Bogor, Harian Forum.com- Dianggap belum makan, jika belum makan nasi, ungkapan yang sering terdengar dari sekitar tentang nasi yang hampir menjadi keniscayaan untuk konsumsi setiap harinya. Mindset kebiasaan masyarakat bahwa makan harus dengan nasi, tentu memiliki dampak kebutuhan beras yang semakin tinggi, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Penanaman pada saat ini, padi tidak lagi dilakukan dua kali dalam setahunnya, namun dilakukan tiga kali sepanjang tahunnya, sebagai usaha untuk mencukupi kebutuhan pangan. Panen selalu diharapkan, harga panen juga diinginkan oleh petani padi, namun kegagalan panen juga terus mengincar.
Adanya hama serta penyakit yang sering menyerang pada tanaman padi, harus dilakukan tindakan pencegahan atau pengendalian. Penggerek padi, burung, tikus, walang sangit, merupakan hama yang cukup sering melakukan agresi pada tanaman. Sedangkan penyakit bercak bakteri, busuk batang, blast, kerdil hampa, hawar daun, hawar pelepah, bercak cokelat, kerdil hampa, dan kerdil rumput sering menyerang tanaman padi. Namun banjir dan kemarau, juga sangat berpotensi menyebabkan penurunan hasil produksi, bahkan kegagalan panen.
Dr. Ir. Suryo Wiyono M.Sc.Agr, wakil dekan fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor, menuturkan bahwa dengan jumlah penduduk yang besar, lebih kurang dari 270 juta sedang menghadapi tantangan dalam penyediaan pangan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri dan berdaulat merupakan keharusan sebagai jalan tercapainya kedaulatan pangan.
“Produksi pangan perlu terus ditingkatkan dengan keterbatasan yang ada mulai dari lahan yang berkurang dan terus menurun kesuburannya, rusaknya kualitas ekosistem pertanian, SDM pertanian yang rendah, sampai inovasi teknologi yang juga masih terbatas dan tata pasar yang belum berkeadilan. Mengandalkan pangan pada produk pertanian negara lain tentu saja sangat membahayakan negara dan bangsa,” tutur Dr. Suryo Wiyono kepada HarianForum.com
Ketua umum Gerakan Petani Nusantara Indonesia atau GPN Indonesia, Dr. Suryo Wiyono menambahkan penjelasannya tentang kondisi ketergantungan pada produk pertanian negara lain akan memperdalam ketergantungan dan berbahaya bagi kedaulatan bangsa. Kondisi yang ada dapat dilihat pada persoalan atau kasus beras, merupakan bahan pokok untuk pangan bagi masyarakat Indonesia dan merupakan produk yang volatile di pasar internasional sedangkan ketersediaan di pasar Internasioanl cukup tipis.
“Contoh pada saat pandemi Covid – 19 , pada saat ini baik Thailand, India dan Vietnam telah menghentikan ekspor berasnya. Jika sepenuhnya kita tergantung pada negara-negara tersebut maka akan menyebabkan munculnya berbagai dampak yang mengancam stabilitas negara. Oleh karena itu, penting untuk tetap dan terus meningkatkan produksi pertanian dalam negeri. Disinilah diperlukan pengembangan ilmu pengetahuan teknologi untuk mencapai produktivitas yang tinggi pada lahan marginal, berdasarkan pendekatan terpadu dari berbagai aspek yaitu genetik, manajemen lahan, pengendalian OPT, penataan lanskap pertanian, mikrobiologis dan juga ekologis. Kualitas SDM pertanian yang Rendah Produktivitas disektor pertanian yang rendah sangat berkaitan dengan rendahnya SDM pertanian di Indonesia,” jelasnya.
Dr. Suryo Wiyono mengungkapkan ,data BPS tahun 2013 menunjukkan 74,1% petani hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau SD. Rendahnya sumber daya manusia berkaitan dengan capacity to respond terhadap technologi dan juga adaptasi terhadap lingkungan yang berubah. Keadaan ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pertanian.
Perkembangan IPTEK Global dalam Era Industri 4.0 Hadirnya revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan adanya kemajuan teknologi Al (Artificial Intelegence), ICT (Information Communication Technology), IOT (Internet of Things), Biotechnology, dan Driverless Vehicles membawa implikasi pada dunia pertanian.
Revolusi industri 4.0 memberikan peluang bagi pembangunan pertanian yang lebih efektif dan efisien. Dengan demikian akan dihasilkan produksi yang meningkat dan berkelanjutan. Karenanya, dibutuhkan respon yang positif dari dunia pertanian terutama SDM.
“Perubahan multidimensi di tingkat nasional maupun global, yang terjadi dan juga dihadapi oleh petani dengan adanya perubahan iklim, perubahan pasar, dan juga perubahan sosial politik. Dampak berbagai perubahan tersebut sudah mulai kita rasakan seperti perubahan iklim sudah mulai kita rasakan yaitu meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, kekeringan, serta peningkatan serangan dan masuknya hama dan penyakit baru,” ungkap pakar proteksi dan penyakit tanaman Institut Pertanian Bogor atau IPB.
Lebih lanjut, dirinya mengatakan, Di sisi lain pasar pertanian juga berubah, makin derasnya pedagangan antar negara, dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang kesemuanya menuntut produk pertanian yang bermutu yang diproduksi dengan cara cara ramah lingkungan.Menghadapi berbagai masalah tersebut maka petani Indonesia harus menjadi petani yang tangguh, mempunyai kapasitas respon yang cukup terhadap teknologi, dan mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan baik perubahan biofisik maupun sosial ekonomi. Sebagai gambaran, masyarakat baik nasional maupun global menginginkan produk pertanian yang bagus, tidak mempunyai residu pestisida. Bahkan pada periode terakhir, petani juga harus melek dengan dunia digital dan berbagai program aplikasi computer.
Melontarkan pemikiran “Jalan Utama Menuju Petani yang Maju dan Mampu Menjalani Zaman yang Berubah”, dan menyentil mengapa sekolah lapang petani yang mempunyai kapasitas demikian hanya mungkin di hasilkan oleh pendidikan petani yang berupa sekolah lapang. Doctor Plant Pathology and Plant Protection, Universitas Georg August Göttingen Jerman ini memberikan pemaparan bahwa adanya sekolah lapang pertama kali dilakukan dalam sekolah lapang pengendalian hama terpadu atau SLPHT, di Indonesia dimulai pada tahun 1989.
Menurutnya hingga saat ini alumni berbagai sekolah lapang, diperkirakan 1 juta orang. Sekolah lapang mempunyai tiga prinsip utama, pendidikan orang dewasa, belajar di lapangan, pembelajaran satu musim tanam. Dalam pendidikan orang dewasa menekankan petani menemukan sendiri, learning by doing atau penerapan ngelmu kalakone kanthi laku.
“Analisis agroekosistem dalam sekolah lapang PHT, melatih petani untuk melakukan analisis, peran komponen ekosistem, dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan hama dengan kondisi agroekosistem. Sehingga tidak heran alumni sekolah lapang mempunyai kekuatan dalam analisis, pengambilan keputusan, pendekatan agroekosistem dan bisa beradaptasi dengan pertanian yang selalu berubah,” ujarnya.
“Dan bisa dilihat bahwa penggiat pertanian yang ada sekarang ini adalah jebolan sekolah lapang PHT. Sekolah lapang sebagai metode pendidikan petani tidak hanya bisa diterapkan untuk PHT, namun bisa untuk keseluruhan sistem pertanian, namun yang perlu diingat harus tetap memenuhi tiga prinsip sekolah lapang tersebut,” pungkas Dr. Ir. Suryo Wiyono M.Sc.Agr.(Ans)