Berita

Langkah Zig Zag Partai Politik

88
×

Langkah Zig Zag Partai Politik

Sebarkan artikel ini
Ropingi el Ishaq, Akademisi IAIN Kediri

Blitar, HarianForum.com – Pemilihan presiden 2024 sesungguhnya telah mengerucutkan dua gerakan politik di Indonesia, yakni gerakan politik pro status quo dan gerakan politik perubahan.Sedangkan gerakan di tengah – tengah, bisa disebut dengan gerakan politik pragmatisme.Tentu kita bisa membaca dengan jelas dua arus politik yang mengucut setelah atau bahkan sebelum pilpres 2024.
Gerakan perubahan diusung oleh partai koalisi perubahan yakni PKB PKS dan Nasdem.Sementara gerakan politik status quo berkumpul pada partai politik pengusung calon 02, yakni Gerindra, Golkar, Demokrat dan PAN. Sementara PDI Perjuangan pada pilpres tahun ini bisa dikategorikan pada poros ketiga yakni gerakan politik pragmatisme. Mengapa ? karena pada prinsipnya atau diawal PDI Perjuangan, berdiri di belakang Jokowi atau setidaknya seirama dengan politik yang diusung oleh Jokowi.

Tapi setelah merasa dikhianati, maka PDI Perjuangan menyempal dari gerakan politik yang dibangun oleh Jokowi. PDI Perjuangan merasa dikibuli oleh Jokowi sehingga dia furqoh atau menceraikan Jokowi dari PDI Perjuangan. Tetapi alasan yang begitu pragmatis tersebut menjadikan PDI Perjuangan tidak serta – merta bisa dikategorikan sebagai partai politik yang mengusung gerakan perubahan karena pada prinsipnya berada di jalur status quo. Menyempalnya PDI Perjuangan dan kemudian merapat, atau setidaknya berdekatan dengan gerakan politik perubahan dilandasi oleh rasionalitas politik yang bersifat pragmatis atau pragmatisme politik.

Pasca pemilihan presiden 2024 partai – partai politik ini melakukan zigzag politik khususnya di tingkat lokal. Dua arus besar gerakan politik, yaitu perubahan dan status quo pada level lokal telah membaur. Masing – masing mengusung calon kepala daerah dengan saling berkoalisi sehingga sebagian partai politik di jalur status quo berkoalisi dengan partai politik pengusung perubahan. Dalam kontek politik, hal tersebut oleh sebagian orang atau kelompok dikatakan sebagai hal yang lumrah alias wajar. Kenapa? karena politik itu bersifat cair, begitu kata para politisi. Ada adagium politik yang menyatakan tidak ada musuh yang abadi dalam politik, dan tidak ada kawan yang abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan. Sehingga dalam setiap detik arah politik suatu partai bisa berpindah juga bisa berganti haluan. Maka tidaklah salah jika pengusung partai perubahan melakukan koalisi dengan partai pengusung status quo untuk bersama-sama mengusung calon tertentu di daerah masing-masing,
mengingat motif partai politik dan juga fungsi partai politik dan undang – undang nomor 02 tahun 2011 tentang partai politik koalisi partai politik di tingkat daerah, atau di tingkat pusat sekalipun, tidak lain sebenarnya hanya sekedar untuk mengusung kepentingan – kepentingan politik kelompok, sehingga koalisi partai politik di tingkat lokal yang tidak lagi berada di dalam garis – garis mainstream, tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kue politik atau insentif politik semata yang bersifat pragmatis.

Gagasan besar tentang garis politik pro status quo dan garis politik perubahan kembali mencair sehingga hanya menjadi cerita gerakan politik yang menghiasi perjalanan bangsa ini.
Idealisme politik yang seharusnya diusung oleh partai politik sudah mencair atau bahkan menipis, sehingga partai politik tidak dapat diharapkan untuk membawa ideologi perubahan bangsa sebagaimana yang diusung oleh para funding father bangsa ini. Bisa dikatakan bahwa koalisi partai politik di Indonesia tidak permanen pada misi dan gerakan tertentu. Pada pemilihan umum tahun 2024, beberapa partai politik membangun koalisi dengan partai tertentu kemudian pada gelaran pemilu yang berikutnya partai politik penggagas koalisi dengan partai politik lain yang berbeda. Persamaan platform perjuangan partai politik sebagai landasan untuk membangun koalisi yang sering diungkap dan disampaikan ke publik oleh para politisi rasanya sulit untuk diterima, disebabkan adanya kesamaan platform tersebut tidak diwujudkan dalam satu koalisi permanen jangka panjang, yang mengusung ide – ide besar tentang kebangsaan.

Koalisi partai politik hanya diusung berdasarkan pada kepentingan – kepentingan politik jangka pendek dalam rentang waktu satu pemilihan umum.Sedangkan pada pemilu berikutnya, dibangun lagi koalisi partai politik dengan anggota partai politik yang berbeda. Sampai di sini bisa disebut bahwa tidak ada gagasan – gagasan besar tentang kebangsaan yang diusung oleh partai politik dalam membangun koalisi. Kita tidak bisa berharap kepada partai – partai politik yang ada pada saat ini untuk membawa bangsa pada kejayaan, sebab platform perjuangan yang diusung dan dijadikan sebagai landasan pijakan koalisi antar partai politik hanyalah bersifat kepentingan politik jangka pendek. Itupun masih dibatasi dengan kepentingan – kepentingan politik praktis dari partai yang bersangkutan.Partai apa dapat apa, dan partai saya dapat apa, itu yang menjadi satu pijakan politiknya.
Ini jelas berbeda jauh dengan platform perjuangan politik para funding fathers yang betul-betul mendudukkan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, kelompok dan golongan. Menjadi sebuah kewajaran jika partai politik tidak lagi mendapatkan kepercayaan yang cukup tinggi dari masyarakat, kecuali jika partai memberikan imbalan dalam bentuk material. Ketika partai politik memberikan material bantuan kepada masyarakat secara nyata dalam bentuk materi, maka masyarakat pemilih akan berduyun – duyun memilihnya.Bisa dilihat, partai – partai politik yang bisa memberikan insentif material kepada masyarakat pemilih, partai tersebut yang bisa eksis dan mendapatkan dukungan suara terbanyak. Demikian juga caleg – caleg yang berduit dan mampu memberikan insentif kepada pemilih yang terpilih. Namun tentunya ada pengecualian, yang tidak banyak memberikan insentif material kepada pemilih, tetapi bisa terpilih dan melenggang menduduki kursi dewan. Sementara partai politik yang mengusung gagasan dan partisipasi pembangunan dan masyarakat tidak memperoleh banyak dukungan.
Kelompok kritis wajar bila para kelompok kritis masyarakat menjadi lebih tidak percaya kepada partai-partai politik.Bisa disimak pernyataan Rocky Gerung yang sangat sarkastik memberikan komentar terhadap ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa dan juga ketua umum Partai Nasional Demokrat setelah gelaran pilpres tahun 2024.
Pernyataan itu menanggapi sikap dan kebijakan politik kedua partai yang nampaknya tidak simetris dengan gagasan – gagasan perubahan yang diusung dalam gelaran pilpres 2024 yaitu gerakan perubahan. Mereka mengambil jalur politik untuk mendekat pada partai pemenang pemilu atau koalisi pemenang pemilu yang secara diametral memiliki gagasan yang berbeda, bahkan berseberangan dengan gagasan yang diusung oleh koalisinya. Budayawan Sujiwo Tejo dengan nada sarkastik juga mengatakan bahwa ucapan – ucapan para politisi atas nama bangsa dan negara adalah ucapan-ucapan yang tidak bisa dipercaya lagi. Mengapa, karena pada ujungnya mereka mencari suaka politik untuk mengamankan posisi, maupun untuk mendapatkan insentif politik.Sebagai penutup, zigzag partai politik menjadi satu realitas yang terpampang di depan mata masyarakat.Jika dicermati secara detail dengan menggunakan logika politik kebangsaan, zigzag politik tersebut tidak memberikan harapan perbaikan bagi bangsa Indonesia ke depan.(*).

Ropingi el Ishaq
Akademisi IAIN Kediri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *