Tuban, HarianForum.com- Siang baru saja bergulir meninggalkan serpihan panas yang terjal, namun bumi ranggalawe ini seakan telah akrab dengan tropis kemarau.
Diatas aliran sungai kecil yang disulap seperti pondok panjang dan beratap rumbia, sejuk memang,disitulah Darno, pria 34 tahun itu bertaruh hidup dengan berjualan toak.
Perjalanan hidupnya saat melakoni sebagai bakul toak terbilang cukup panjang meski usianya tergolong masih muda, sempat berpindah dari titik satu ke lainya semakin membuatnya jatuh cinta atas profesi yang diyakininya sebagai warisan leluhurnya.
“Hampir 17 tahun berjualan toak ini mas,artinya separuh dari hidup saya,semua mengalir begitu saja, ” ujar Darno saat ditemui dilapaknya, Jumat (24/07).
Darno, laki-laki kelahiran desa Boto kecamatan Semanding ini memang dilahirkan dari keluarga pembuat toak, mulai dari kakek, hingga ayah dan dirinya tetap konsisten dalam budaya cosmologi toak.
Dia mengaku sempat berpindah tempat untuk menyesuaikan keadaan dimana menurutnya dalam berjualan tidak boleh merugikan kepentingan umum, “Berpindah hampir 7 kali, saya tidak boleh merugikan orang lain saat jualan, apalagi untuk umum, lebih baik minggir dan cari tempat yang aman,” imbuh Darno.
Rasanya bila kita bicara Tuban maka tak bisa mungkir dari toak, minuman yang dihasilkan dari pohon bogor ini legenda yang tak luntur diterpa gerusan tehnologi dan industri yang kian menggelinjang, toak tetap bertahan dengan aroma khasnya, meski bila diminum dengan skala berlebihan bisa memabukan, bahkan diyakini minuman tersebut mampu menghancurkan batu ginjal, hal ini serasa klop sebab tekstur tanah Tuban yang didominasi bebatuan cadas tentunya menghasilkan kadar air yang berkapur tinggi. entahlah..
Darno adalah satu diantara ribuan orang Tuban yang menggantungkan asa dan hidupnya dari toak, sebuah butiran budaya unik tentunya, meskipun sebagian orang memandang dengan mireng toak minuman murahan dari kasta sudra, tak apalah.
Bercengkrama panjang dan mendengar celoteh para peminum dari berbagai kalangan rakyat rasanya begitu syahdu, tak serasa mentari telah semakin tergelincir kebarat, sepoi angin sore itu dan hamparan sawah dijalan Merakurak-jenu menambah bumbu sedap perjamuan centak yang berjejer rapi, satu demi satu pelanggan Kang Darno datang, dan akupun beringsut pergi, “Hati-hati lho mas,” pesanya dengan suara khasnya yang lantang.(tbn01)