A. Tanda Darma Bakti Pengabdian.
Pembangun candi lor terjadi pada tanggal 10 April 907. Prestasi gemilang Empu Sendok dikenang sepanjang masa. Labuh labet terhadap nusa bangsa berguna bagi sekalian warga.
Kedatangan wangsa Sanjaya ke Jawa Timur bertujuan untuk melakukan pembinaan di segala bidang. Terlebih dulu Empu Sendok tapa kungkum di telaga sarangan. Lantas manjing wana wasa, mahas ing asepi ibg hargo Dumilah gunung lawu. Gentur tapane, mateng semedine. Apa kang den cipta teka, kang sedya dadi.
Kunjungan Empu Sendok ke wilayah Madiun sambil mengajari pembuatan brem. Berbekal ketrampilan selama mengabdi di daerah Prambanan, Empu Sendok berpengalaman dalam bidang kuliner. Adonan kacang tinah dengan lombok terbentuk sambel pecel. Muncullah kuliner sega pecel khas Madiun. Dengan lauk pauk krupuk lempeng yang kemriyuk.
Tiba di wilayah Caruban tahun 905. Empu Sendok sempat membina seni kerakyatan yang mudah murah meriah. Seni rakyat itu bernama dongkrek. Berkembang sampai sekarang sebagai sarana hiburan yang segar.
Lelepah lelepah, pangananku iwak mentah. Bumbune brambang uyah. Sing masak Mbak Kalimah. Dak pangan ing pinggir sawah. Rasane seger sumyah.
Lelagon tersebut populer gecul. Nadanya enak, syairnya kepenak. Mudah dihafal sebagai bentuk guyon maton. Penonton mendengar langsung mesem ngguyu.
Kehadiran Empu Sendok pertama kali berada di desa Ngrajeg Tanjunganom Nganjuk. Tanggal 30 Juni 907 Empu Sendok membangun padepokan seni. Anak muda berbakat dibina. Tampillah penari gambyong yang handal profesional. Dengan diiringi gamelan janggrung, usaha kesenian ini berhasil memuaskan. Padepokan seni Ngrajeg menjadi cikal bakal lahirnya seni beksan langen tayub.
Masyarakat Nganjuk begitu hormat kepada Empu Sendok, anak Dyah Balitung, putra raja Mataram Hindu.
Dengan semangat gotong royong, masyarakat Candirejo Loceret Nganjuk mendirikan bangunan suci. Terbuat dari batu bata. Kanan kiri tanaman subur. Dari kejauhan ngregemeng gunung Wilis gagah merbawani.
Penghormatan atas jasa Empu Sendok berupa monumen anjuk Jaya stamba atau anjuk Ladang. Nganjuk berarti mangan karo ngunjuk. Air mengalir siang malam tiada henti. Sepanjang mata memandang tampak tanah gembur tanaman sempulur. Hati pun jadi terhibur.
Candi Lor menjadi pusat tetirah bagi pembesar Kerajaan kahuripan. Prabu Airlangga nenepi di candi Lor tahun 1062. Harapannya negeri Kahuripan menjadi sejahtera lahir batin. Rakyat hidup ayem tentrem.
Panji Asmarabangun mendapat kasekten pada tahun 1134. Beliau nenuwun di candi Lor tiap malam selasa kliwon.
Ratu Kencana Wungu, penguasa Kerajaan Majapahit pada tahun 1412 mengadakan upacara Sasana nguntara. Pageblug mayangkara lekas reda, setelah Prabu Kencana Wungu sesaji memendam kepala kerbau di candi Lor. Bahkan Kerajaan Majapahit semakin arum kuncara, ngejayeng jagad raya.
B. Pelestarian Cipta Budaya Bangsa.
Usaha pelestarian Candi Lor atau Sasana Nguntara dilakukan oleh Kanjeng Sultan Trenggana, raja Demak Bintara pada tahun 1523. Hadir pula Kanjeng Sunan Bonang untuk memberkati. Tumpeng sewu dan tumpeng robyong disediakan. Tak ketinggalan dupa garu rasamala. Kukusing dupa kumelun. Sumundhul ing ngawiyat.
Tata cara ritual di Candi Lor juga dilakukan oleh Joko Tingkir. Lara lapa tapa brata. Trah pembesar Pengging ini memang biasa dengan unggah ungguhing basa, kasar alusing rasa, jugar genturing tapa.
Berkat gembleng tekade, nyawiji pambudi dayane, doa Joko Tingkir terkabul. Dia menjadi pemuda yang Sakti mandraguna, ora tedhas tapak palune pandhe, sisane gerinda tanapi tedhane kikir. Sing lanang ngondhange baguse, sing wadin ngondhangake baguse.
Kelak Joko Tingkir berhasil menjadi raja Pajang pada tahun 1546. Bergelar Kanjeng Sultan Hadiwijaya Kamidil Syah Alam Akbar Panetep Pantagama. Turut ngestreni jumenengan Ki Ageng Banyubiru, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Pringapus. Kerajaan Pajang yuwana rahayu, nir ing sambikala.
Pada tanggal 28 Oktober 2020 Paguyuban Kawula Karaton Surakarta Hadiningrat atau PAKASA cabang Nganjuk mengadakan peringatan sumpah pemuda. Dengan dipimpin oleh KRT Sukoco Madunagoro acara Sumpah Pemuda ini berlangsung produktif dan kreatif. KMT Ida Madusari mencatat dengan teliti. Rekaman lagu Nganjuk Mranani bersama para siswa. Hari itu Candi Lor jadi saksi kegiatan budaya. Supaya lancar, Pengageng PAKASA Nganjuk ini menunjuk asisten dari Grogol Mojorembun Rejoso Nganjuk. Namanya Purwadi. Sekedar untuk bantu bantu bawa buku tulis dan pulpen.
Siswa SLTA yang ikut peringatan Sumpah Pemuda diberi keterangan sejarah. Kata Bung Karno Jasmerah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Kok yo mathuk. Semua sepakat. Semua setuju. Playing by learning, bermain sambil belajar.
Mereka menyanyi bersama. Lagunya sederhana yaitu Nganjuk Mranani, Kali Bening, Kutha Angin, Gunung Wilis, Gunung Pandhan. Keplok ambal ambalan. Pratandha yen atine kalegan. Pelajar SLTA Nganjuk yang segar bugar ini tekun belajar. Masa depan mereka jelas cerah ceria.
Dokumentasi budaya ini lewat rekaman dan penulisan. Berguna untuk memahami owah gingsire jaman. Jroning urip ana urup, jroning urup ana urip kang sejati. Aran rasa jati atau sarira sejati.
Wit nagasari tumbuh rindang selama 12 abad. Pohon ini ditanam oleh Resi Mayangkara di Pertapan Kendalisada. Pohon nagasari menjadi ramuan obat jaman Prabu Jayabaya di Kerajaan Kediri tahun 1136. Putri Wates, Pare, Mamenang, Ngadiluwih gemar ramuan obat akami.
Daun wit nagasari berguna untuk ramuan jamu. Bila diminum badan langsung sehat. Khusus pengantin baru, minum ramuan godhong nagasari akan cepat punya momongan. Ibu ibu yang mau ngunjuk jampi roning nagasari akan selalu awet ayu. Muka berseri seri menawan hati. Meskipun usia menginjak lima puluh tahun, wajahnya tampak dua puluh tiga tahun.
Pohon nagasari yang tumbuh di lingkungan candi Lor Nganjuk sangat berarti. Pengantin baru dan Ibu ibu sebaiknya ngunjuk jamu. Untuk membuktikan, mari datang ke candi Lor. Ramuan godhong nagasari siap sedia. Kediri tahu takwane, sin dadi rak nyatane.
(Dr. Purwadi M.Hum. Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA)