Blitar, HarianForum.com – Hampir setiap malam menikmati segelas kopi di sebuah warung kecil yang tidak jauh dari lokasi sumber air. Bersama kawan-kawan penggiat lingkungan Paguyuban Jogo Tirto Sendang Mbah Bawuk, terkadang hanya sekadar membuka forum obrolan bebas bertema acak, mulai sejarah kerajaan, perjuangan kemerdekaan, reformasi, konstitusi, dan korupsi, hingga menyentil proses politik dan kebijakan yang dilakukan wali kota sampai presiden serta menilai peran wakil rakyat. Namun begitu, bersama kawan-kawan, tidak jarang berdiskusi hingga dini hari bahkan menjelang subuh membahas aktivitas merawat area sumber air, juga penyampaian gagasan terciptanya kemanfaatan yang bisa dinikmati oleh lingkungan sekitar dan masyarakat secara luas.
Dalam obrolan, saya bercerita kepada kawan-kawan paguyuban penggiat lingkungan tentang mata air Mbah Bawuk 40 tahun yang lalu, yang mana saya masih bisa mengingat mbelik berada di Dukuh Plosotengah, merupakan mata air yang cukup luas dengan rimbunan tumbuhan liar di sekitarnya. Mbelik tersebut biasanya digunakan warga sekitar untuk mandi, mencuci pakaian, dan anak-anak termasuk saya pada saat itu bermain air sembari ciblon (menepak telapak tangan di permukaan air yang menimbulkan suara cukup unik).
Di atas mata air terdapat sebuah pusara atau makam yang dinaungi pohon besar. Di dekatnya tumbuh berdiri pohon bunga kamboja, di mana pada saat ini banyak yang masih memandang bahwa bunga kamboja merupakan simbol mistis. Selain pohon kamboja, di sebelah makam Mbah Bawuk terdapat pohon jambu mete dan di area makam terpagar rapi dengan tanaman beluntas dan tanaman puring yang dipercaya menjaga keseimbangan spiritual dan penghormatan.
Cerita dari warga sekitar yang saya dengar dan saya ingat dari dulu, Mbah Bawuk merupakan cikal bakal babat alas atau orang pertama yang membuka Dusun Plosotengah, Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar. Mbah Bawuk juga dipercayai sebagai dhanyang, roh yang tidak mengganggu melainkan melindungi desa, menetap di dekat sumber air yang biasa dikenal sebagai Punden Mbah Bawuk.
Menyikapi adanya fenomena tentang upaya mengungkapkan sejarah Mbah Bawuk, bagi saya bijaksananya tidak perlu mengutak-atik dengan argumentasi yang melebar dan tidak mempunyai akurasi secara ilmiah. Bahkan tidak ada kemanfaatan bila dijadikan tema perdebatan, karena sampai saat ini tidak pernah ditemukan naskah maupun dokumen tertulis. Juga tidak pernah ditemukan peninggalan kebudayaan berupa peralatan buatan manusia 300 hingga 500 tahun lalu yang dapat digunakan sebagai petunjuk asal-usul Mbah Bawuk, meskipun hal tersebut merupakan hak kebebasan menyampaikan pemikiran. Bagi saya, Mbah Bawuk seorang pendahulu atau leluhur.
Nama “Bawuk” dalam bahasa Jawa baru, hampir semua memersepsikan sesuatu yang mempunyai arti yang tidak lazim disampaikan dan diterima oleh masyarakat dalam komunikasi secara terbuka. Sapaan “Wuk”, panggilan singkat Bawuk, di masyarakat Jawa dahulu biasa dipergunakan untuk menyapa anak perempuan. Sementara panggilan anak laki-laki dengan sebutan “Cung”, panggilan singkat dari Kuncung. Sapaan Bawuk dan Kuncung dulu biasa saya dengar, namun tidak tahu kapan bergesernya sapaan anak perempuan digantikan panggilan “Nduk”, sapaan singkat Genduk, dan “Le”, sapaan singkat Thole bagi anak laki-laki.
Saya sampaikan kepada kawan-kawan penggiat pelestari sumber air Mbah Bawuk, dengan ide-ide yang disampaikan dalam diskusi, tidak hanya sebatas menarik pengunjung untuk menikmati suasana alam yang asri dan bermain air pada pagi hingga sore hari. Diupayakan tidak hanya warga Kota Blitar yang tertarik, akan tetapi dari manapun datangnya pengunjung bisa menggunakan tempat ini sebagai lokasi kegiatan di ruang terbuka hijau. Sedangkan untuk malam hari, dalam suasana sepi dengan iringan gemericik air yang jatuh dari pancuran serta suara beberapa binatang kecil malam yang bergantian bersenandung, bisa dimanfaatkan menjadi wahana kegiatan-kegiatan yang membutuhkan keheningan jauh dari suara hiruk pikuk.
Keadaan yang ada harus diterima oleh para penggiat lingkungan Paguyuban Jogo Tirto Sendang Mbah Bawuk, relawan yang bersedia membagi dan meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga bahkan dananya, karena panggilan hati untuk menjaga kearifan lokal. Diakui kawan-kawan penggiat, masih banyak yang dibutuhkan dengan minimnya fasilitas penerangan untuk malam hari, juga toilet yang belum tersedia. Mengharapkan bantuan dari pemerintah tentunya tidak bisa cepat dan harus melalui mekanisme birokrasi yang sulit.
Sedangkan dari uluran simpatik pengunjung melalui kotak yang terpasang, donasi yang diperoleh hanya cukup digunakan membeli alat-alat kebersihan. Namun begitu, masih ada satu warga sekitar yang tinggal di Ibu Kota, telah menyumbang 8 ribu benih ikan untuk dibudidayakan dan neon box bertuliskan “Sendang Mbah Bawuk”, dan ini menjadi penyemangat kawan-kawan menjaga dan merawat mbelik atau mata air Mbah Bawuk. (*)
Anis Widodo – Wartawan HarianForum.com