Blitar, HarianForum.com – Pemilihan kepala daerah telah usai, Komisi Pemilihan Umum di beberapa daerah telah menentapkan pemenangnya. Berdasarkan isu besar, pilkada kali ini terbagi dalam dua faksi, dan pemenangnya pun terbagi dalam dua faksi. Ada faksi Koalisi Indonesia Maju ( KIM ), ada faksi PDI Perjuangan, meski di beberapa daerah sebenarnya ada calon-calon kepala daerah yang tidak berafiliasi dalam dua faksi tersebut tetapi tidak dapat diframing secara mencolok, karena memang faksi besarnya hanya ada dua saja.
Pemenang – pemenang pada pemilihan kepala daerah 2024, tentunya terbagi dalam dua faksi, ada yang dimenangkan oleh faksi PDI Perjuangan seperti DKI Jakarta, dan faksi KIM memperoleh kemenangan di pilihann gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah, dan juga Jawa Timur. Setiap faksi tentunya membawa visi dan misi yang berbeda, dan visi serta misi masing-masing tidak akan jauh berbeda dari “induknya”.
Para calon kepala daerah dari faksi KIM akan membawa visi dan missi koalisi besar di bawah komando Prabowo Subianto, sedangkan calon dari faksi PDI Perjuangan membawa visi dan misi besar dari partai berlambang banteng moncong putih. Namun demikian, secara detail rakyat masih harus menunggu bagaimana eksekusi visi dan misi yang mereka tawarkan kepada konstituen, dimana implementasi visi dan misi tersebut tidak semudah membalikkan tangan. Dipastikan ada dinamika dan tawar menawar politik yang terjadi, terutama di antara relasi ekskutif dan legislatif, baik di propinsi maupun di kabupaten atau kota, dan tarik menariknya cukup alot dan tidak sederhana.
What Next…lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Bagi konstituen, sudah pasti, yakni menunggu eksekusi janji – janji politik para calon yang disampaikan saat kampanye, sambil mencerdaskan diri agar tidak menjadi obyek politik setiap pilkada digelar. Persoalannya adalah, apakah kira – kira visi dan misi calon serta program-program yang dijanjikan saat kampanye akan diwujudkan atau justru dilupakan ?
Yang sudah banyak terjadi adalah janji – janji politik yang dituangkan dalam visi dan missi itu hanya menjadi dokumen pendaftaran calon dan wakilnya saja, meskipun ada kontrak politik dengan konstituen, akan tetapi perihal tersebut hanya sekedar basa-basi politik yang hampir selalu dilupakan.
Atas fenomena melupakan janji politik, muncul pepatah yang masyhur di tengah masyarakat tentang perbedaan pil KB dan pilkada, yang mana Pil KB merupakan obat pencegah kehamilan “jika lupa (diminum), maka akan jadi (hamil). Sementara pilkada, jika (sang calon kepala daerah ataupun anggota legislatif) lolos sebagai pemenang dalam pesta demokrasi, maka ia lupa (kepada konstituen yang memberikan suara)”. Tentu ini adalah sebuah pepatah satir yang sangat menusuk, tetapi karena sering diucapkan hungga dijadikan gurauan, maka makna mendalam yang seharusnya menjadi perhatian justru diabaikan.
Kembali ke pesta pemilihan kepada daerah yang baru usai, apa yang harus dilakukan oleh para pemenang dalam pilkada ?
Bagi para pemenang, tentu wajib merancang rencana implementasi pemenuhan janji-janji politik yang telah dituangkan dalam naskah visi dan misi saat mendaftar di KPU Daerah serta janji – janji politik yang telah disampaikan pada saat kampanye.
Dalam implementasi ini, hal penting yang perlu dilakukan oleh para pemenang adalah membangun system pemerintahan yang inklusif. Mochammad Faisal Karim, Managing Editor Journal of Asean Studies mengutip buku yang dtulis Acemoglu dan Robinson dengan judul “ Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty ” menyebutkan bahwa ada dua pola kepemimpinan negara, yakni pola ekstraktif dan inklusif. Negara-negara yang berhasil menciptakan kemakmuran bagi bangsanya adalah negara yang menjalankan system pemerintahan secara inklusif.
Sistem pemerintahan yang inklusif dapat dimaknai sebagai sebuah system yang dijalankan berdasarkan manajemen modern.Seorang kepala daerah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya tidak sebagai pribadi, tetapi sebagai bagian dari system birokrasi yang kompleks. Karena sebagai bagian dari system birokasi yang kompleks, maka kepala daerah tidak dapat bergerak atas nama pribadi, akan tetapi harus bergerak atas nama system.
Sebagai contoh, seorang kepala daerah tidak dapat berjalan dan berkeliling kampung setiap saat dengan membawa bantuan kepada fakir miskin diberikan kepada setiap fakir miskin yang ditemuinya. Meskipun ada janji politik untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin, tetapi pola penyampaian bantuan tersebut tidak dapat dilakukan dengan cara tersebut, merupakan cara tradisional.
Yang harus dilakukan kepala daerah dalam system yang inklusif adalah dengan melibatkan semua lini birokrasi yang terkait.Kepala daerah, misalnya, mematakan masalah kemiskinan di daerah bersama dinas terkait, apa kriteria fakir miskin yang dijadikan ukuran, ada berapa banyak warga yang fakir dan miskin, apa faktor – faktor yang menyebabkan mereka berada dalam garis kemiskinan, tersebar di mana saja mereka, apa cara yang tepat untuk membantu mereka dan seterusnya.
Lalu kepala daerah melibatkan pihak – pihak terkait untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan secara terpadu, sehingga program pengentasan kemiskinan terlaksana secara terukur dan dapat dilihat progresnya.
Jika untuk membantu fakir miskin seorang kepala daerah bergerak atau mungkin blusukan memberikan bantuan secara personal, maka dapat dipastikan tidak akan dapat menyentuh semua fakir miskin yang ada di daerahnya.Sebab jumlah fakir miskin dalam suatu daerah meskipun prosentasenya kecil, tetapi jumlahnya besar dan tidak mungkin semuanya dapat ditemui oleh seorang kepala daerah. Jika pola tersebut dilakukan, maka dapat dipastikan visi dan misi keadilan sosial tidak akan dapat dijalankan.
Bagi pemerintah daerah, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi komprehensif terkait dengan pelaksaan pilkada. Apakah pelaksanaan pilkada sudah berjalan sesuai denga prosedur yang telah ditetapkan, atau juga pilkada yang dijalankan telah melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang kompeten dan seterusnya.
Kemudian bagaimana KPU Daerah merumuskan system pilkada yang baik, berkualitas dan berkeadilan itu saja. Tetapi, nampaknya agenda-agenda pasca pilkada hanya sebatas seremonial dan eufora kesuksesan dalam pelaksaan semata. Tidak sampai menyentuh substansi pelaksanaan pilkada, maka jangan berharap pilkada ke depan akan berjalan lebih baik dan mampu memilih kepala – kepala daerah yang kompeten.
Pilkada ke depan hasilnya akan sama saja dengan pilkada kali ini. Bahkan bisa jadi akan lebih parah, kecuali system pemilihan kepala daerah dirombak secara radikal untuk memberikan ruang bagi munculnya calon-calon kepala daerah yang kompeten.(*)
Penulis: Ropingi el Ishaq, Akademisi IAIN Kediri dan Pengamat Sosial Politik