Blitar, Harian Forum.com – Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Blitar telah resmi meniadakan debat ketiga pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Blitar dalam rangkaian Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Blitar tahun 2024. Hal ini tentunya merupakan langkah mundur dalam demokrasi. Debat pasangan calon kepala daerah adalah pilar demokrasi, yang mana debat tersebut menjadi pemantik hidupnya ruang publik terkait pemilihan pasangan calon kepala daerah. Bahkan, untuk menghasilkan pemimpin yang kapabel dan berkualitas, debat pasangan calon kepala daerah seharusnya diselenggarakan oleh KPU Daerah.
Dalam tulisan saya tiga bulan yang lalu tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berkualitas dan berkeadilan, saya menjelaskan tentang konsep ideal pemilihan kepala daerah yang harus diselenggarakan oleh KPU Daerah. Debat pasangan calon menjadi sebuah keharusan karena telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 pada Pasal 68 Ayat 1 sampai 4 yang mengatur secara jelas jumlah debat yang harus diselenggarakan oleh KPU Daerah, tata cara pelaksanaannya, dan materi debatnya. Pasal ini tidak termasuk dalam pasal yang direvisi oleh Undang-Undang Nomor 2 maupun Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Kepala Daerah Serentak. Dengan demikian, peniadaan debat calon menjadi langkah mundur, bahkan merupakan langkah yang melanggar undang-undang.
Debat adalah salah satu pilar demokrasi di daerah. KPU Daerah harus memfasilitasi pasangan calon untuk mengenalkan diri kepada publik, di antaranya melalui debat. Lebih dari itu, untuk menghindari penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang transaksional, KPU Daerah seharusnya memfasilitasi sosialisasi pasangan calon dalam berbagai bentuk. Mulai dari pemasangan gambar di ruang publik, seperti billboard, majalah dinding, media massa baik penyiaran maupun cetak. Fasilitasi tersebut merupakan bagian dari upaya cerdas untuk melakukan terobosan dalam menjalankan undang-undang pemilihan kepala daerah, khususnya terkait dengan pelaksanaan kampanye yang diatur dalam Bab XI tentang Kampanye dan diuraikan mulai dari Pasal 63 sampai 76 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.
Debat pasangan calon selain ditentukan mekanisme pelaksanaannya, juga harus dipahami sebagai bagian dari edukasi politik masyarakat yang perlu dilaksanakan. KPU, termasuk KPU Daerah, seharusnya memahami bahwa lembaga yang dikelolanya bukan semata menjalankan tugas administratif dalam pemilihan calon kepala daerah. Lebih dari itu, KPU Daerah merupakan jantung demokrasi, yang bisa memompa semangat dan praktik demokrasi masyarakat. Pemilihan kepala daerah bukan sekadar ritual demokrasi, tetapi menjadi sarana untuk menjaring dan menyaring calon-calon terbaik putra daerah. Harapannya, pemilihan kepala daerah menjadi ajang untuk memunculkan pemimpin-pemimpin daerah yang kredibel dan menjadi jembatan bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial.
Tanpa pemahaman seperti itu, maka pemilihan kepala daerah hanya akan menjadi ritual belaka. Mekanisme pelaksanaan dijalankan sesuai dengan aturan administratif, lalu selesai. Sementara itu, tujuan untuk memilih pemimpin yang kompeten, kredibel, dan memiliki program yang mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat justru tidak tercapai.
Komitmen KPU Daerah untuk pemilihan yang berkualitas harus dipertanyakan, sebab bangsa ini sudah mulai berlumpur dengan praktik demokrasi transaksional. Seseorang yang hendak maju menjadi calon kepala daerah telah melakukan kampanye jauh sebelum pendaftaran pasangan calon. Mereka memasang gambar di ruang-ruang publik untuk mengenalkan diri. Secara administratif, hal itu memang menjadi bagian dari hak demokrasi. Akan tetapi, dari sisi etika politik, perilaku seperti itu melanggar etika demokrasi, sebab pemasangan gambar di luar masa kampanye pada dasarnya adalah bagian dari membangun persepsi politik. Jika dibiarkan, ini akan mengakibatkan kontestasi politik dalam pilkada menjadi tidak fair dan tidak adil. Mereka yang memiliki dukungan logistik kuat, baik dari pribadi maupun dari oligarki, akan dapat memainkan psikologi politik masyarakat. Sementara itu, bakal calon yang tidak memiliki dukungan logistik tidak mampu membangun opini masyarakat jauh hari sebelum pilkada dilaksanakan. Praktik seperti ini membuka potensi terjadinya politik transaksional.
Partai politik juga akan bermain dengan landasan berpikir transaksional. Partai akan menjaring calon-calon yang memiliki kekuatan logistik saja. Sementara, bakal calon yang tidak memiliki kekuatan logistik hanya akan menjadi bola pingpong, dilempar ke sana ke mari oleh partai politik. Kekuatan logistik bakal calon kepala daerah akan menjadi argumen utama partai politik. Penentuan bakal calon akan diukur dari kekuatan logistik yang dimiliki. Jika bakal calon memiliki kekuatan logistik yang cukup atau bahkan berlebih, maka partai akan mengusungnya; jika tidak, partai pun akan urung. Ketika calon yang diusung ternyata tidak memiliki kekuatan intelektual cukup, maka partai akan berjuang untuk melanggar regulasi yang ada, aturan akan diubah dan diganti.
Partai akan berjuang untuk mengganti aturan yang menguntungkan mereka. Hal ini bukan prasangka, tetapi sudah ada contoh nyata. Peniadaan debat pasangan calon kepala daerah diduga kuat adalah bagian dari operasi “pengangkangan” aturan agar calon kepala daerah tertentu diuntungkan. Inilah yang menjadikan debat calon kepala daerah menjadi titik krusial dalam pertarungan antarpasangan calon kepala daerah. Bagi rakyat yang kritis, debat pasangan calon menjadi penentu, setidaknya menjadi indikator apakah pasangan calon itu kompeten atau tidak, pantas dipilih atau tidak. Sehingga bagi pemilih kritis, tidak adanya debat menjadikan tidak semangat dalam memilih. No debat, no semangat. (*)
Penulis: Ropingi el Ishaq, Akademisi IAIN Kediri dan Pengamat Sosial Politik