Blitar, HarianForum.com – Tangan kirinya seakan tanpa pernah berhenti menggenggam sejumput demi sejumput, sedangkan tangan kanannya terampil memainkan sabit memotong batang tanaman padi yang rebah karena hujan deras mengguyur beberapa hari yang lalu.Sementara panasnya jilatan matahari tidak menyurutkan semangat Tarni memanen tanaman padi di lahan persawahan yang berlokasi di Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
Ditemani saudaranya yang diperkirakan tidak jauh jarak usianya, pria berusia 65 tahun ini bukan warga kota Blitar, akan tetapi berdomisili di Desa Tlogo, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.Diungkapkan Tarni, pekerjaan derep atau memanen padi seperti pada saat ini masih dilakukan orang – orang seusianya.Kondisi tersebut bukanlah dongen isapan jempol akan tetapi merupakan sebuah kenyataan.Diakuinya anak muda tidak mungkin mau melakukannya, karena anak muda lebih memilih bekerja dengan upah atau gaji sesuai harapan.
” anak muda sekarang tidak ada yang mau bekerja sebagai tukang derep. Mereka lebih memilih bekerja dengan gaji yang diterima mingguan atau bulanan.Kalau derep, bayarannya bukan uang tapi hasil panen.Ya pastinya tidak mau ” terangnya kepada Harian Forum.com.

Derep istilah orang Blitar, salah satu pekerjaan peninggalan leluhur dari rangkaian kegiatan budidaya tanaman padi selain mluku, nggaru, tandur, osrok, ndaut, macul dan matun, yang mana upah didapatkan dari pekerjaan derep bukan berbentuk uang tunai, akan tetapi berupa bawon.
Sedangkan bawon merupakan sistem upah yang diterapkan pemilik sawah yang telah disepakati bahwasanya dihitung berdasarkan perolehan hasil panen berupa gabah.Menurut Tarni, perhitungan bawon dihitung dari hasil panen 9 berbanding 1, dan berlaku kelipatan.
” itu saudara saya dan istrinya, semua upahnya dengan bawon, hitungannya umpama kalau derep dapat 9 kwintal maka saya dapat 1 kwintal, nanti kita bagi dengan saudara saya yang ikut derep ” jelas Tarni sambil menceritakan sulitnya mencari tenaga anak muda yang mau menjadi petani.
Semakin menjauhnya minat generasi muda terutama generasi milenial untuk terjun langsung menggeluti dunia pertanian terutama tanaman pangan, semakin terasa.Pandangan terhadap dunia pertanian tanaman pangan pada saat ini dinilai sudah tidak menguntungkan lagi, tidak hanya dari anak kalangan bukan keluarga petani, namun tidak sedikit dari keluarga petani yang merasa telah mempunyai pemikiran maju, berpandangan bahwa anak muda saat ini sudah tidak ada yang mau menjadi petani, selain hasil yang diperoleh tidak menguntungkan, profesi petani secara status sosial masih dipandang rendah.
Dengan terus berkurangnya petani muda yang memiliki ketrampilan serta pengalaman di bidang tanaman pangan, dampaknya produktivitas pertanian tanaman pangan padi juga menurun dan tentunya mengancam ketersediaan bahan pangan dan harga pangan di pasar yang berpotensi terus tinggi, sehingga impor bahan pangan menjadi satu – satunya pilihan dalam kebijakan.
Sementara Ir Soekarno saat menjalankan tugasnya menjadi presiden pertama Republik Indonesia, secara tegas menolak impor beras.Bung Karno tidak ingin perut rakyat Indonesia tergantung dari beras impor, dikarenakan tidak hanya membuat devisa negara terus terkikis, akan tetapi juga impor bahan pangan dari negara asing juga tidak sesuai dengan semangat membangun ekonomi berdikari.
(Ans).












