Serba-serbi

Meminimalisir Persoalan Sampah, PKM Faperta Universitas Brawijaya Lakukan Pendampingan

697
×

Meminimalisir Persoalan Sampah, PKM Faperta Universitas Brawijaya Lakukan Pendampingan

Sebarkan artikel ini

Malang, HarianForum.com – Permasalahan sampah saat ini tidak hanya ditemui pada kawasan perkotaan, namun sisa material dari aktivitas manusia pada setiap harinya juga terlihat di daerah pedesaan, bahkan nampak di sepanjang aliran sungai.

Ditengarai selain bertambahnya jumlah penduduk, limbah industri,serta bergesernya gaya hidup masyarakat pada penggunaan kemasan produk sekali pakai yang terbuat dari bahan yang sulit terurai secara berlebihan, menyebabkan volume sampah semakin besar.

Tidak terkendalinya pengelolaan sampah, memicu persoalan dan menjadi ancaman bagi lingkungan dengan tercemarnya tanah, air maupun udara terutama berdampak timbulnya gangguan bagi kesehatan.

Menyikapi masalah yang terjadi, Program Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang dengan ketua Prof. Dr. Ir. Keppi Sukesi, MS dan beranggotakan Yusuf Mahardika Nurin, SP dan Elok Anggraini, SP., M.Si, melakukan upaya Pendampingan Perempuan Tani di Desa Tulungrejo, Kota Batu Melalui Pembuatan Pupuk Organik Limbah Rumah Tangga.

Dikemukakan Prof. Dr. Ir. Keppi Sukesi, MS, dengan menilik data yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tahun 2021, kota Batu telah tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 220.571 jiwa pada Januari 2021.Sedangkan merujuk dari Kajian Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu, tahun 2019 terdapat timbulan sampah per hari dari setiap orang seberat0,35 kg.

Profesor Keppi Sukesi menyampaikan, bila dihitung berat sampah pada setiap orang per harinya, maka jumlah yang diperoleh mencapai 77 ton. Sementara tempat pemrosesan akhir atau TPA sampah yang dimiliki di kota Batu dengan luas lahan 6,4 hektar berlokadi di desa Tlekung, kecamatan Junrejo, kota Batu yang beroperasi mulai bulan Juli 2009 dengan estimasi usia mencapai 6 tahun operasional.

“Keberadaaan limbah yang belum dapat didaur ulang menjadi permasalahan utama bagi pemerintah kota Batu. Keberadaan limbah juga menjadi salah satu penyebab sungai berubah menjadi kotor dan berpengaruh kepada kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil pantauan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Batu yang menyebutkan bahwa produksi limbah tertinggi berasal dari limbah rumah tangga, hingga kini budaya masyarakat dalam membuang limbah sembarang masih menjadi faktor penghambat pengelolaan limbah,” ungkap Prof Keppi Sukesi kepada HarianForum.com.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dari pengamatan, desa Tulungrejo, Kota Batu merupakan salah satu lokasi yang menghadapi persoalan pengelolaan sampah rumah tangga. Sebagian besar masyarakat masih menganggap sampah rumah tangga sudah tidak dapat digunakan. Sehingga diperlukan upaya pemanfaatan dengan mengelola dan mengolah sampah organik secara mandiri di rumah.

Pada umumnya, sampah rumah tangga diantaranya sisa sayuran, bumbu dapur, sisa makanan atau minuman dan lain sebagainya proses pembusukannya berlangsung dengan cepat. Pengomposan merupakan salah satu metode pengolahan sampah organik yang ideal sebagai solusi tidak hanya mengurangi namun tindakan tersebut mengubah komposisi sampah menjadi produk yang bermanfaat dan tepat guna, dijelaskan Yusuf Mahardika Nurin, SP salah satu anggota Program Pengabdian Kepada Masyarakat, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.

Menambah penjelasannya, Yusuf Mahardika menyampaikan dalam proses pembuatan kompos yang dilakukan, jenis limbah rumah tangga yang diguanakan berasal dari sisa sayuran, kulit buah serta sampah dedaunan sebagai sumber nitrogen. Selain itu sampah kering berupa kertas, kardus daun kering dan tisu digunakan sebagai sumber karbon.

Menurutnya, sumber karbon dan nitrogen selanjutnya akan diurai oleh decomposer menjadi pupuk kompos. Sedangkan waktu yang dibutuhkan dari awal proses dari mulai persiapan hingga pupuk kompos siap digunakan diperkirakan Yusuf Mahardika membutuhkan waktu kurang dari 4 minggu. Tetapi lanjut Yusuf persoalan waktu juga tergantung dengan kapasitas pupuk yang akan dibuat.

“Sampah organik rumah tangga yang telah dikumpulkan kemudian dicacah hingga menjadi berukuran kecil. Semakin kecil partikel cacahan sampah, semakin cepat pengomposan berlangsung. Selanjutnya, ditambahkan kompos yang sudah jadi, tanah, pupuk kandang sebagai inokulan. Bahan – bahan tersebut kemudian dicampurkan secara merata dengan larutan aktivator EM 4 hingga mencapai konsistensi yang tidak terlalu kering,” jelasnya.

“Bahan yang telah tercampur rata kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat dan di diamkan selama 4 minggu. Setiap 4 hari sekali, bahan diaduk agar aerasi atau aliran udara dalam wadah berlangsung dengan baik. Selama proses pengomposan, suhu dalam wadah akan naik. Ini menandakan bahwa mikroorganisme sedang bekerja. Setelah 4 minggu, pengomposan selesai, ditandai dengan suhu dalam wadah yang menjadi normal kembali. Pada tahap ini, kompos siap digunakan,” imbuhnya.

Pada waktu dan tempat yang sama, Elok Anggraini, SP., M.Si menuturkan kegiatan pengelolaan sampah memiliki tujuan mengurangi limbah rumah tangga yang berada di lingkungan desa, dan apabila dapat diproduksi dalam sekala besar atau secara massal, mampu memiliki nilai tambahan.

Elok Anggraini mengharapkan produk kompos dapat menjadi alternatif bagi para masyarakat desa untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan pupuk buatan pabrik yang sudah sering digunakan oleh masyarakat desa.

Selain itu dalam pemikirannya, pengelolaan sampah secara mandiri dapat digunakan sebagai pupuk cair maupun pupuk padat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun untuk diperjual belikan.

“Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pendampingan pembuatan pupuk organik dan pengelolaan limbah masyarakat, maka masyarakat mulai memiliki kesadaran untuk mulai menjaga lingkungannya. Masyarakat berperan aktif dengan mulai berbagi ide, gagasan dan keputusan demi mewujudkan kesejahteraan hidup dilingkungannya. Diharapkan masyarakat dapat secara mandiri dan mulai menerapkan pengelolaan sampah dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle atau 3R,” tutur Elok Anggraini. (Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *