BeritaOpiniPolitik dan Pemerintahan

Mengelola Pilkada Berkualitas Dan Berkeadilan

100
×

Mengelola Pilkada Berkualitas Dan Berkeadilan

Sebarkan artikel ini
Dr.Ropingi el Ishaq, Pengamat Sosial Politik

Blitar, HarianForum.com – Pemilihan kepala daerah masih pada tahap awal, belum masuk tahap pendaftaran bakal calon. Meski begitu, baliho sudah bertebaran.Di setiap pojok ruang publik dipenuhi baliho calon bakal calon. Disebut calon bakal calon, karena mereka masih sebagai calon bakal, masih berburu rekomendasi dari partai politik. Dan partai politikpun masih berburu mitra koalisi, karena tidak semua dapat mengajukan pasangan calon sendirian.

Banyaknya gambar calon bakal calon menarik untuk diulik. Gambar – gambar yang bertebaran dimungkinkan bahwa yang bersangkutan memang bersahwat untuk maju dalam kontestasi pilkada, kemudian yang bersangkutan mengenalkan diri kepada masyarakat luas agar dikenal.

Ada pula kemungkinan lain, mereka sedang memancing suara. Jika memperoleh simpati, publisitas tinggi, dan elektabilitas tinggi, maka akan dilanjutkan untuk maju mendaftarkan diri sebagai bakal calon. Setidaknya dapat dijadikan sebagai bekal bargaining position untuk memperoleh rekom dari partai tertentu atau untuk menjual publisitas dan elektabilitasnya kepada bakal calon lain yang berhasil memperoleh rekom dari partai politik.Ada ” jual beli ” publisitas di sini, lumayan kira – kira begitu, dapat ketenaran dan dapat ganti materi.

Bagi calon – calon yang memiliki modal duit, hal ini sesuatu yang biasa terjadi, bahkan harus dimanfaatkan dalam pilkada. Sehingga beberapa gambar jika diamati, berkali – kali nampang. Saat pemilihan anggota legislatif yang lalu, ada yang gambarnya nampang di mana – mana. Belum lolos ke gedung dewan, saat ini nampang lagi di momen pilkada.

Bertebarannya gambar calon bakal calon ini sebenarnya menggangu demokrasi itu sendiri. Praktik ini menjejalkan pesan – pesan politik yang tidak elok. Bagi calon bakal calon yang berduit memiliki peluang dan kesempatan untuk ” memanipulasi ” pengenalan masyarakat terhadap seseorang calon. Sementara, calon yang tidak punya duit, tetapi sebenarnya memiliki gagasan yang layak dijual dan dipakai oleh masyarakat, tidak memiliki kesempatan untuk ” memanipulasi ” kesadaran politik masyarakat.

Dalam sebuah perlombaan, start masing – masing calon berbeda. Bahasa yang sudah lumrah adalah calon – calon berduit dapat mencuri start kampanye. Contohnya, ya ketika tahapan pilkada belum masuk masa kampanye, tetapi calon – calon berduit sudah memasang gambar di ruang-ruang publik. Bunyinya tentu bukan mengajak untuk memilih, tetapi esensinya adalah kampanye.

Pilkada harus dijalankan secara berkeadilan agar melahirkan pemimpin – pemimpin daerah yang berkualitas, kompeten, layak memimpin dan mampu membawa daerah menuju kemajuan, bukan hanya menjadi slogan.Bukankah masyarakat selama ini hanya menikmati slogan – slogan kosong para calon kepala daerah.

Bagaimana cara mengelola pilkada yang berkeadilan agar berkualitas ?

Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan oleh KPU dan Bawaslu agar pilkada menghasilkan pemimpin – pemimpin daerah yang kompeten. Pertama, KPU bersama partai politik melakukan screening calon, baik secara administratif maupun kualitatif menyangkut kelayakan calon. Kepala daerah adalah pemimpin yang diharapkan menjadi lokomotif pembangunan daerah bukan sekedar simbol, sehingga calon harus memiliki profile yang bisa menjadi dinamisator pembangunan daerah.Memiliki rekam jejak yang baik, gagasan yang argumentatif dan aplikatif, serta komunikasi personal ( personal communication ) dan komunikasi publik ( public communications ) yang baik.

Kedua, KPU untuk menfasilitasi kebutuhan calon agar dikenal oleh masyarakat luas, maka KPU harus menyediakan ruang informasi yang merata dan dengan tingkat terpaan yang setara. Bagaimana caranya?, KPU wajib menyediakan majalah dinding ( madding ) sebagai pusat informasi di setiap wilayah pemungutan suara ( TPS ) tentang pasangan calon. Informasi tentang calon dapat berupa teks, gambar, ataupun grafik.Materi informasi dapat berupa profile ataupun program – program yang ditawarkan kepada pemilih.

Selain fasilitasi mading di tempat pemungutan suara, KPU juga menyediakan slot blocking time dan blocking space di media massa.Waktunya ditentukan, semua calon dapat jatah.

Konskuensinya, KPU dan Bawaslu harus berani melarang dan menindak berbagai kegiatan pengenalan diri dalam pemasangan gambar di ruang publik sebelum masa kampanye. Termasuk blocking space dan blocking time di media massa seharusnya tidak diijinkan.

Dengan cara ini, pasangan calon akan memulai kampanye dengan waktu yang sama, start yang sama.Masyarakat pemilih juga memperoleh informasi yang imbang dan tingkat terpaan informasi yang relative seimbang.

Jika KPU dan Bawaslu membiarkan calon memasang gambar sebelum masa kampanye sama saja artinya membiarkan praktik curi start.Ini termasuk paktik ketidak – adilan dalam pilkada.

Ketiga, KPU harus berani melakukan adu gagasan di ruang publik. Ada debat calon yang dilaksanakan dengan menghadirkan panelis dari berbagai bidang, ini harus dilakukan agar calon memiliki informasi yang valid tentang kondisi daerah yang akan menjadi wilayah kepemimpinannya. Seringkali calon menyerap informasi yang tidak valid tentang kondisi daerah. Debat publik perlu dilakukan di hadapan panelis yang kritis agar calon memiliki konsep pembangunan yang matang. Bukan sekedar konsep – konsep populis yang merugikan masyarakat. Rakyat butuh regulasi yang pro rakyat beneran, bukan sekedar slogan. Dan itu harus dirumuskan dalam konsep pembangunan yang koheren dan komprehensif.

Debat publik harus dilakukan secara serius dan bukan sekedar ritual pilkada, agar calon dan partai politik yang mengusung tidak bertindak gegabah dan biar calon yang akan maju mengukur diri.Partai pengusung pun lebih selektif.Masyarakatpun akan memperoleh pendidikan politik sehingga tidak asal memilih.

Langkah ini akan menghilangkan praktik money politic, masyarakat yang mata duitan dalam pilkada akan terminimalisir dan politik transaksional akan tersingkirkan. Pilkada akan melahirkan pemimpin daerah yang kompeten, hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme akan terkikis.

Penulis : Ropingi el Ishaq, Akademisi IAIN Kediri dan Pengamat Social Politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *