Selasa , November 28 2023
286 views
Yudi Ariski, pemenang I IMATARA Essay Competition 2021.

Petatah Petitih Minangkabau : Nasehat Bijak Dan Kritis Tangkis Hoaks Di Masa Pandemi

Blitar, HarianForum.com- Yudi Ariski mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, merupakan pemenang I IMATARA Essay Competition 2021 l, yang digelar Ikatan Mahasiswa Blitar Raya dengan tema tulisan “Petatah Petitih Minangkabau : Nasehat Bijak Dan Kritis Tangkis Hoaks Di Masa Pandemi”.

Biro Harian Forum.com Blitar Tulungagung menerima tulisan dari Ketua Panitia IMATARA Essay Competition 2021, melakukan edit tanpa menambah kalimat maupun kata, meski ada yang dihapus. Namun tindakan penghapusan tidak menggeser sedikitpun arah dan tujuan tulisan.

Redaksi maupun biro Blitar Tulungagung HarianForum.com, tidak meminta maupun menerima biaya atau imbalan kepada panitia IMATARA Essay Competition 2021.

Multikultural sudah menjadi identitas yang mengakar bagi bangsa Indonesia. Bermacam suku, agama, ras, bahasa dan budaya tersebar dari ujung Sabang hingga tanah Papua. Menurut data Statistik Sosial Budaya yang dirilis Badan Pusat Statistik (2018) menyatakan bahwa Indonesia adalah rumah dari 1.340 suku bangsa dan 2.500 jenis bahasa serta ribuan warisan budaya yang mengahasilkan struktur budaya dengan kemajemukan tinggi. Pertumbuhan kebudayaan nasional tidak bisa dilepaskan dari keunikan kultur masing-masing daerah yang berbeda. Beragam kearifan lokal, nilai-nilai dan budaya yang dianut masyarakat dengan ciri khasnya, memperkaya khazanah kebudayaan nasional. Diversitas budaya yang mewarnai bangsa Indonesia merupakan aset beharga yang harus tetap dijaga.

Keberadaan nilai-nilai budaya di tengah gerusan globalisasi dan kecanggihan teknologi sudah menempatkan nilai-nilai lokal sebagai barang kuno yang ketinggalan zaman. Jika ditelisik lebih dalam, tidaklah tepat jika budaya lokal selalu disandingkan dengan istilah ketertinggalan. Berbagai bentuk penyelesaian masalah sosial di era ini, sudah jauh terlebih dahulu diajarkan penyelesaiannya melalui nilai-nilai budaya lokal. Bangsa dengan karakter yang kuat, berakar dari nilai-nilai budaya lokal yang diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat (Daniah, 2016). Budaya lokal tidak hanya menjadi identitas, tetapi juga pusat pengadosian nilai-nilai, pendidikan karakter dan sumber tuntunan kehidupan lintas zaman.

Seperti halnya dengan kondisi Pandemi Covid-19 saat ini, dimana berbagai masalah sosial hadir menyebabkan kepanikan dan perselisihan di antara masyarakat. Pandemi dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan berita palsu (hoaks). Dikutip dari website Kementrian Komunikasi dan Informatika (2020), ditemukan 1.028 berita hoaks berkaitan dengan Covid-19.

Berita hoaks menyumbangkan berbagai dampak negatif di masyarakat. Mulai dari gangguan psikologis, panic buying, penolakan vaksinasi, meremehkan pandemi, ketakukan berlebihan hingga menyebabkan dampak fatal yaitu kematian. Dilansir dari laman berita kompas.id (2021), diungkapkan bahwa kematian seorang pria bernama Hasanudin diakibatkan oleh keterlambatan dan ketidakpercaanya terhadap wabah Covid-19. Hal ini dipicu karena berita hoaks yang menyebar dan dipercaya begitu saja. Akibatnya Hasanudin tidak mau untuk di tes, walaupun sudah dua minggu bergejala Covid-19.

Menjamurnya berita hoaks sesungguhnya telah menyumbangkan dampak buruk terhadap kondisi pandemi saat ini. Berbagai narasi yang dibuat oleh produsen hoaks, sangat urgen untuk segera ditangkis melalui pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat. Masyarakat perlu ditanamkan nilai-nilai bijak dan kritis agar tidak sembarang mengamini berita hoaks yang beredar. Pendekatan edukasi yang diberikan kepada masyarakat sebaiknya familier dan sesuai dengan local knowledge, sehingga lebih mudah diterima. Maka dari itu, adopsi nilai-nilai kebudayaan lokal yang notabenenya selalu bersinggungan dengan kehidupan masyarakat, menjadi langkah potensial untuk diimplementasikan.

Menjawab maraknya penyebaran berita hoaks pada masa pandemi Covid-19, maka ide dan kreatifitas dibutuhkan untuk menangkap permasalahan serta mencarikan jalan keluarnya. Petatah petitih Minangkabau diharapkan menjadi jawaban solutif bagi permasalahan ini. Petatah petitih hadir sebagai salah satu kebudayan lokal khas Sumatera Barat yang memiliki kebermanfaatan tinggi dalam kehidupan masyarakat lokal maupun universal (E. Rahayu et al., 2013). Narasi-narasi bijak dan kritis yang terkandung didalamnya, diharapkan muncul sebagai upaya mengcounter isu-isu hoaks yang beredar. Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang dibahas adalah bagaimana peran petatah petitih Minangkabau dalam upaya menanangkis penyebaran berita hoaks dimasa pandemi.

Media sosial merupakan suatu media instan yang memungkinkan penggunanya berbagi informasi secara bebas dan luas. Media sosial memiliki dinamika yang tinggi sehingga siapapun bisa berkomunikasi terbuka dengan berbagai pihak, usia, maupun tingkat pendidikan berbeda. Banyaknya jumlah pengguna media sosial dari bebagai latar belakang, sangat potensial menyumbang percepatan penyebaran berita hoaks di masyarakat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Centre for International Governace Innovation (CIGI) 2019, mencatat bahwa 86 persen pengguna internet dunia menjadi korban penyebaran berita hoaks (CNN Indonesia, 2019). Facebook menyumbang angka paling besar yaitu 77 persen, Twitter 74 persen dan 76 persen diisi oleh gabungan pengguna media sosial lainya. Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) 2020, di Indonesia terdata sebanyak 30 – 60 persen orang terpapar berita hoaks dan hanya 21-36 persen saja yang mampu mengenali berita hoaks (Cahyadi, 2020).

Berita hoaks sangat meresahkan masyarakat. Narasi-narasi yang diframing seakan-akan menyerupai fakta, sudah menimbulkan berbagai pesersoalan serius di masyarakat. Di tengah kehidupan yang susah di masa pandemi, masyarakat malah bertambah sulit dengan berbagai berita yang simpang-siur membohongi publik. Keberadaan berita hoaks bagaikan teror via digital, karna memiliki muatan menakuti dan membodohi masyarakat.

Informasi yang diwartakan oleh kompas.com (2021) salah satu contohnya. Berita ini memaparkan kumpulan berita hoaks di masa pandemi diantaranya, corona merupakan virus paling berbahaya yang pernah ada, virus Covid-19 dapat menular melalui barang impor, hanya orang dewasa yang beresiko terinfeksi corona, pasien Covid-19 tidak dapat terinfeksi kembali karena sudah memiliki kekebalan. Berita lainya yang juga dilansir dari kompas.com (2021), memberitakan informasi hoaks perihal Gereja yang mengharamkan vaksin Covid-19. Padahal faktanya, pihak Gereja mendukung penuh dan mengapresiasi tindakan vaksinasi. Berdasarkan dua referensi berita diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa berita hoaks menyumbangkan ketakutan, kesesatan berfikir, konflik lintas iman, dan kebodohan di masyarakat. Sehingga diperlukan literasi dan nalar kritis dalam memahami dan mengepohkan penyebaran berita hoaks.

Globalisasi dan kemajuan teknologi tidak hanya berdampak pada level ekonomi, sosial, IPTEK maupun politik. Globalisasi dan teknologi memudahkan setiap orang untuk bertukar kebudayaan secara global. Akibatnya, keberadaan budaya lokal mulai terkikis oleh budaya baru yang dianggap lebih modern dan populer. Kehadiran Culture Globalization sudah menjadi tren baru sebagai tandingan terhadap kebudayaan lokal. Berdasarkan skenario 3H, globalisasi menimbulkan homogenitas, dimana terjadinya penyatuan budaya tunggal yang dianut secara universal seperti Western dan Korean Wave (Larasati, 2018). Budaya barat dan Korea inilah yang kemudian menjamur dan digandrungi oleh masyarakat saat ini.

Tantangan kebudayan di era ini dihadapkan pada penumbuhan kesadaran masyarakat untuk memamami, mencintai serta melestarikan budaya lokal di kantong-kantong budaya persada nusantara (Setyaningrum, 2018). Menurut Piliang (2015) dalam Setyaninggrum (2018) menyatakan bahwa ketika homogenitas budaya memiliki daya tarik yang lebih kuat, maka budaya lokal dengan heterogenitas etniknya akan diseret oleh globalisasi. Budaya lokal perlu dikembangkan dan disosialisasikan secara masif, agar keunggulanya dapat diresapi serta diimplementasikan oleh pemilik asli budaya itu sendiri.

Petatah petitih Minangkabau, merupakan salah satu sastra lisan Sumatera Barat yang menjadi pedoman dan nasehat dalam berperilaku. Petatah petitih diwariskan turun-temurun dan diajarkan melalui lisan. Menurut Djamaris (2002) dalam Rahayu (2013) menyatakan bahwa sastra lisan Minangkabau bervariasi, mulai dari kaba, curito, pantun, mantra dan petatah petitih. Sastra lisan dalam implementasinya disampaikan dalam bentuk acara adat, kesenian, maupun komunikasi sehari-hari. Keberadaan petatah petitih sebagai sastra lisan, memiliki nilai kebermanfaatan yang besar sebagai pedoman dan pegangang hidup masyarakat Minangkabau.

Petatah petitih secara fundamental bukan sekedar tradisi maupun budaya, lebih dari itu mengandung berbagai nilai-nilai universal, pendidikan dan pengembangan karakter (Munir, 2013). Sebagai poros pendidikan karaktek yang berkearifan lokal, petatah petitih memuat empat dimensi karakter (Munir, 2013). Pertama, karakater cerdik yang dipahami sebabagai “kendaraan nan maha tinggi, karano berakal”. Ungkapan petatah petitih ini mengandung arti bahwa kekuatan akal adalah fasilitas menjelajahi dunia dan kita dituntuntut untuk cerdas dalam menjalani kehidupan.(Yudi Ariski)

Nasehat Bijak Dan Kritis Tangkus Hoaks di Masa Pandemi (2)

Check Also

Hindari Perpecahan & Faham Radikal, Kapolres Nganjuk Gelar Sosialisasi Wawasan Kebangsaan

Nganjuk, HarianForum.com– Kapolres Nganjuk AKBP Muhammad, S.H., S.I.K., M.Si., mengajak seluruh peserta Sosialisasi Pemantapan Wawasan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *