Blitar, HarianForum.com- “Aku satu-satunya presiden di dunia ini yang tidak punya rumah sendiri. Baru-baru ini rakyatku menggalang dana untuk membuatkan sebuah gedung buatku. Tapi di hari berikutnya aku melarangnya. Ini bertentangan dengan pendirianku. Aku tidak mau mengambil sesuatu dari rakyatku. Aku justru ingin memberi mereka,” ungkapan Putra Sang Fajar yang ditulis dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Bangsa Indonesia oleh Cindy Adams warga Amerika, seorang penulis dari dan wanita pertama yang mewawancarai Ir Sukarno.
Segudang atribusi sebagai founding fathers, tokoh revolusi, putra sang fajar, orator ulung, dan masih banyak lagi kemampuannya, salah satunya kehebatan yang dimiliki kepiawaian dalam berdiplomasi.
Penyambung lidah rakyat merupakan sosok pemimpin yang sangat sederhana. Seusai dilantik sebagai presiden saat itu, Sukarno merayakannya hanya dengan 50 tusuk sate ayam yang dibeli dari pedagang keliling yang berjalan dengan kaki telanjang. Namun tokoh bangsa yang lahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo, mempunyai jiwa yang teguh dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang membelenggu dan menindas dengan gerakan nasionalisme untuk memperjuangkan hak-hak bangsa. Perjuangan Bung Karno tidak hanya dikenal oleh bangsa Indonesia, namun masyarakat dunia juga banyak yang mengenalnya.
“Blitar memiliki satu sosok tokoh yang luar biasa, dan Bung Karno merupakan simbol intelektualism. Hanya saja, sebagian besar masyarakat banyak yang berhenti pada simbol itu, sehingga pada akhirnya bergerak kemana mana. Misalnya hanya mengambil tentang kekuatan mistik. Sehingga buah pemikiran Bung Karno yang seharusnya menjadi sumber daya keilmuan itu mubadzir,” terang Fajar SH seorang penggiat literasi Blitar kepada HarianForum.com pada sebuah diskusi (21/01).
Fajar melanjutkan penyampaiannya, semasa mudanya Bung karno sudah mengenal dan mempunyai pemikiran – pemikiran besar tidak hanya menjadi pemimpin dunia, tetapi pemikiran luhur dari bangsa sendiri dari membaca buku. Sehingga pergulatan dan penguatan intelektual Bung Karno berawal kebiasaannya membaca.
Tidak hanya membaca, Sukarno juga menyampaikan pandangannya dengan tulisan yang dirangkai mulai dengan Sarinah yang berkisah tentang wanita yang dihormati bukan ibunya, bukan istrinya, bukan pula para negarawan wanita yang kesohor.
Namun Soekarno sangat menghormati wanita desa yang menjadi pengasuhnya mengajari Sukarno selalu mencintai rakyat Bukan ibunya, bukan istrinya, bukan pula para negarawan wanita yang kesohor, namun Soekarno sangat menghormati Sarinah. Wanita desa yang telah menjadi pengasuhnya, selalu mengajari Sukarno untuk mencintai rakyat kecil.
Selain Sarinah, Sukarno juga membuat karya Mencapai Indonesia Merdeka, tulisan tentang ideologi Marheanisme yang menentang penindasan manusia dan bangsa. Dalam kandungan tulisannya, dogma Marhean menjadi pemersatu bangsa untuk melawan penjajahan Belanda. Selain itu masih ada tulisan tulisan Bung Karno Indonesia Menggungat, Dibawah Bendera Revolusi serta karya Sukarno lainnya.
Diungkapan penulis buku Yang Terhormat Bapak Saya, dalam diskusi bertajuk “Gersangnya Literasi di Blitar” bahwa di kota Blitar memiliki Makam Bung Karno dan Perpustakaan Nasional Proklamator Bung Karno. Menurutnya dua monumen yang berdiri di kota Blitar seharusnya bisa digali serta diambil nilai nilainya dengan bijaksana baik sejarah maupun intelektual, dengan memberikan ruang bagi masyarakat dalam penguatan literasi.
“Literasi sebuah kegiatan intelektual meliputi membaca, menulis dan diskusi.Dengan membaca bisa menemukan kosakata yang tidak pernah kita dengar, dan itu terekam. Apabila kita mempunyai kosakata yang banyak, bisa kita ceritakan peristiwa yang pernah terjadi dalam bentuk tulisan. Sedangkan tulisan untuk mengkontruksi logika dengan cara berfikir yang runut, rapi dan runtut.Dan diskusi mempunyai kegunaan mengupdate keilmuan, terutama sains yang terus maju kedepan,” ungkap Fajar.
Diskusi yang digelar di lapak kuliner yang berada di kota Blitar, direktur Blitar Information Center atau BIC Institut Mujianto, ketua Penggiat Literasi Blitar Rahadian Asparagus dalam aktivitasnya terfokus pada kegiatan penulisan, penelitian, pelatihan, pendampingan dan desiminasi budaya, serta beberapa penggiat lainnya yang hadir, menyepakati kemampuan literasi dengan basis epitesmologis sosial filsafat Nusantara dan prespektif kritis transformatif sebagai sumber daya menggali maupun mengembangkan khasanah aerkologi pengetahuan Nusantara.
Literasi yang dijalankan dengan disiplin sosial, humaniora, keagamaan dan sains dan pemberdayaan masyarakat marginal, penguatan nilai nilai keadilan dan kehidupan multikultural, tetap merengkuh nilai keadaban, kemajemukan, kemandirian, keseteraan, keterbukaan, antikekerasan, anti dominasi dan anti diskriminasi.(Ans)