HarianForum.com- BERHASIL atau gagalnya usaha menyejahterakan masyarakat bisa dipantau dengan ketinggian nilai dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Ekonom Joseph E Stiglitz menyatakan untuk mengukur suatu negara yang mampu menyejahterakan masyaraktnya bisa dilihat dari capaian tingkatan IPM.
IPM memang bukan satu-satunya untuk mengukur kesejahteraan masyarakat. Tapi ada pendapatan nasional dengan tiga pendekatan yakni produksi, income dan pengeluaran pemerintah.
IPM merupakan indikator sosial, salah satu alternatif untuk memotret kesejahteraan penduduk di suatu wilayah. Stiglitz ekonom dari Draduate School of Business di Columbia University, New York (USA) pun mempercayai jika IPM menjadi tolok ukur tingkatan kesejahteraan.
Oleh karena itu, banyak pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, seperti di Indonesia sakalipun mengeluarkan anggaran yang besar untuk memberi bantuan peningkatan kualitas sumber dayanya. Bahkan Bupati Nganjuk, Novi Rahman Hidayat dalam kegiatan penyerahan bantuan operasional bagi lembaga penyelenggara pendidikan diniyah dan guru swsata pada November lalu menegaskan, bahwa guru adalah instrumen penting keberhasilan pembangunan pendidikan.
Guru yang berkualitas menjadi pendorong pembangunan di sektor pendidikan yang maju. Kemajuan ini dilihat dengan mutu lulusan yang juga berkualitas mutu pendidikan yang berkelas.
Secara tidak langsung dengan pernyataan itu, Bupati Novi yang berlatar pengusaha itu, mendukung pernyataan Stiglitz tentang kedudukan IPM sebagai indikator pembangunan suatu wilayah. Wajar kiranya jika pemerintahan di bawah kepemimpinannya memperhatikan kehidupan guru melalui skim bantuan yang dialokasikannya bersumber dari APBD Kabupaten Nganjuk.
IPM mulai popular sebagai indikator kesejahteraan masyarakat pada tahun 90-an. Pertama kali diperkenal oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990. IPM merupakan angka-angka yang dihitung dengan model rasio dengan kalkulasi kuantitatif dengan dimensi (1) kesehatan yang diukur angka harapan hidup, (2) standar hidup layak yang dihitung dari produk nasional brutto per kapita, dan (3) pendidikan yang dihitung dari harapan dan lama sekolah.
Data dilansir dari BPS Kabupaten Nganjuk menunjukkan IPM Kabupaten Nganjuk masuk dalam kategori tinggi yakni, di level 71,23 (2018), 71,71(2019) 71,72(2020). Mengkritisi angka itu, bahwa duet Novi dan Marhaen mampu menunjukkan kinerja yang baik meskipun tidak membukukan kenaikan yang drastis selama tiga tahun memimpin Nganjuk.
Namun pada tahun pertama memimpin Nganjuk menjadi pasangan ini mampu mendapatkan duet maut karena mampu membukukan angka 71,00 menjadi intersep (titik pangkal) pembangunan manusia. Angka IPM sebesar itu tergolong angka yang tinggi Jika dibandingkan dengan capaian hasil pembangunan IPM pemerintah sebelumnya 70,69 (2017) terjadi peningkatan indeks 0,54 poin. Kenaikan angka tidak besar tapi sangat mengesankan.
Gayung bersambut di gedung Dewan, kabar terkini di Badan Legestif saat ini tengah menyusun peraturan daerah baru, yang keberadaan akan menyempurnakan Perda No 10 tahun 2019 tentang Fasilitas Pendidikan Diniyah Non Formal dan Pondok Pesantren.
Rencananya Perda yang baru nantinya memfokuskan pada besaran stimulan yang akan diberikan kepada pengelola lembaga Madarasah Diniyah Non Formal dan Pondok Pesantren. Fokus anggaran dana stimulan diperuntukkan bagi pendidik dan ustad di pesantren.
Andaikan jika perda itu benar-benar teraealisasi akan menjadi energi baru bagi pemerintah Nganjuk. Asalnya bantuan operasional nanti didukung dengan petunjuk teknis yang mengarah pada peningkatan profesi para pengaajar di diniyah dan pesantren. Bukan untuk meningkatkan power parity purchasing (daya beli).
Artinya bantuan dikucurkan bukan sebagai tambahan belanja kebutuhan rumah tangganya namun untuk mendanai jasa pendidikan lanjut yang diperlukan guru dalam peningkatan penguasaan keilmuan dan kemampuan dalam manajerial.
Oleh karena itu, badan legislatif di dalam Perda itu juga disertakan peruntukannya secara jelas. Dengan demikian cita-cita penerbitan undang-undang peraturan daerah benar-benar menjadi energi yang diperlukan bagi guru sebagai instrumen kesejahteraan.
Ditulis oleh Rony KurniawanÂ