Serba-serbi

Perayaan ”Bodo Kupat” di Ringin Pitu Tulungagung Ludes di Massa

258
×

Perayaan ”Bodo Kupat” di Ringin Pitu Tulungagung Ludes di Massa

Sebarkan artikel ini
Warga Ringin Pitu , dengan ramah melayani pengunjung saat perayaan lebaran ketupat.

Tulungagung, HarianForum.com- Belum sampai 2 jam sebanyak 35 meja dengan aneka hidangan ketupat pada acara bodo kupat atau lebaran ketupat di Dusun Ringin Agung desa Ringin Pitu, kecamatan Kedung Waru kabupaten Tulungagung akhirnya ludes oleh massa pengunjung.

Penyajian aneka masakan yang dihidangkan disepanjang jalan desa dan memang disediakan untuk umum.Tradisi kupatan rutin digelar setelah selesainya puasa sunnah 6 hari terhitung mulai 2 Syawal oleh warga dusun Ringin Agung ini, dan mulai menarik juga diminati masyarakat ternyata sudah berjalan 4 hari raya idul fitri atau lebaran.

Anton Harnowo salah satu tokoh masyarakat dusun Ringin Agung, menjelaskan bahwa lebaran ketupat di desanya sebenarnya sudah lama ada dan tradisi lebaran ketupat dilakukan secara turun temurun ”Dulu waktu kupatan (lebaran ketupat) warga merayakan dengan saling membagikan ketupat berserta sayur dan lauknya dari rumah warga satu ke rumah warga lainnya. Karena hari yang sama dalam merayakan, maka ketupat tersebut menumpuk dan tidak bisa dihabiskan dan akhirnya menjadi mubadzir atau sia sia,” ujarnya.

Atas kesepakatan warga, dan dibantu oleh adik adik dari karang taruna mulai dengan dukungan tenaga akomodasi, keamanan lalu lintas, parkir dan lainnya, acara kupatan di desa kami akhirnya diselenggarakan dengan menyajikan makanan untuk semua warga yang berkenan,” jelasnya

Perayaan ketupat merupakan ungkapan rasa syukur dan kegembiraan bagi yang melaksanakan puasa sunah dimulai pada tanggal 2 Syawal tahun Hijriyah. Ungkapan rasa bahagia setelah menjalani puasa sunah diekpresikan bukan dengan memperbanyak makan namun justru membagi bagikan sedekah berupa makanan untuk orang lain.

”Tujuan warga dusun Ringinagung tidak lain menghormati dan melestarikan tradisi turun temurun dari orang tua dengan mempertahankan kupatan atau lebaran kupat, dan kami bersama warga akan terus tetap mempertahankan tradisi ini,” tukas Anton.

Sedangkan menurut Ahmad Muzaiyin, warga Tulungagung juga pengamat tradisi budaya lokal menjelaskan bahwa di Tulungagung tidak hanya di desa Ringinpitu khususnya dusun Ringinagung yang menggelar kupatan, bodo kupat atau lebaran ketupat akan tetapi hampir di seluruh desa di wilayah Tulungagung mengadakan lebaran ketupat.

”Tradisi lebaran ketupat tidak hanya di desa Ringin Pitu akan tetapi hampir semuanya di wilayah kabupaten Tulungagung kupatan diadakan oleh masyarakat secara swadaya disamping meneruskan tradisi turun temurun, juga sebagai ekpresi selesainya menjalankan puasa sunah bulan Syawal dan memahami nilai nilai dan makna dari salah satu wali di tanah jawa yaitu Sunan Kalijogo tentang ketupat,” terang Ayin panggilan Ahmad Muzaiyin.

Ayin juga menjelaskan makna kupat yang bisa diartikan Ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan bisa juga dimaknai ”Laku Papat” empat sudut ketupat atau empat lelaku yang ada pada ketupat yaitu lebar jiwa manusia mengakui akan kesalahan dirinya sendiri, lubernya rejeki dengan gemar melakukan sedekah kepada orang yang membutuhkan, leburnya kekhilaafan antar sesama dengan saling memberi maaf dan labur (mewarnai putih pada sebuah bidang dengan kapur) dimaknai memutihkan jiwa seseorang dengan sifat sifat yang baik menurut agama.

H.J. de Graaf atau Hermanus Johannes de Graaf seorang sejarawan bangsa Belanda kelahiran Rotterdam mengkhususkan diri untuk menulis sejarah tentang jawa, memaparkan sejarah perayaan hari raya Islam Idul Fitri disimbolkan dengan ketupat di masa pemerintahan Raden Patah, yang memimpin kerajaan Demak awal abad 15. Dalam tulisannya disimpulkan de Graaf pembungkus ketupat yang terbuat dari janur, menunjukkan indetitas sosial masyarakat pesisiran pulau jawa yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.

Dalam Malay Annual, De Graaf juga menulis bahwa kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di jawa, dalam menyebarkan Islam di pulau jawa didukung oleh para wali dengan melakukan syiar Islam sampai ke pelosok bahkan ke pedalaman. Dan para wali dalam syiarnya melakukan pendekatan kepada masyarakat sebagian besar penduduk agraris dengan kekeramatan dan keberkahan.

Sunan Kalijogo atau Raden Mas Syahid, memperkenalkan ketupat dengan makna janur sebagai kulit atau pembungkus dalam bahasa Arab yang berasal dari kata “jaa a al-nur” bermakna datangnya cahaya dan jawa mengartikan janur dengan “sejatine nur” (cahaya sejati) manusia selalu butuh petunjuk kebenaran dari kesalahan yang seringkali dilakukan.

Kemudian ketika ketupat dibelah menampakkan warna putih melambangkan kebersihan jiwa manusia setelah saling memaafkan. Sedangkan butiran beras yang awalnya bercerai berai setelah dibungkus dan dimasak dalam janur yang dianyam menjadi ketupat, menggambarkan kebersamaan untuk kemakmuran.(Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *