Serba-serbi

Menguak Kembali Kasus Sengketa Lahan Perkebunan Di Kaki Gunung Kawi

745
×

Menguak Kembali Kasus Sengketa Lahan Perkebunan Di Kaki Gunung Kawi

Sebarkan artikel ini
Widi Hadi Prasetyo.

Blitar, HarianForum.com- Bukan menolak untuk menceritakan peristiwa kelam adanya warga yang meregang nyawa serta beberapa warga lainnya terluka akibat hujaman peluru dari bedil aparat kepolisian yang mengendalikan aksi massa sengketa tanah lahan di perkebunan cengkeh Branggah Banaran, meskipun hingga sampai saat ini tragedi yang memilukan masih membekas dalam ingatannya.

Widi sapaan sehari harinya, pada saat itu merupakan aktivis Aliansi Mahasiswa Petani Blitar atau kepanjangan dari AMPIBI. Adanya insiden pada tahun 2000 di area perkebunan cengkeh wilayah kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, dirinya tidak berada di lokasi kejadian karena menghadiri pertemuan petani se Jawa Bali dan Madura di Semarang, Jawa Tengah.

Ditemui HarianForum.com, Widi Hadi Prasetyo menyempatkan waktunya di sela kesibukan selain sebagai pengrajin sangkar, juga peternak burung anggunan perkutut dan tekukur atau derkuku, menyampaikan kronologi dan apa yang mendasari terjadinya sengketa lahan di perkebunan cengkih Branggah Banaran.

Widi sepakat dengan pemikiran bahwa bergesernya rezim kekuasaan, melahirkan tuntutan tuntutan hak yang telah lama terpendam atas penguasaan tanah lahan yang banyak melenceng dari prosedur.

Petani yang gemar melakukan inovasi nutrisi tanaman ini, memberi contoh adanya beberapa warga yang tetap melakukan pembayaran pipil pajak, namun ternyata lahan haknya menjadi bagian hak guna usaha perkebunan.

Selain itu, menurutnya di lokasi lahan perkebunan terdapat pondasi bangunan dan pohon kelapa yang menjadi petunjuk sebelum digunakan areal lahan perkebunan, terdapat pemungkiman warga.

Dan perihal tersebut bisa disimpulkan, dirinya tidak menampik adanya dugaan instrumen kekuasaan telah menutup mata denga sengaja dan ikut bermain dalam konflik agraria, meskipun diperkirakan sadar bahwa suatu saat akan menjadi bom waktu adanya aksi reklaiming tanah, tidak terkecuali pada lahan lahan perkebunan di wilayah Kabupaten Blitar.

“Sebenarnya pada waktu itu ada penyelesaian secara damai dilakukan hearing dengan DPRD Kabupaten Blitar, di komisi A yang diketuai pak Endar Suparno (almarhum.red). Dan seingat saya lahan sengketa tersebut dibuat status quo, terus ditindaklanjuti pertemuan di perkebunan sendiri, akan tetapi mengalami kebuntuan atau tidak menemui kesepakatan. Sedangkan dalam mediasi yang dilakukan DPRD, tuntutan petani selain berdasar pipil pajak dan bukti sejarah adanya pemukiman juga berpedoman pada undang undang nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA serta SK nomor 49 tahun 1964,” jelasnya.

Disinggung tentang adanya tindakan aparat yang berujung meninggalnya 2 warga di areal perkebunan Branggah Banaran pada saat itu, alumni Fakultas Universitas Mataram ini mengungkapkan bahwa sebagian masyarakat terus melakukan upaya untuk mendapatkan tanahnya kembali, walaupun pihak perkebunan juga mempunyai pendirian tetap terus mengelola kembali tanah yang menjadi sengketa sesuai perpanjangan hak guna usaha. Setelah beberapa bulan tidak tercapai kesepakatan antara pihak masyarakat dengan pengelola perkebunan, terjadi perubahan cara aksi paguyuban petani yang lebih keras dalam memperjuangkan hak atas tanahnya.

“Selang beberapa bulan kedepan, terjadi perubahan struktur perjuangan di masyarakat terkait kepengurusan dimana dalam kepengurusan ada beberapa orang mengajak kelompok lain untuk bergabung. Namun metode yang digunakan dengan menunjukkan cara yang lebih keras, sehingga terjadinya tragedi seperti itu. Seingat saya setelah seminggu terjadinya peristiwa tersebut, saya sempat menemani Cak Munir dari Kontras dan teman teman dari YLBHI untuk investigasi, yang selanjutnya hasil temuan digunakan untuk kajian atau bedah hukum di hotel Herlingga,” ungkap Widi Hadi Prasetyo.

Setelah tenggelam selama 20 tahun lebih, aksi tuntutan dari warga serta pemerintahan desa Sidorejo, kecamatan Doko terulang kembali. Mengutip dari media online HarianForum.com tanggal 6 September 2022, bahwasanya pemerintahan desa yang didukung oleh Badan Perwakilan Desa atau BPD serta elemen warga desa tidak melakukan tuntutan redistribusi tanah.

Namun aksi menggunakan surat yang ditujukan untuk perkebunan cengkeh dengan tembusan surat ke beberapa institusi negara salah satunya kepada bupati Blitar, meminta kejelasan atas kewajiban semestinya kepada pihak perkebunan cengkeh dengan berdasarkan undang – undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan pada pasal 58, bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki ijin usaha perkebunan atau izin usaha perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

Selain itu warga desa serta pemdes Sidorejo juga menuntut kejelasan tindakan yang dilakukan perusahaan sebagai badan usaha sebagai rasa tanggung jawab untuk sosial maupun lingkungan sekitar atau dikenal dengan CSR yang telah diatur dalam regulasi melalui pasal 74 Undang undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.(Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *