A. Pacitan Dalam Lintasan Sejarah Peradaban Besar
Sesepuh masyarakat Pacitan yang sangat dihormati bernama Ki Ageng Buwono Keling. Beliau masih keturunan Ratu Sima dari kerajaan Kalingga. Asal usulnya dari daerah Keling Jepara. Kedatangan ke pesisir selatan dalam rangka babad alas demi kemuliaan putra wayah. Bapa truka, anak penak, putu nemu, buyut punut.
Ki Ageng Buwana Keling merupakan kepercayaan Kanjeng Ratu Kalinyamat. Selama Ratu Kalinyamat bertapa di Gunung Danaraja, Ki Ageng Buwono inilah yang menjadi pengawal setia. Kesetiaan lahir batin membuat dirinya dekat dengan Kasultanan Demak dan Pajang. Pada tahun 1550 Ki Buwono Keling menikah dengan Roro Togali, putri Batara Katong, Bupati Ponorogo.
Bersama dengan Roro Togali, Ki Ageng Buwono Keling ditugaskan untuk membuka pemukiman. Kedua mempelai terbiasa hidup prihatin. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Babad alas dilakukan dengan sepenuh hati. Lama kelamaan menjadi pemukiman yang ramai. Daerah baru ini dinamakan Jati Purwoasri Kebonagung.
Cita-cita Ki Ageng Buwono Keling memang luhur. Cita-cita Roro Togali sangat mulia. Para pengikutnya yang terdiri dari Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, Ki Ageng Ampok Boyo mendukung cita-cita yang luhur dan mulia. Siang malam kerja keras untuk meraih cita-cita. Dari kata cita-cita ini lantas muncul istilah Pacitan.
Daerah baru yang dibuka ini disebut Pacitan. Kata Pacitan berasal dari bahasa Sansekerta. Cita bermakna gagasan, pikiran, gegayuhan, idealisme dan program jangka panjang. Kata cita mendapat awalan Pa dan akhiran an. Jadilah kata yang mengalami proses morfologis. Artinya merujuk pada kata tempat. Pacitan bisa bermakna tempat untuk ngudhal gagasan, menerapkan cita-cita dan meraih idealisme. Pacitan dadi papan kanggo njongko lan njangkah gegayuhan luhur.
Ki Ageng Buwono Keling dan Roro Togali menjadi pelopor bangsawan agung. Segala kawibawan, kawidadan, kamulyan, kabagyan lan karaharjan kanthi srana pambudi daya. Beliau berdua memberi wejangan kepada putra wayah dan pengikut. Tumuju marang kamulyan ora alus dalane. Akeh sandhungane, gedhe godha rencanane. Ibarat lelayaran ing samodra agung. Alun ombak lan topan iku dadi pepalange. Sing sapa temen bakal tinemu, waton gembleng tekade, nyawiji pambudi dayane. Linambaran sabar tawakkal.
Perjuangan Ki Ageng Buwono Keling dilanjutkan oleh Ki Ageng Pitung. Beliau tinggal di daerah Duduhan Mentoro. Bersama dengan Ki Ageng Posong dan Ki Ageng Ampok Baya, beliau ditugaskan oleh Batara Katong. Para sesepuh Pacitan ini gemar mesu budi. Kerap tapa ngalong, tapa ngidang, tapa ngeli, tapa pendem, tapa pati geni, tapa ngebleng. Dengan tujuan hidupnya tentram lahir batin. Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Tidak mengherankan bila para pendiri kabupaten Pacitan sakti mandraguna. Ora tedhas tapak palune pandhe, sisane gerindra, tanapi tedhaning kikir.
Dari hasil punika Ki Ageng Buwono Keling dengan Roro Togali lahirlah putra kang pekik warnane, abra busanane. Namanya Raden Purbengkoro. Beliau tumbuh menjadi pemuda tampan, cerdas, linca, ramah tamah, pemurah. Di mana-mana selalu menunjukkan diri sebagai insan yang handal, profesional dan bermoral. Yen kakung ngondhangake kasektene, yen putri ngondhangake baguse. Pada tahun 1568 Raden Purbengkoro ditetapkan sebagai pengageng Pacitan. Beliau bergelar Demang Bonokeling.
Kepemimpinan Demang Bonokeling berdasarkan prinsip ber banda ber bandhu. Saudara yang banyak itu modal utama. Ajaran ini merupakan warisan Ki Ageng Buwono Keling. Nama Demang Bonokeling begitu tenar sampai kawasan Bang Wetan, Bang Kulon dan Pesisir Pulau Jawa.
Demang Bonokeling punya guru spiritual yang terkenal yakni Kyai Siti Geseng. Beliau murid kesayangan Kanjeng Sunan Kalijaga. Selama menjabat sebagai pengageng Pacitan, Demang Bonokeling belajar tata praja, ilmu jaya kawijayan, guno kasantikan. Kyai Siti Geseng memiliki padepokan Siti Bentar di daerah Rejoso. Demang Bonokeling diajari tapa ngeli di Kali Wuluh.
Sukses gemilang Demang Bonokeling membawa gengsi kehormatan daerah. Tahun 1570 Pacitan ditetapkan sebagai daerah otonom. Dari kademangan statusnya menjadi kabupaten Pacitan. Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, raja Pajang berkenan hadir. Peresmian kabupaten Pacitan dihadiri oleh para pembesar Pajang yang tersohor, yaitu Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi dan Ki Ageng Juru Martani duduk di kursi kehormatan.
Pelantikan Raden Purbengkoro atau Demang Bonokeling terjadi pada tanggal 25 Mei 1570. Sejak itu Demang Bonokeling bergelar Kanjeng Adipati Sindunagoro. Untuk menjaga kewibawaan Bupati Pacitan ini, Kanjeng Sultan Pajang memberi tombak pusaka, Kyai Doro Muluk dan Bendera Kyai Gadhing Mas. Kedua pusaka ini menjadi bekal Adipati Sindunagoro dalam mengabdi kepada masyarakat Pacitan. Rakyat bergembira ria, mulai dari kawula ing kutha ing
ngakutha, desa ing ngadesa, gunung ing ngagunung.
B. Peranan Warga Kabupaten Pacitan dalam Membangun Perdaban Dunia
Panembahan Senopati adalah raja Mataram yang memegang teguh ajaran utama. Yakni amemangun karyenak tyasing sasama. Pada tahun 1593 warga dari Arjosari, Bandar, Nawangan, Ngadirojo diundang ke Kotagedhe. Para pemuda-pemudi Pacitan diberi kursus kerajinan perak. Dengan harapan mereka dapat hidup mandiri setelah pulang dari kursus kerajinan perak, warga Pacitan bisa membuka lapangan kerja. Semangat untuk berwiraswasta sangat didukung oleh para pejabat Mataram.
Kerajaan Mataram diperintah oleh Sinuwun Hadi Prabu Hanyakrawati tahun 1601 – 1613. Program untuk warga Pacitan berupa peningkatan ketrampilan dalam bidang mebel. Warga dari Donorojo, Pringkuku, Punung, Sudimoro, Tegalombo dan Tulakan dikirim ke Pati dan Jepara. Di Kabupaten Pati mereka diberi kursus nggergaji kayu jati. Di Kabupaten Jepara mereka belajar seni ukir-ukiran.
Anak keturunan Ki Ageng Petung di Duduhan Mentoro mendapat kesempatan belajar di Semarang. Warga Mojo berjumlah 10 orang diundang untuk magang kerja di pelabuhan Tanjung Emas. Saat itu direktur pelabuhan Tanjung Emas dijabat oleh Kanjeng Ratu Wiratsari. Sepuluh pemuda pemudi itu menjadi pegawai tetap yang mengurusi bidang administrasi pelayaran.
Sejak tahun 1658 banyak warga Pacitan yang belajar tentang maritim. Mereka mendapat fasilitas dari Kanjeng Sinuwun Amangkurat Tegal Arum yang berkuasa di Mataram tahun 1645 – 1677. Manajemen bongkar pasang barang, administrasi pelabuhan, pembekalan pelayaran dan pengelolaan keamanan sebagian dipegang putra putri Pacitan. Mereka terkenal sebagai pekerja keras, tekun dan jujur.
Pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Amral yang berkuasa tahun 1677 – 1703 . Banyak program kerajaan yang menguntungkan rakyat Pacitan. Pemudi dari daerah Ngadirojo, Sudimoro, Tegalombo diberi kursus batik di Laweyan. Sedang pemudi dari Arjosari, Bandar, Kebonagung disuruh belajar kuliner di Baki. Adapun warga dari Nawangan, Prengkuku, Punung dan tulakan diberi kesempatan belajar menyulam di Ngawen.
Pada tahun 1706 Sinuwun Amangkurat Mas mengundang warga Pacitan untuk belajar industri trasi di Lasem Rembang. Sedangkan tahun 1723 Sinuwun Amangkurat Jawi memberi kesempatan warga Pacitan untuk belajar industri kecap di Purwodadi. Begitulah para raja Mataram selalu murah hati kepada masyarakat kabupaten Pacitan. Wajar sekali bila sampai sekarang orang Pacitan biasa meniti karir birokrasi di pemerintahan. Mereka sudah terbiasa bekerja rapi dan terukur. Ketrampilan ini diwariskan secara nak tumanak run tumurun.
Perpindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta terjadi pada tahun 1745. Rajanya bernama Kanjeng Sinuwun Paku Buwono II. Beliau narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ber budi bawa laksana, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana.
Tiga bulan setelah penataan ibukota baru, kabupaten Pacitan mendapat perhatian utama. Kanjeng Raden Tumenggung Adipati Notopuro I ditetapkan sebagai Bupati Pacitan. Ditunjuknya Adipati Notodipuro sebagai bupati Pacitan atas dasar kemampuan, kemahiran, kepribadian, keteladanan, keluhuran dan keutamaan. Beliau teruji dalam segala hal. Cocok untuk ngemban kawula dasih.
Atas prakarsa Kanjeng Sinuwun Paku Buwono III, hak pembinaan atas kabupaten Pacitan diserahkan kepada Pura Mangkunegaran. Berlaku sejak tanggal 17 Maret 1757. Kebijakan ini sesuai dengan isi Perjanjian Salatiga. Surat keputusan diserahkan langsung kepada Adipati Suryonagoro I. Berkenan hadir yakni Patih Kraton Surakarta Hadiningrat. Beliau bernama KRA Sosrodiningrat III. Kabupaten Pacitan berhasil dan selamat. Rakyat dan pejabat bersatu padu, manunggaling kawula Gusti.
Pembinaan Pura Mangkunegaran pada kabupaten Pacitan berjalan harmonis. Nama beja kemayangan. Orang Pacitan beruntung berlipat ganda. Ibarat kebanjiran segara madu, kejugrugan gunung sari. Drajat pangkat semat meningkat pesat. Wirya arta winasis mengalir ke segala arah. Guna kaya purun hadir sebagai turunnya ndaru keprabon. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa memberi suri teladan kepada masyarakat Pacitan.
Rumangsa melu handarbeni
Rumangsa wajib hangrungkebi
Mulat sarira hangrasa wani.
Tridarma Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I meresap di hati sanubari. Pengabdian orang Pacitan pada bangsa dan negara berkat wedharan luhur nenek moyang.
Selama dibina Pura Mangkunegaran, warga kabupaten mendapat dua keuntungan pokok. Pertama pengalaman dalam bidang pemerintahan. Warga Pacitan bercita-cita untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran buat masyarakat banyak. Pendidikan tata praja diperoleh selama mengabdi di Pura Mangkunegaran. Kelak mereka trampil dalam bidang tata praja dan birokrasi. Meniti karir dalam birokrasi memerlukan ketekunan dan kesabaran. Lila lan legawa kanggo mulyane negara.
Dalam bidang kesenian warga Pacitan trampil sekali. Terutama seni pedalangan, kerawitan dan tembang. Pura Mangkunegaran sangat peduli pada bidang logika etika, estetika. Puncak estetika yang termuat dalam Serat Wedhatama menjadi acuan hidup. Syair karya Sri Mangkunegara IV ini dipelajari dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun 1856 diselenggarakan malam tirakatan. Para kasepuhan Pacitan membahas isi serat Wedhatama sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran sejati.
Pada tahun 1867 warga Pacitan banyak didorong untuk bekerja di Pabrik Gula Colomadu. Tentu saja atas usulan Sri Mangkunegara IV yang murah hari itu. Mereka bekerja sebagai administrator dan marketing. Kedudukan yang lumayan bagus ini membuat warga Pacitan hidup berkecukupan. Bahkan boleh dibilang berlimpah turah-turah.
Pabrik gula Tasikmadu juga sukses gemilang. Sri Mangkunegara VII pada tahun 1918 mengajak masyarakat Pacitan untuk mengelola kebun tebu. Kantor cabangnya berada di Tawangmangu. Tenaga administrasi banyak diuji oleh orang Pacitan. Begitulah hubungan baik Pura Mangkunegaran dengan warga kabupaten Pacitan.
C. Para Bupati Pacitan
1. Adipati Notopuro I 1745 – 1750
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
2. Adipati Notopuro II 1750 – 1757
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
3. Adipati Suryonagoro I 1757 – 1769
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I, Puro Mangkunegaran.
4. Adipati Suryonagoro II 1769 – 1792
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I, Puro Mangkunegaran.
5. Adipati Setrowijoyo I 1792 – 1812
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I, Puro Mangkunegaran.
6. Adipati Setrowijoyo II 1812 – 1823
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara II, Puro Mangkunegaran.
7. Tumenggung Jogokaryo I 1823 – 1836
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara II, Puro Mangkunegaran.
8. Tumenggung Jogokaryo II 1836 – 1854
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara III, Puro Mangkunegaran.
9. Tumenggung Jogokaryo III 1854 – 1860
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara III, Puro Mangkunegaran.
10. Aryo Martohadinagoro 1860 – 1879
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara IV, Puro Mangkunegaran.
11. Aryo Cokronagoro I 1879 – 1906
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara IV, Puro Mangkunegaran.
12. Aryo Cokronagoro II 1906 – 1933
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VI, Puro Mangkunegaran.
13. Aryo Suryo Hadicokro 1933 – 1942
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII, Puro Mangkunegaran.
14. R. Soekardiman 1942 – 1944
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII, Puro Mangkunegaran.
15. Susanto Tirtoprojo 1944 – 1945
Dilantik pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VIII, Puro Mangkunegaran.
16. R Soetomo 1945 – 1948
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
17. Soebekti Pusponoto 1948 – 1950
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
18. Anggris Judodiprojo 1950 – 1956
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
19. Soekiyun 1950 – 1961
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
20. Katamsi Pringgodigdo 1961 – 1964
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
21. Tedjo Sumarto 1964 – 1969
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
22. Moch Koesnan 1969 – 1980
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
23. Imam Hanafi 1980 – 1985
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
24. Mochtar Abdul Kadir 1985 – 1990
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
25. Soedjito 1990 – 1995
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
26. Sutjipto 1995 – 2000
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
27. Soetrisno 2000 – 2005
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
28. H Sujono 2005 – 2010
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
29. Sudibyo 2010 – 2011
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
30. Indartarto 2011 – 2021
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pucung Ilmu Laku
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya budya pangekese dur angkara.
Angkara gung neng angga anggung gumulung,
Gegolonganira,
Triloka lekere kongsi,
Yen den umbar ambabar dadi rubeda.
Beda lamun kang wus sungsem reh ngasamun,
Semune ngaksama,
Sasamane bangsa sisip,
Sarwa sareh saking Mardi martatama.
Taman limut durgameng tyas kang weh limput,
Kerem ing karamat,
Karana karoban ing sih,
Sihing sukma ngrebda saardi gengira.
Yeku patut tinulad tulad tinurut,
Sapituduhira
aja kaya jaman mangkin,
Keh pra mudha mudhi dhiri rapal makna.
Nora weruh rosing rasa kang rinuwuh,
Lumeketing angga,
Anggere padha marsudi,
Kana kene kaanane nora beda.
Uger lugu den ta mrih pralebdeng kalbu,
Yen kabul kabuka,
Ing drajat kajating urip,
Kaya kang wus winahya sekar srinata.
Basa ngelmu mupakate lan panemu,
Pasahe lan tapa,
Yen satriya tanah Jawi,
Kuna kuna kang ginilut tripakara.
Lila lamun kelangan nora gegetun,
Trima yen ketaman,
Sakserik sameng dumadi,
Tri legawa nalangsa srah ing Bathara,
Bathara gung inguger graning jajantung,
Jenek Hyang wisesa,
Sana pasenedan suci,
Nora kaya si mudha mudhar angkara.
Nora uwus kareme anguwus uwus,
Uwose tan ana,
Mung janjine muring muring,
Kaya buta buteng betah nganiaya.
Sakeh luput ing angga tansah linimput,
Linimpet ing sabda,
Narka tan ana udani,
Lumuh ala ardane ginawa gada.
Durung punjul ing kawruh kaselak jujul,
Kaseselan hawa,
Cupet kapepetan pamrih,
Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa.
Masyarakat kabupaten pacitan menghayati ajaran ilmu laku jongko jangkah jangkaning jaman. Pembicaraan tentang ilmu laku menjadi tema sentral bagi Mangkunegara IV. Beliau menghendaki adanya keseimbangan antara faktor material, spiritual dan mental. Boleh berpikir global, tetapi berpijak pada gagasan lokal. Keduanya jangan sampai berbenturan. Setelah berusaha tak lupa berserah diri pada Tuhan, biar hati menjadi tenang. Orang hidup perlu menjaga keselarasan.
Sinom Parijatha
Nulada laku utama,
Tumrape wong Tanah Jawi,
Wong agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senapati,
Kepati amarsudi,
Sudane hawa lan nepsu,
Pinesu tapa brata,
Tanapi ing siyang ratri,
Amamangun karyenak tyasing sasama.
Ajaran Panembahan Senopati itu dihayati benar oleh para kasepuhan masyarakat Pacitan. Lagu sinom ini berisi tentang ajaran keutamaan yang telah diwariskan oleh Panembahan Senopati. Beliau adalah raja Mataram yang pertama. Sebagai seorang pemimpin Panembahan Senopati berhasil mengendalikan tingkah lakunya. Beliau mau memperkokoh jati diri dan selalu mawas diri. Dengan rakyatnya senantiasa berbuat kebajikan yang dapat menyenangkan pada sesama. Sikap hidup yang perlu dicontoh oleh sekalian pemimpin.
Tembang sinom Parijatha iku kapethik saka Serat Wedhatama kang dianggit dening Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Panjenengane ngasta minangka adipati ing Mangkunegaran nalika taun 1853 – 1881. Kanggone para seniman tembang sinom mau mathuk minangka mat-matan. Lagune kepenak lan cakepane mawa pitutur luhur. Wong Jawa perlu nulad kautaman kang wis diwarisake dening Panembahan Senapati, raja ing Kraton Mataram.
Sembah kalbu yen lumintu dadi laku.
Manggih hayu ayem tentrem kang tinemu
Balung janur, janur ingisenan boga.
Widadaa, lepat saking sambikala
Ditulis oleh : Dr. Purwadi, M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA 29 Juni 2020
Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta.