Blitar, Harian Forum.com – Berbeda, Cina atau Tiongkok merupakan negara yang terletak di Asia Timur saat ini memiliki jumlah penduduk kurang lebih 1,4 milyar jiwa, dahulunya merupakan negara yang
miskin. Namun sekarang berubah total dan tampil menjadi negara super power ke 3 setelah Amerika Serikat dan Rusia. Pada saat itu, dengan jumlah penduduk yang berjumlah 1 miliar, bagi China bukan sesuatu yang gampang bagi pemerintah untuk dapat memberikan kesejahteraan rakyatnya, untuk mempertahankan integrasi negara dan eksistensi rakyatnya, China menjalin hubungan dengan negara Uni Soviet yang berubah dengan nama Rusia, merupakan negara yang memberi hutang luar negerinya kepada China.
Tidak jelas permasalahannya, disaat terjadi perselisihan antara Mao Zedong dengan pemimpin Sovyet, berujung keluarnya pernyataan dari pemimpin Soviet “sampai rakyat China harus berbagi satu celana dalam untuk dua orang, China tetap tidak akan mampu membayar hutang,”. Mao, pemimpin China punya harga diri, ucapan yang terlontar telah menyinggung perasaan rakyat China, akhirnya disampaikan Mao kepada rakyatnya melalui siaran radio.Salah satu tokoh dunia dikenal ahli strategi militer, Mao seorang pendukung nasionalisme China dan memiliki pandangan anti – imperialis, mengajak rakyatnya bangkit dan melawan hinaan Soviet dengan menyisihkan satu butir beras bagi anggota keluarga setiap kali mereka akan memasak.
Satu miliar beras yang disisihkan setiap hari dari penduduk Cina, hasilnya dikumpulkan ke pemerintah untuk dijual, dan uang hasil penjualan tidak dikorupsi, digunakan untuk membayar hutang kepada Soviet yang telah menghina mereka. Dengan revolusi mengumpulkan satu butir beras, akhirnya China berhasil melunasi hutang mereka ke Soviet dalam waktu yang cepat. Ajakan dan seruan Mao kepada rakyat China merespon hinaan tersebut bukan hanya dengan menebar teori di panggung publik meskipun dirinya dikenal ahli teori, akan tetapi dengan gerakan nyata, Mao memicu bangkitnya semangat nasionalisme.
Mengutip tulisan Rosseno Aji Noegroho, jurnalis CNBC Indonesia (4/7), bahwasanya Bappenas mencatat Indonesia menempati urutan pertama negara-negara di ASEAN untuk urusan membuang makanan. Jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 20,94 juta ton pada tahun 2021. Jumlah makanan sisa di Indonesia sangat tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Filipina yang berada di urutan kedua tercatat memproduksi sampah makanan berjumlah 9,33 juta ton per tahun. Sementara Vietnam yang ada di urutan ketiga ‘hanya’ memproduksi sampah makanan 7,35 juta ton per tahunnya. Thailand berada di urutan ke-4 dengan jumlah sampah makanan 5,48 juta ton. Sedangkan negara Asean yang paling sedikit membuang makanan adalah Brunei Darussalam dengan 34 ribu ton per tahun.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat kegiatan impor beras ke Indonesia pada periode Januari – Mei tahun 2024, jumlah impor mencapai 2,2 juta ton berasal dari Thailand, Vietnam, Pakistan, India, serta Kamboja, sebuah ironi tapi tetap diabaikan. Dua kenyataan tidak selaras bahkan berbalik, yang mana negara terus mendatangkan bahan pangan beras dari negara-negara eksportir beras untuk memenuhi kebutuhan warganya, namun sebaliknya sebanyak 551 triliun rupiah dalam setiap tahunnya dibuang dengan sampah makanan (food loss).
Sedangkan untuk mencapai swasembada pangan bukan pekerjaan mudah, dengan masih samarnya kearifan atas kebijakan-kebijakan dalam mendukung swasembada dikarenakan terus berjalannya konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian. Selain itu perubahan iklim yang ekstrem menjadi ancaman serius bagi peningkatan produksi tanaman pangan, penanggulangan krisis generasi penerus petani pangan yang belum terlihat membuahkan hasil yang signifikan. Ditambah perilaku korupsi anggaran serta tindakan konspirasi yang masih menggurita dan bergerak leluasa di institusi yang mempunyai relevansi dengan pertanian, sangat merugikan para petani.
Disampaikan dalam perbincangan dengan beberapa pelaku pertanian pada pengenalan produk pembenah tanah dan nutrisi mikro tanah BENSAE, sebuah jawaban dampak dari revolusi hijau tahun 1986 yang merusak agro ekosistem dan terdegradasinya unsur hara dalam tanah, dampak penggunaan pupuk dan pestisida kimia berlebih menjadikan pertumbuhan dan reproduksi terganggu hingga perlunya menambah kandungan mikrobiologi dalan tanah dengan penambahan senyawa humic acid juga diharapkan mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia dalam tanah, sehingga cita – cita swasembada pangan dapat terwujud.
Menyinggung pakta integritas Menteri Pertanian Kabinet Merah Putih, Amran Sulaiman yang berkomitmen untuk para aparatur di Kementerian Pertanian bekerja dengan jujur, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik dan juga tidak segan mengambil tindakan tegas terhadap segala bentuk penyalahgunaan kewewenangan serta praktik percaloan proyek, menjadi sebuah asa bagi pelaku pertanian salah satunya Choirul Anam, seorang petani yang berdomisili dan mempunyai lahan pertanian di desa Gogodeso, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar.
“Berita adanya dugaan korupsi maupun suap di kementrian pertanian setidaknya kita bisa menangkap informasi dan menafsirkan bahwa di kementrian tersebut rawan dengan korupsi dengan proyek pengadaan barang dan jasa.Saya angkat topi kalau pakta integritas pak menteri dijalankan dengan tindakan nyata baik kebijakan dan pelaksanaan program serta penataan aparatur di institusinya jauh dari korupsi dan konspirasi, ini sebuah gebrakan baru dan menjadi harapan bagi petani,” tuturnya
Choirul menyampaikan pendapatnya, menjadi komitmen pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menjamin penyediaan serta kemudahan tercukupinya kebutuhan pangan bagi masyarakat, akan tetapi tidak melupakan kesejahteraan bagi petani. Menurutnya program pelatihan dan pendampingan tehnologi pertanian yang efisien dan produktif salah satunya dengan memberikan bantuan kepada petani kemampuan mengadopsi teknologi modern dan selalu memperkenalkan teknologi baru.
“Agar dapatnya tercapai swasembada pangan, pemerintah harus hadir menjaring persoalan yang dihadapi petani. Salah satunya persoalan yang kita hadapi terjadinya perubahan iklim yang ekstrim dimana pada musim kemarau terjadi kekeringan yang cukup panjang, sedangkan saat ini di musim hujan terjadi banjir. Pemerintah disini bisa memberikan pelatihan mitigasi bencana secara konkrit. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus mampu melakukan pengembangan varietas tanaman pertanian yang tahan terhadap serangan hama penyakit tanaman dan aktif menyediakan informasi serta melakukan pendampingan tehnis bagi petani dalam pengendalian serta sosialisasi secara masiv tehnologi penyuburan tanah terhadap lahan pertanian dengan aplikasi bahan-bahan organik,” pungkas Choirul Anam sembari menandaskan untuk persoalan – persoalan lainnya akan disampaikan pada pertemuan mendatang.(Ans)