Nganjuk, HarianForum.com- Menggunakan pupuk sintetik maupun pestisida kimia, merupakan salah satu pemicu biaya yang tinggi dalam proses produksi pertanian konvensional. Sedangkan penjualan hasil panennya, petani tidak bisa menentukan harga hasil panennya, karena posisi tawar petani menyerah dengan kekuatan rantai perdagangan bahan pangan.
Lemahnya petani pada daya tawar disebabkan pasar dengan suatu komoditas, hanya dikuasai oleh beberapa pedagang, atau bahkan dalam pasar tersebut telah terjadi monopoli. Pada umumnya petani menjual hasil pertanian secara konvensional melalui pedagang perantara dengan rantai pemasaran yang panjang. Petani tidak memiliki akses pasar langsung, namun harus melalui para tengkulak atau pedagang, sehingga hasil penjualan yang mereka dapat, lebih sedikit perolehannya dan tidak dapat menjadi pendukung kesejahteraan hidup bagi petani
Proses produksi pertanian organik, untuk pengeluaran biaya lebih rendah, karena pupuk maupun pestisida, diperoleh dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan sekutar. Saat ini petani sebijak mungkin, mengelola serta mengolah pertanian konvensional, yang masih mengandalkan pupuk maupun pestisida kimia dengan harapan bisa memperoleh hasil produksi yang dapar dirasakan.
Pelaksanaan sistem pertanian organik memerlukan keteguhan serta ketelatenan yang lebih besar daripada pertanian konvensional. Pertanian organik tidak bisa langsung menghasilkan produksi yang diukur dengan kwantitas, namun sistem pertanian organik membutuhkkan waktu yang lama agar dapat menghasilkan kualitas produk yang tinggi. Namun membangun budaya sistem pertanian organik yang ramah lingkungan, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Sementara pertanian konvensional lebih mudah dalam perawatan dan volume hasil produksinya lebih menarik.

Sebuah keharusan ada keinginan yang kuat, petani harus merubah sedikit demi sedikit disertai dengan pemaksaan dari diri sendiri, bertahun tahun hanya mengenal dan menggunakan pupuk kimia, mulai saat ini dalam bertani secara bertahap harus dipaksakan menggunakan pupuk maupun pestisida dengan bahan – bahan organik yang terdapat dilingkungan sekitar, dengan orientasi dapat mengurangi kecanduan petani terhadap bahan kimiawi.
“Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia sintetis masih cukup tinggi, karena petani telah terbiasa dapat melihat secara langsung hasil panennya bila menggunakan pupuk sintetis. Sebenarnya pertanian bukan hanya persoalan berapa banyak yang dihasilkan, tetapi kualitas dari hasil panen juga harus menjadi keinginan, dan berfikir tentang dampak lingkungan,” ungkap H Ahmad Syaikhu, petani penggerak budidaya tanaman dengan praktik budaya pertanian organik kepada HarianForum.com (20/01).
Dituturkan petani warga desa Betet, kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, bahwa lahan pertanian yang menggunakan pupuk kimia, akan mengalami degradasi tanah. Kadar bahan organik rendah hara tanah tidak seimbang, sehingga membuat tanah menjadi asam, dan teksturnya cenderung menjadi lebih keras dan tidak gembur.
Kondisi tersebut menyebabkan mikro organisme di dalam tanah terganggu dalam beraktivitas. Penggunaan pupuk sistetis secara berlebih juga memicu racun bagi tanaman, karena magnesium serta kalsium yang berlebihan dalam tanah membuat kondisi pH tanah menjadi terlalu basa, mengakibatkan hilangnya beberapa unsur hara yang tersedia untuk tanaman dan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga terjadi penurunan produktivitas pada tanaman.

Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya atau P4S Jawa Timur, juga menambahkan bahwa selain penurunan kualitas hasil produksi dengan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan berdampak pada rusaknya lingkungan pertanian, hama dan penyakit tanaman semakin sulit dikendalikan.
“Dengan konsep low external input sustainable agriculture atau LEISA, penerapan menggunakan pupuk organik dengan kearifan lokal, sebagai pilihan untuk pemulihan kesehatan lahan, yang memanfaatkan jerami atau kompos jerami untuk meningkatkan bahan organnik. Karena dengan memanfaatkan kompos, kultur pertanian akan kembali ke bahan-bahan organik, yang mampu
memperbaiki struktur jaringan pada tanaman. Sedangkan tanaman yang diberi kompos tidak lagi perlu disemprot pestisida, karena hama tidak tertarik untuk memangsanya,” terang Ahmad Syaikhu
Penerima Anugerah Ilmu Pengetahuan Tehnologi atau Iptek untuk kreativitas dan inovasi masyarakat dalam bidang teknologi pembuat pupuk dan pestisida hayati tahun 2012, menambahkan bahwa limbah kotoran hewan ternak baik jenis unggas atau mamalia sangat tepat di manfaatkan sebagai pupuk kandang.
“Hasil fermentasi limbah kotoran padat hewan ternak, mengandung unsur hara lengkap dengan apa yang dibutuhkan oleh tanaman sebagai pendukung pertumbuhan. Pupuk kandang disamping mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium pada unsur hara makronya, pupuk kandang juga memiliki kandungan dalam unsur mikro seperti kalsium, magnesium, dan sulfur,” tambahnya. (Ans)