Kediri, HarianForum.com- Perjuangannya bersama masyarakat untuk mengembalikan status hak atas tanah milik warga dusun Sempu, desa Sempu kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri yang telah diklaim masuk kawasan hutan pasca meletusnya Gunung Kelud tahun 2014 dengan tidak diterbitkannya lagi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atau SPPT pada tahun 2015, saat ini telah menemukan titik terang.
Disampaikan Heri Setiawan, merujuk penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan atau PPTPKH yang baru, bahwasanya kawasan desa atau pemukiman masyarakat yang diklaim masuk kawasan hutan di Kediri terdapat 11 desa, dan sesuai dengan surat keputusan 372 yang terdapat di peta mempunyai luasan 365 hektar lebih.Sebelas desa di Kabupaten Kediri yang dilepas dari kawasan hutan, diantaranya Desa Banaran Kecamatan Kandangan, Desa Benowo dan desa Krenceng kecamatan Kepung, desa Jugo Kecamatan Mojo, Desa Ngancar dan Desa Sempu Kecamatan Ngancar, Desa Sumberagung Kecamatan Plosoklaten, Desa Gadungan, Desa Manggis dan Desa Wonorejo Kecamatan Puncu serta Desa Tarokan Kecamatan Tarokan.
Perjalanan mendapatkan hak atas tanah yang masuk wilayah hutan, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Anggota komisi A DPRD Propinsi Jawa Timur mengungkapkan, perjuangan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dijalani dari tahun 2017, dimulai dengan kajian bersama Pusat Studi Agraria dan Tani Center Institut Pertanian Bogor.
Dari kajian diperoleh celah adanya regulasi yang berpihak dengan apa yang diperjuangkan, dan selanjutnya hasil kajian disampaikan selain kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada komisi yang berkaitan dengan bidang kehutanan, juga kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Ini sudah kita verifikasi, Insya Allah Oktober ini timdu ( tim terpadu.red ) akan turun untuk melakukan verifikasi lapang, dan sesuai dengan target dari Kementrian LHK, pada bulan Nopember mau dilepas. Di Kediri ada 11 desa, kita kawal dan kita diselesaikan.Awal kita berjuang untuk pelepasan di PPTPKH ini ditahun 2017, kita melakukan kajian dengan kawan – kawan Pusat Studi Agraria dan Tani Center IPB Bogor. Hasil kajian kita soundingkan ke DPR RI yang membidangi tentang kehutanan dan KLHK. Alhamdulillah muncul beberapa regulasi atau aturan yang bisa kawasan tersebut bisa dilepas, salah satunya PP nomor 23. Semenjak perubahan di undang undang cipta kerja, karena kalau nggak salah luas hutan di undang undang kehutanan di wilayah Jawa minimal harus diangka 30 persen, padahal secara realitanya hanya 28 persen. Itu yang menjadikan sebuah kendala pelepasan sebelum UU nomor 11 tahun 2021 turun,” jelas Heri Setiawan.(4/10).
Yang terjadi penguasaan lahan di dalam kawasan hutan selama ini telah banyak mengalami ketimpangan, dengan sangat sempitnya penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat, sebaliknya sebagian besar luasan telah dikuasai pihak swasta. Dengan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, menjadi sebuah upaya mewujudkan kepemilikan lahan untuk pemerataan ekonomi. Menanggapi hal tersebut Heri Setiawan menandaskan adanya pelepasan kawasan, masyarakat dipastikan tidak sedikit yang memperoleh kemanfaatan.
“Terkait dengan azas kemanfaatan, jelas NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tanah akan naik ketika itu menjadi penegasan haknya. Karena kawasan tersebut merupakan pemukiman yang sudah ada rumahnya, bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial selama ini diklaim masuk kawasan hutan, ketika dilepas memiliki nilai manfaat. Masyarakat sendiri secara otomatis merasa nyaman menempati tanah tersebut, karena sudah menjadi hak milik,” tandasnya.
Ditanya tentang aktivitasnya di gerakan masyarakat reformasi agraria atau land reform yang bergeser di partai politik, penggiat pertanian yang tidak jarang melontarkan gagasan terwujudnya kedaulatan pangan menyampaikan argumentasinya, dari bercermin proses advokasi pelepasan hak atas tanah pada masyarakat dari tahun 1998 hingga 2012, dilakukan istilah dengan berdarah darah, selain memeras pikiran, biaya, tenaga, waktu juga banyak terkuras. Merasakan kondisi yang ada, kawan-kawan seperjuangan yang berada di Rantai Kelud memberikan dorongan serta mendukung dirinya masuk sistem di partai politik.
“Pada tahun 2015, saya bergabung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan di tahun 2019 saya ditugaskan di DPRD. Dan ketika saya di DPRD Provinsi Jawa Timur, akan lebih leluasa dan mudah untuk mengadvokasi kepentingan – kepentingan masyarakat. Makanya ketika kawan-kawan Rantai Kelud kemarin memutuskan saya masuk ke sistem, tujuannya tidak lain untuk mengadvokasi persoalan – persoalan masyarakat yang ada dibawah, dan kita selesaikan baik dinas maupun non dinas sesuai dengan tupoksinya masing-masing,” tutur anggota DPRD Propinsi Jawa Timur fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, dari daerah pemilihan Jawa Timur VIII yang meliputi kota Kediri dan Kabupaten Kediri.(Ans).