Politik dan Pemerintahan

Tradisi Jual Beli Jabatan, Modus Korupsi Para Oknum Birokrasi

255
×

Tradisi Jual Beli Jabatan, Modus Korupsi Para Oknum Birokrasi

Sebarkan artikel ini
Oyik Rudi Hidayat, direktur LBH Bumi Proklamator Blitar.

Blitar, HarianForum.com- Dari pemberitaan, pada bulan Mei 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Badan Reserse Kriminal Mabes Polri melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Nganjuk, Novi Rahman Hidayat.

Tangkap tangan yang dilakukan KPK dan Bareskrim Mabes Polri, adanya dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan promosi atau jabatan di Pemerintah Kabupaten Nganjuk.

Penangkapan Bupati Nganjuk ternyata tidak menimbulkan efek jera. Di penghujung Agustus 2021, Puput Tantriana Sari, bupati Probolinggo juga terjaring operasi tangkap tangan KPK dan resmi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan suap pada seleksi jabatan di lingkungan pemerintahan kabupaten Probolinggo, termasuk Hasan Aminudin suaminya. Operasi tangkap tangan yang telah menjaring 2 kepala daerah disepanjang tahun 2021, telah menarik perhatian salah satu praktisi hukum Blitar, Oyik Rudi Hidayat, SH.

Ditemui di kediamannya, direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Bumi Proklamator kepada Harian Forum.com, menyampaikan dengan mengikuti informasi dengan adanya kasus yang sama meskipun dengan lokasi yang berbeda, jual beli jabatan telah menjadi modus korupsi seperti yang dilakukan oleh bupati Nganjuk dan Probolinggo.

Menurut pengamatannya, modal memiliki kekuasaan yang sangat besar dan pengaruh kuat pada pengambilan keputusan, seleksi jabatan di pemerintah daerah dirasa menjadi peluang untuk memperoleh keuntungan dengan melakukan tindak pidana korupsi melalui suap dan gratifikasi.

“Dalam pemberitaan tidak sedikit kasus jual beli jabatan di lingkup pemerintah daerah, namun kita ambil contoh yang masih hangat beritanya, bupati Nganjuk dan bupati Probolinggo. Pejabat yang terkena sanksi pidana, karena terlalu memaksakan untuk kepentingannya. Meskipun tindakan yang dilakukan harus berbenturan dengan aturan maupun hukum serta penyalahgunaan kewenangan, baik dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, maupun promosi bagi aparatur sipil negara di lingkup kerjanya. Padahal mutasi atau rotasi jabatan, pada intinya mempunyai tujuan untuk menempatkan orang pada posisi yang tepat,” jelasnya.

Disinggung sebagai pemicu terus terulangnya kasus korupsi dengan modus suap dan gratifikasi dalam transaksi jabatan di pemerintah daerah. Oyik Rudi Hidayat menyentil fungsi pengawasan internal birokrasi dinilai bukan hanya mandul, tetapi tidak memiliki fungsi sama sekali. Baginya pengawasan internal sangat mustahil dilakukan oleh birokrasi kepada kepala daerah.Justru yang efektif pengawasan terhadap kepala daerah dilakukan secara eksternal baik legislatif, aparat penegak hukum, masyarakat serta media.

Oyik melanjutkan penyampaiannya, selain tidak adanya pengawasan, terkadang kepala daerah awalnya hanya berhitung biaya politik yang dikeluarkan dalam perjalanan menduduki jabatan. Namun pada saat menduduki jabatan, biaya politik ternyata masih diperlukan bagi supporternya. Dalam pengamatan, dirinya menilai tradisi membuat pusaran kolusi di birokrasi sudah jauh berurat berakar.

“Kepala daerah yang notabene bukan orang birokrasi tidak tahu perihal korupsi dan kolusi. Yang paham pastilah orang birokrasi lama, apa yang bisa diuangkan, dikapitalisasi atau dijadikan sumber uang. Ambil contoh yang terjadi, pejabatnya kaya, muda, dan taat. Tetapi kenapa tetap berlaku demikian, dan tentunya banyak orang merasa heran pada saat pejabat tersebut terbukti melakukan pelanggaran hukum. Disinilah kemungkinan ada yang mengerti kondisi yang bersangkutan dimana harus mengeluarkan uang pribadi yang bersifat non dinas kemungkinan untuk tokoh, pendukungnya atau yang lainnya selama menjabat. Maka tawaran menjalankan tradisi yang sudah ada dari jaman dahulu dan diketahui oleh beberapa oknum birokrasi lama.Bisikan setan diikuti, kesepakatanpun terjadi.Oknum birokrasi menjadi eksekutor sedangkan pejabatnya memberi ijin atau dengan sengaja mendiamkan dengan modus bagi hasil, dan sampean seorang jurnalis sebenarnya juga paham, tapi pura pura tidak mengerti,” ucap Oyik Rudi Hidayat dengan tersenyum.

Hakikatnya pemerintahan merupakan pelayanan masyarakat, dengan konsekuensi bahwa birokrasi berkewajiban memberikan layanan secara profesional dan baik. Pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi, merupakan salah satu fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat yang memiliki komitmen mensejahterakan masyarakat.

Advokat yang tidak biasa berpenampilan klimis ini menambahkan, bahwa sebuah negara trennya menganggap sebagai sebuah perusahaan. Dan didalam perusahaan tentu memiliki pegawai pegawai yang mumpuni dalam melakukan pekerjaan sesuai bidangnya, dengan orientasi memperoleh keuntungan.

“ASN juga sebagai SDM yang harus senantiasa dididik atau dilatih, sehingga bisa dianggap menjadi investasi negara. Jadi negara sedang berinvestasi kepada tenaga kerja dalam status ASN, tidak lain bagaimana pelayanan dari negara mengadminitrasikan keadilan bisa dilakukan dengan tuntas. Sehingga tujuan Pancasila pada sila ke 5 yang tertulis keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan idealnya kesana. Kalau ada kasus yang terjadi seperti akhir akhir ini adanya suap juga gratifikasi kepada seseorang yang akan menduduki jabatan tertentu, bisa dipastikan kepala daerah tidak mengerti filosofi paling mutakhir dari berjalannya sebuah negara, mungkin karena tidak ada pelatihan,” tandas Oyik.

Dikutip dari Kompas.com, Selasa 31 Agustus 2001, editor Wahyuni Sahara dengan tajuk Suap Jual Beli Jabatan yang Terus Berulang.

Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai secara umum bahwa pemilihan jabatan di daerah, seperti kepala dinas atau pimpinan tinggi masih menyisakan banyak masalah.

Pemilihan pejabat di tingkat itu sering kali dijadikan ajang untuk mendapatkan uang bagi kepala daerah. Namun, dalam pemilihan pejabat di tingkat desa pun, seperti pejabat sementara kepala desa, terbuka celah untuk melakukan jual beli jabatan. Sebab, di tingkat itu tidak ada peraturan yang ketat dan pengawasan yang intens.

”Problem utama di daerah, birokrasi daerah masih kerap jadi sapi perah kepala daerah untuk mengumpulkan logistik. Jadi, masih banyak muncul kasus mulai dari jual beli jabatan, setoran, dan bagi-bagi proyek,” kata Almas.

Di sisi lain, sistem pengawasan di daerah juga tidak berjalan semestinya. Pengawasan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah belum efektif. Akibatnya, sistem yang sudah dibangun rawan untuk dibajak kepala daerah untuk kepentingannya sendiri.(Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *