Blitar, Harian Forum.com – Tulisan De Karanganjar Koffieplantage terpampang di sebuah bangunan bercat putih, masih gagah berdiri di area perkantoran perusahaan perkebunan kopi Karanganyar. Bangunan itu membuka kembali ingatan Bagus Priyambodo, meruntut perjalanan sejarah bangsa Indonesia di bawah pendudukan kolonial pada saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada tahun 1830 menjalankan tanam paksa atau cultuurstelsel dengan mewajibkan petani pemilik lahan menanami tanaman komoditas ekspor seperti kakao, kopi, lada, pala, cengkeh, serta teh.
Diungkapkan bahwa selain merubah kebijakan Thomas Stamford Raffles dengan sistem sewa tanah atau landelijk stelsel yang dianggap tidak menguntungkan bagi pihak Hindia Belanda, tanam paksa menurut van den Bosch merupakan solusi atas keterpurukan finansial yang dialami pemerintah Hindia Belanda. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari perang yang tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga menghadapi perlawanan rakyat Indonesia, terutama setelah meletusnya Perang Diponegoro atau De Java Oorlog pada tahun 1825 hingga 1830.
Awalnya, kolonial Hindia Belanda hanya melakukan perdagangan dengan rakyat Indonesia sebagai produsen. Namun, melihat Pulau Jawa memiliki tanah yang subur dengan dukungan iklim tropis, curah hujan yang cukup, tersedianya tenaga kerja, serta tingginya kualitas produk kopi Jawa, para pelaku usaha Hindia Belanda tertarik untuk memperluas perkebunan kopi hingga menjelajah ke berbagai daerah. Salah satunya dengan didirikannya perusahaan Belanda Naamloze Vennootschap atau NV Kultuur Mij Karanganjar pada tahun 1847. Cultuurstelsel sendiri merupakan langkah ambisius Hindia Belanda, mewajibkan penanaman tanaman komoditas yang dibutuhkan, salah satunya tanaman kopi yang hanya menguntungkan pemerintah kolonial.
Perluasan budidaya tanaman kopi dengan cultuurstelsel telah berjalan selama puluhan tahun, hingga membawa Pulau Jawa menjadi pusat perdagangan kopi dunia pada saat itu. Namun, pada 1942, usaha perkebunan kopi milik korporasi Belanda berhenti. Hal ini disebabkan oleh kedatangan tentara Jepang yang terlibat dalam Perang Asia Timur Raya melawan negara-negara Eropa, termasuk Belanda, ke Indonesia. Dengan menebar propaganda, rakyat Indonesia pada saat itu menganggap Jepang sebagai “saudara tua” yang membantu mengusir penjajah. Jepang diterima dengan tangan terbuka, tetapi pada akhirnya juga menjajah Indonesia.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito berpidato dengan membacakan perintah kekaisaran untuk mengumumkan bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu. Dengan pernyataan kapitulasi Jepang, perang dunia II pun berakhir. Tentara Belanda memanfaatkan kondisi tersebut dengan membonceng tentara Sekutu datang ke Indonesia untuk mengembalikan hukum pemerintah kolonial.
Namun, upaya Belanda membangun kembali koloni tidak berhasil, dan akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia pada bulan Desember 1949. Beberapa tahun kemudian, penguasaan Belanda atas usaha komoditas perkebunan yang dikelola korporasi asing berakhir dengan pengambilalihan seluruh korporasi, termasuk penguasaan atas perkebunan-perkebunan yang dikembalikan kepada pemerintah Indonesia untuk dikelola. Salah satunya adalah perkebunan kopi Karanganyar yang berada di lereng Gunung Kelud dengan ketinggian kurang lebih 600 mdpl.
“Di sini tempat yang nyaman, selain suasananya yang masih asri, juga masih banyak pohon-pohon yang tegak berdiri. Destinasi wisata di sini masih alami, tidak hanya menunjukkan potensi sumber daya alam, tetapi juga terdapat warisan sejarah untuk mengingatkan generasi muda agar tidak lupa dengan sejarah bangsa,” ungkapnya.
Sambil menikmati kopi robusta bersama Harian Forum.com, Bagus Priyambodo berkesempatan berbincang santai dengan Wima Bramantya, pemilik sekaligus pengelola De Karanganjar Koffieplantage. Wima menyampaikan bahwa destinasi wisata perkebunan kopi dengan nuansa masa lampau ini bangkit kembali setelah melewati masa sulit menghadapi pandemi COVID-19. Budayawan yang juga seniman ini menuturkan bahwa saat ini banyak pengunjung De Karanganjar Koffieplantage yang datang dari luar kota, bahkan ada yang dari mancanegara.
Seusai berbincang-bincang, Bagus Priyambodo, seorang penyuka kopi robusta, menandaskan bahwa De Karanganjar Koffieplantage merupakan tempat yang konkret baginya. Selain area maupun bangunan yang masih melekat dengan masa lampau, dirinya merasakan bahwa wisata kebun kopi Karanganyar ramah lingkungan untuk semua usia.
“Yang saya sukai di tempat ini, bangunannya masih menyimpan arsitektur Belanda dan berdampingan dengan alam terbuka yang hijau. Sedangkan di dalam ruangan, suasananya juga menyenangkan karena hampir semua perabotan menggunakan material alami yang klasik dan artistik. Kalau kopinya, pasti!” tandas Bagus sembari mengacungkan jempolnya. (Ans.)