 1954 Jimakir. Tempatnya di Alas Krendha Wahana.
Bagi masyarakat Jawa Alas Krendha Wahana memang wingit, gawat kaliwat liwat, angker kepati pati. Hutan ini masuk wilayah Gondangrejo Karanganyar. Dari Karaton Surakarta Hadiningrat berjarak sekitar 15 km ke arah utara.
Kerajaan Pengging sejak tahun 423 diperintah oleh Prabu Kusuma Wicitra. Demi keselamatan rakyat raja Pengging tiap tahun melakukan upacara maesa lawung. Upacara dilengkapi dengan sesaji serba mentahan.
Alas Krendha Wahana merupakan Kahyangan Bathari Kala Yuwati. Disebut juga Bathari Uma, Dewi Pramoni, Bathari Durga. Kedudukannya di alam kadewatan amat tinggi. Karena Dewi Kala Yuwati permaisuri Sang Hyang Jagad Girinata.
Persiapan upacara wilujengan negari Maesa lawung termasuk njlimet. Harus teliti permati. Kekeliruan sedikit saja berakibat kerugian. Abdi dalem purwa kinanthi bekerja dengan berpedoman paugeran yang turun tumurun.
Tradisi wilujengan itu dilakukan oleh semua raja Jawa. Prabu Kertanegara raja Singosari tahun 1274 melaksanakan sesaji maesa lawung dengan megah mewah. Rakyat perkotaan pedesaan dan pegunungan dilibatkan untuk kegiatan wilujengan.
Prabu Brawijaya V raja Majapahit menjadikan wilujengan maesa lawung sebagai hari sakral nasional. Pada tahun 1469 seluruh rakyat Kerajaan Majapahit mendukung jalannya upacara adat. Tradisi berlangsung dengan kepanitiaan yang rapi.
Ketua panitia dipegang oleh Sri Makurung Handayaningrat. Menantu Sinuwun Prabu Brawijaya ini terkenal sakti mandraguna. Sri Makurung Handayaningrat adalah Adipati Pengging yang menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.
Pelaksanaan upacara ini dibantu oleh Raden Batara Katong, adik Pembayun. Kelak dinobatkan sebagai Bupati Ponorogo. Batara Katong sejak kecil diasuh oleh Ratu Pembayun dan Adipati Handayaningrat.
Kelancaran upacara maesa lawung jaman Majapahit berkat bantuan Raden Bondhan Kejawan atau Lembu Peteng. Bersama dengan Dewi Nawangsih, Raden Bondhan Kejawan bertugas meneliti kelengkapan sesaji upacara. Terlebih dulu mendapat doa dari Ki Ageng Tarub.
Perubahan besar terjadi pada tahun 1478. Kekuasaan pindah tangan pada Kasultanan Demak Bintara. Raden Patah atau Sultan Shah Alam Akbar Jimbun Sirullah meniadakan upacara wilujengan negari Maesa lawung. Awal Kerajaan Demak berkuasa memang berusaha untuk menghilangkan adat istiadat. Oleh sebab dianggap melanggar keyakinan.
Tanpa diduga sebelumnya. Negeri Demak Bintara kena musibah besar. Di mana mana terjadi pageblug mayangkara. Rakyat hidup susah. Wabah penyakit sulit diredakan. Pagi sakit, sorenya mati. Malah badan metiang, siang harinya nyawa melayang. Begitu terus setiap hari. Wabah pageblug mengancam seluruh kawasan negeri.
Pada tahun 1480 atas usul Kanjeng Sunan Kalijaga diadakan rapat agung. Sultan Shah Alam Akbar Jimbun Sirullah mau menerima nasihat para wali. Upacara wilujengan negari Maesa lawung diselenggarakan kembali.
Syukur Alhamdulillah, pageblug mayangkara sirna seketika. Upacara maesa lawung ternyata menyelamatkan tanah Jawa. Rakyat hidup ayem tentrem. Petani mencangkul di sawah dengan tenang. Tanaman subur, ekonomi jadi makmur. Panen berlimpah ruah.
Sultan Hadiwijaya berkuasa di Kerajaan Pajang sejak tahun 1546. Upacara wilujengan Maesa Lawung dipimpin oleh Ki Ageng Butuh. Umumnya panitia dipegang para murid Syekh Siti Jenar. Mereka adalah penganut Kejawen yang mencapai makrifat sejati.
Sinuwun Prabu Hadi Hanyakrawati memerintah kerajaan Mataram sejak tahun 1601. Upacara Maesa lawung dipegang oleh abdi dalem yang berasal dari Kabupaten Pati. Ibunda raja adalah Kanjeng Ratu Waskitha Jawi, putri Ki Ageng Penjawi, Bupati Pati yang terkenal kaya raya.
Kanjeng Sri Susuhunan Amangkurat Agung pada tahun 1647 menyelenggarakan upacara wilujengan negari Maesa lawung. Panitia dilakukan oleh warga Tegal, Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara dan Purbalingga. Kegiatan ini dikoordinir oleh Kanjeng Ratu Wiratsari, cucu Pangeran Benawa. Permaisuri raja Mataram ini mengutamakan tata cara yang diwariskan nenek moyang.
B. Karaton Surakarta Melakukan Upacara Maesa Lawung.
Perpindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Sura 1746. Sinuwun Paku Buwana II tetap melakukan upacara sesaji maesa lawung secara teratur.
Pada masa Pemerintahan Sinuwun Paku Buwana II berlangsung tahun 1745-1749. Upacara Maesa Lawung selalu dipimpin oleh KRT Honggowongso dari Kuto Winangun Kebumen. Ahli nujum Karaton Surakarta Hadiningrat ini berwibawa dalam pelaksanaan upacara adat. Sentana dan abdi dalem hidup aman damai sejahtera lahir batin.
Wilayah pesisir Bang Wetan menjadi panitia penyelenggara upacara wilujengan negari Maesa lawung pada tahun 1752. Abdi dalem dari Kabupaten Lamongan bersemangat untuk kegiatan ritual. Karaton Surakarta Hadiningrat dipimpin Kanjeng Sinuwun Paku Buwana III yang memerintah tahun 1759-1788.
Pemerintahan Sinuwun Paku Buwana IV tahun 1788-1820. Kanjeng Ratu Kencono Wungu berasal dari Pamekasan Madura. Pelaksanaan upacara maesa lawung kerap dibantu dari Surabaya. Terutama keturunan Kanjeng Sunan Ampel.
Begitulah para raja Surakarta selalu melakukan upacara wilujengan negari Maesa lawung. Sinuwun Paku Buwana V 1820-1823, Sinuwun Paku Buwana VI 1823-1830,Sinuwun Paku Buwana VII 1830-1858, Sinuwun Paku Buwana VIII 1858-1861,Sinuwun Paku Buwana IX 1861-1893,Sinuwun Paku Buwana X 1893-1939, Sinuwun Paku Buwana IX 1939-1945, Sinuwun Paku Buwana XII 1945-2004, Sinuwun Paku Buwana XIII 2004 sampai sekarang. Raja memimpin upacara adat.
Hari Senin Wage tanggal 14 Desember 2020 upacara wilujengan negari Maesa lawung. Sesuai dengan protokol kesehatan, kegiatan spiritual historis ini diikuti dengan peserta terbatas. Panitia patuh pada situasi pandemi. Ini bentuk dari tindakan yang bijaksana.
Terlebih dahulu sesaji diberi doa. Perpaduan doa dengan cara Hindu, Budha dan Islam. Pengageng Karaton memberi aba Aba dengan bahasa kedhatonan. Ulama segera menanggapi dengan ucapan nuwun inggih sendika dhawuh.
Keselamatan ditujukan untuk sekalian warga masyarakat. Karaton Surakarta Hadiningrat dan negara Kesatuan Republik Indonesia didoakan, supaya selalu aman damai subur makmur. Semua bencana menyingkir. Musibah hidup sirna. Warga dapat bekerja lancar.
Sesepuh Kerajaan, para raja, sentana, abdi dalem berdoa dengan mengucapkan rahayu. Busana kejawen dan tata sikap yang sempurna membawa kekhusukan. Suasana jadi hening magis. Pertanda upacara maesa lawung dilakukan terlalu serius. Dupa wangi sumerbak menambah kesungguhan dalam harapan.
Prajurit jayeng astra, prawira anom, tanantaka siap mengawal sesaji. GKR Wandansari selaku Pengageng Sasana Wilapa dan Ketua Lembaga Dewan Adat memimpin upacara sejak awal. GKR Retno Dumilah memberi perlindungan spiritual. Sentana dan abdi dalem bersama sama melakukan kegiatan kultural yang berlaku berabad abad.
Abdi dalem berasal dari Sukoharjo, Boyolali, Sragen, Klaten, Karanganyar, Wonogiri,Salatiga, Semarang, Purwodadi, Pati, Ngawi, Blora dan Ponorogo. Mereka hadir sowan dengan perwakilan. Tergabung dalam organisasi Pakasa, Paguyuban Abdi dalem Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat.
Kerja sama dengan aparat keamanan baik sekali. Polisi dan TNI bahu membahu menjaga suasana tetap kondusif. Peserta upacara maesa lawung pun merasa mendapat pengayoman. Hajad orang banyak ini demi keselamatan bersama. Iring iringan rombongan peserta wilujengan mudah bergerak. Sepanjang rute perjalanan mulai dari Baluwarti, Kepatihan, srambatan lalu ke arah Grobogan arus lalu lintas bagus sekali.
Anggota Polri dan TNI banyak yang menjadi abdi dalem karaton Surakarta Hadiningrat. Makanya secara sukarela mereka turut berbagai acara adat. Sebetulnya keselarasan tindakan ini amat penting. Alam demokrasi dengan tradisi bisa jalan beriringan.
Tengok saja peradaban Eropa. Berabad abad Inggris, Spanyol, Belanda menerapkan monarkhi konstitusional. Politik dan budaya berjalan saling menghormati. Saudi Arabia, Yordania, Kuwait relatif lebih tenang. Karaton Surakarta Hadiningrat dengan pemerintah selalu mesra. Kebudayaan menuntun paradaban.
Perlengkapan upacara wilujengan maesa lawung meliputi payung, sesaji kepala kerbau, jodang, tampah, songsong yang diurus abdi dalem purwo kinanthi. Lembaga ini di bawah kekuasaan departemen mandra budaya. Mereka terlebih dulu renbugan di Gondorasan.
Tiba di Alas Krendha Wahana pukul 12.30. Langit cerah, angin sumilir, hawa sejuk. Acara segera dimulai dengan prosedur baku. Sesaji tersedia lengkap. Sesaji ini persembahan untuk Sang Hyang Bathari Kala Yuwati. Jagad mendapat suasana suka basuki.
Kinanthi
Kukusing dupa kumelun, ngeningken tyas sang apekik, kawengku sagung jajahan, Sang Resi Kaneka Putra, kang anjog saking wiyati.
Japa mantra dibaca oleh abdi dalem ulama. Para peserta memberi salam rahayu. Tanda doa terkabul harapan terwujud. Karaton Surakarta Hadiningrat mendoakan, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia rahayu lestari.
(Dr Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA)