Sabtu , Desember 9 2023
231 views

Salah Langkah Berakibat Fatal, 1 Periode Bisa Jadi

Blitar, HarianForum.com- Menolak dengan sebutan kyai, salah satu tokoh Ansor lawas, sebenarnya enggan berkomentar tentang politik termasuk membicarakan pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diperkirakan digelar kurang 2 pekan lagi. Namun mantan politisi PKB kabupaten Blitar, yang saat ini lebih banyak konsentrasi di majelis da’wah daripada mengikuti perkembangan politik, akhirnya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh HarianForum.com, tentang suasana baru di pemerintahan kabupaten Blitar.

Dituturkan dari pengalaman sebagai wakil bupati Blitar periode 2006 – 2011, pejabat atau kepala daerah yang baru terkadang belum mengerti dengan sebenarnya aturan main didalam pemerintahan. Pada saat sebelum menjabat, tidak sedikit rencana yang akan dilakukan, selain masalah mengelola keuangan juga persoalan investor. Menurut H.Arif Fuadi, banyak yang berfikir melakukan perihal tersebut sesuatu yang mudah, sehingga terkadang seorang pejabat lalai atau kurang jeli serta tidak hati hati pada saat mengambil keputusan, dan tidak merasa telah menabrak aturan aturan.

“Harus memahami dalam mengatur keuangan negara, tidak boleh semena mena, semua ada aturannya. Kalau aturan tersebut tidak diindahkan, bisa menjadi bumerang. Ambil contoh mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga, prosedur harus dipenuhi mulai status lahan yang akan dipakai, harus mendapat persetujuan DPRD, amdalnya bagaimana, apakah tanah boleh dieksplorasi atau tidak dan sebagainya. Kalau hal tersebut dilanggar, yang kena yang bertanggung jawab, dalam hal ini kepala daerah,” tuturnya

Pernah menjabat sebagai wakil ketua DPRD kabupaten Blitar, H. Arif Fuadi sangat memahami kondisi perjalanan atau proses menjadi kepala daerah, pasti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Namun H.Arif Fuadi menyampaikan sekaligus mewanti wanti adanya beberapa faktor penyebab kepala daerah terjebak dalam pidana korupsi, selain kurangnya kompetensi dalam mengelola keuangan negara, kurang memahami aturan aturan, serta mengikuti kebiasaan yang salah.

Dikutip dari KOMPAS.com yang bertajuk “KPK Identifikasi 6 Modus Korupsi Kepala Daerah untuk Kembalikan Biaya Politik” Yang ditulis Ardito Ramadhan, dan dipost pada Rabu, 30 September 2020, bahwa direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Giri Suprapdiono menyebutkan, ada enam modus korupsi yang dilakukan kepala daerah untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan selama kampanye.

“KPK sudah mengidentifikasi, jadi kalau ibu bapak nanti setelah memimpin melakukan ini, KPK sudah tahu modusnya,” kata Giri dalam sebuah webinar yang disiarkan akun YouTube Kanal KPK, Rabu (30/09/20).

Modus pertama, kata Giri, jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah, mulai dari jabatan kepala dinas, sekretaris daerah, hingga kepala sekolah.

Modus kedua, korupsi pengadaan barang dan jasa yang baru dapat dilakukan kepala daerah setelah memiliki wewenang merencanakan anggaran. Giri mengatakan, beberapa hal yang dilakukan dalam korupsi pengadaan barang dan jasa antara lain penerimaan kickback ataupun pengaturan pemenang lelang pengadaan.

Modus ketiga, jual beli perizinan, mulai dari perizinan membangun hotel, rumah sakit, pusat perbelanjaan, hingga perkebunan.
“Berikutnya korupsi anggaran, sudah pintar, kenal sama DPRD. Jadi sebelum dieksekusi pun sudah terjadi,” kata Giri.

Modus kelima, penerimaan gratifikasi. Giri mengingatkan bahwa setiap penerimaan gratifikasi dapat dikenakan piadana bila tidak dilaporkan ke KPK dalam waktu 30 hari.Keenam, penggelapan pendapatan daerah, contohnya, ketika ada pungutan pajak yang tidak disetorkan ke kas daerah, tetapi malah dibagi-bagikan di kalangan pejabat daerah dan oknum-oknum lainnya.

Salah satu modus yang dikemukakan direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Giri Suprapdiono, tentang kemungkinan adanya jual beli jabatan di pemerintahan, H. Arif Fuadi memberikan jawaban dengan diplomatis.

Disampaikannya untuk jual beli jabatan, menurutnya bisa benar namun juga bisa tidak, artinya apabila perihal tersebut ada, hanyalah bersifat oknum yang tidak memperhatikan kapabilitas, karena calon perangkat dilelang bukan karena kemampuannya, namun dilelang atas dasar finansial.

“Bisa jadi, sebenarnya kepala daerah tidak melakukan, tetapi justru yang melakukan orang berada dilingkarannya. Atau memang seperti itu, artinya bisa juga menyuruh orang orang tertentu melakukan jual beli jabatan untuk mencari keuntungan, dan itu sangat rawan. Di banyak tempat, pejabat jatuh dalam hal ini, dan apabila terbongkar yang pasti masuk ranah hukum, karena suap,” jelas H. Arif Fuadi.

Pemilihan kepala daerah Kabupaten Blitar tahun 2020, terdapàt 2 pasangan calon dalam pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 9 Desember. Pasangan H. Rini Syarifah dengan H.Rahmat Santoso diusung oleh PKB yang memiliki 9 kursi di DPRD kabupaten Blitar, PAN 7 kursi dan PKS 1 kursi, lebih unggul dalam perolehan suara atas pasangan H. Rijanto dengan Marhenis Urip Widodo yang diusung PDIP dengan 19 kursi, Partai Gerindra 6 kursi, Partai Demokrat 2 kursi, Partai Golkar 3, Partai Nasdem 2 dan PPP 1 kursi.

Disinggung tentang pemerintahan Hj. Rini Syarifah dengan H. Rahmat Santoso nantinya, kemungkinan bisa menjalankan program sesuai visi dan misinya dengan maksimal. Dukungan dari partai pengusung dengan 17 kursi, sedangkan secara keseluruhan di DPRD kabupaten Blitar terdapat 50 kursi.

Menjawab pertanyaan tersebut, mantan anggota DPRD kabupaten Blitar 2 periode ini menyampaikan, bagaimanapun juga stabilitas di DPRD sangat menentukan. H. Arif Fuadi menjelaskan tentang dukungan politik dari dewan terhadap kepala daerah tidak maksimal apabila partai pengusung dan pendukung tidak lebih dari 50 persen.

“Menurut saya akan sulit, apabila bupati terpilih saat ini di dewannya didukung kurang dari 50 persen. Maka bagaimanapun juga harus melakukan komunikasi politik dengan partai di luar pendukung Bupati, bagaimana kesepakatannya monggo. Itu suatu keharusan pemerintahan mak Rini, setelah dilantik harus merangkul semua partai yang ada di DPRD, kalau nggak dilakukan, sangat berat perjalanan pemerintahannya,” jelasnya

H. Arif Fuadi menceritakan pada saat dirinya menjadi wakil kepala daerah, meskipun partai pemenang didukung oleh partai mayoritas ternyata masih kepontalan. Terkadang pada paripurna DPRD menemui kegagalan, karena tidak memenuhi quorum.

“Yang terpenting bupati dan wakil bupati terus intens melakukan komunikasi politik dengan partai lain agar kebijakannya didukung oleh semua fraksi di DPRD. Jangan dibeda bedakan, malah nggak kondusif, karena kondusifitas sangat penting. Banyak hal hal dan kebijakan yang membutuhkan persetujuan DPRD, apalagi APBD. Kalau pemerintah dan DPRD tidak sinergi, dan tidak akan ada kesepakatan, semua akan rugi karena tidak bisa menggunakan anggaran yang baru. Yang bisa hanya anggaran rutin, tidak boleh mengambil dana tanpa kesepakatan DPRD. Komunikasi dengan DPRD sangat sangat penting dan ini mumpung ada waktu, jangan dianggap sepele. Kalau salah langkah berakibat fatal, 1 periode bisa jadi,” tandas H.Arif Fuadi.(Ans)

Check Also

Daftar Lengkap Kenaikan UMK Jatim 2024, Surabaya Tertinggi, Madura Terendah

HarianForum.com – Gubernur Jawa Timur (Jatim) menetapkan besaran kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) daerahnya untuk …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *