Blitar, HarianForum.com- Rencana aksi penjarahan terhadap warga dan penculikan kyai atau tokoh masyarakat dari Nahdlatul Ulama yang akan dilakukan oleh para anggota PKI maupun Pemuda Rakyat di dusun Sekargadung desa Kaligambir membuat resah warga yang tinggal di daerah pegunungan kapur Blitar selatan. Selepas maghrib, dusun Sekargadung seperti seakan tak berpenghuni, karena semua warga telah menutup pintu rumahnya. Warga yang tinggal di dusun tersebut berdiam diri di dalam rumah, sehingga tidak nampak seorangpun yang beraktifitas diluar rumah. Suasana dusun yang gelap tanpa ada fasilitas umum penerangan jalan ternyata masih nampak seorang pemuda yang masih terjaga dan tidak lelah mengelilingi dusun untuk menjaga dari aksi teror yang dilancarkan oleh PKI pada waktu itu.
”Kejadian itu kira kira di tahun 1963 atau 1964, beraksinya PKI dan Pemuda Rakyat melakukan penjarahan, dan melakukan penculikan terhadap para tokoh masyarakat dan kyai NU bahkan kadang tokoh masyarakat lainnya juga menjadi korban. Aksi aksi yang dilakukan oleh PKI dan Pemuda Rakyat benar benar membuat resah pada saat itu, dan melihat keresahan warga, mendorong pemuda Ansor NU bereaksi melakukan perlawanan,” tutur Mbah Jan panggilan akrab Satijan menceriterakan pengalamannya saat menjadi anggota Gerakan Pemuda Ansor Blitar.
Mbah Jan bukanlah termasuk seorang tokoh intelektual yang tampil di panggung arena politik, akan tetapi warga desa Bacem, Sutojayan, kabupaten Blitar ini tidak hanya sebagai pelaku, akan tetapi juga ikut membuat sejarah dan mempunyai andil yang sangat besar dalam keterlibatan saat pergolakan politik di Blitar selatan. Mulai pemuda menjalani spiritual dan mumpuni dalam beladiri pencak sila, Satijan selalu dibutuhkan, bukan hanya dari anggota Ansor saja meminta penguatan olah kanoragan atau bela diri, akan tetapi para kyai kyai juga sering meminta pertimbangan dalam menghadapi aksi aksi teror yang dilakukan oleh PKI.
Bahkan ketika salah satu anggota Ansor Blitar Mohamad Fadhil, mempunyai inisiatif membuat pasukan khusus Ansor, kemudian diprakarsai oleh Zein Kayubi bersama Abdul Rochim Sidiq, Moch Romdhon, Dzanuri Acham, Atim Miyanto, dan Chudlari Hasyim yang akhirnya terbentuknya Banser atau Barisan Ansor Serbaguna. Satijan pun terlibat dalam Banser yang mempunyai tugas untuk penguatan phisik dan spiritual bela diri untuk para anggota Banser Blitar yang akan menghadapi konfrontasi phisik dengan PKI maupun Pemuda Rakyat.
”Pada waktu itu belum ada banser dimanapun, sedangkan banser pertama kalinya didirikan di Blitar dan komando dipegang oleh pak Kayubi dengan dukungan dari anggota Ansor blitar Abdul Rochim Sidiq, Moch Romdhon, Dzanuri Acham, Atim Miyanto, Chudhari Hasyim dan lainnya. Setelah apel Banser di alun alun Blitar, saya ditugasi untuk menggembleng para anggota banser baik ilmu bela diri maupun spiritual. Satijan meneruskan cerita pengalaman yang dialaminya,” para pendiri membentuk banser hanya karena Allah Lillahi Ta’ala berjuang, selain untuk membela, menjaga ulama, kyai dan warga NU, banserpun juga melindungi warga diluar NU yang menjadi sasaran aksi kekerasan PKI juga Pemuda Rakyat. Saya tahu dan yakin niat para pendiri banser pada waktu itu, tidak ada yang ingin mengambil keuntungan dengan harapan menjadi pejabat di pemerintahan apalagi mencari harta benda,” terang pria kelahiran 1938.
Satijan sampai sekarang tetaplah merasa bagian warga Nahdatul Ulama dan tetap sebagai anggota Ansor maupun Banser, walaupun dirinya sudah jarang sekali dilibatkan aktif kegiatan kegiatan Ansor maupun Banser di Blitar. Dan tidak ada perasaan kecewa kepada Ansor maupun Banser karena dari awal yang dilakukannya bersama pendiri Banser hanya diniatkan karena Allah Ta’ala, untuk umat Islam, warga NU dan menjaga ulama atau kyai dan bangsa Indonesia bukan mencari jabatan apalagi kekayaan.
Tidak bergabung atau menjadi loyalis salah satu partai politik, Mbah Jan tidak lagi mengetahui perkembangan dan dinamika peran serta Ansor maupun Banser.Namun dengan daya spritualnya, Satijan bisa merasakan tanda tanda apa yang akan terjadi. Seperti yang diungkapkan Mohamad Amir Rifai putra pertamanya, saat itu dirinya melihat keanehan yang terjadi pada bapaknya. Sebuah piagam bergambar simbol Barisan Ansor Serbaguna atau Banser yang bertahun tahun tertempel di dinding rumah, suatu hari diturunkan oleh mbah Satijan. Karena melihat keganjilan atau tidak wajar, Mohamad Amir Rifai kemudian menanyakan kepada bapaknya, tidak ada sepatah katapun jawaban dari bapaknya. ”Saat itu saya tanyakan ke Bapak, kenapa piagam itu diturunkan, Bapak tidak memberi jawaban. Walaupun saya menyampaikan pertanyaan berkali kali, Bapak tetap tidak menjawab. Barulah besuknya melihat berita di televisi, ada kejadian pembakaran bendera tauhid yang dilakukan oleh anggota banser Garut, barulah Bapak menyampaikan bahwa berita itu adalah jawaban Bapak menurunkan piagam,” cerita Rif paggilan Mohamad Amir Rifai.
Melihat kondisi dan situasi, sebagai pelaku sejarah atau pernah mengalami kejadian sejarah kelabu yang memilukan, pasca meletusnya G30SPKI dan operasi Trisula Blitar selatan, rasa kekuatiran kini dirasakan lagi. Melihat di media sekarang ini, adanya kelompok saling mencaci dan menghujat, menurutnya dulu juga terjadi cacian serta hujatan yang kemudian berlanjut dengan konflik phisik, dan mengakibatkan banyaknya manusia meregang nyawa karena menuruti kebencian dan rasa permusuhan ”Wong ngalah luhur wekasane, sak bejo bejone wong lali sik bejo wong eling lan waspodo, serta becik ketitik olo ketoro itu harus diingat sebelum melakukan tindakan. Dan yang harus diingat adalah selalu ingat kepada Allah SWT, tidak melupakan sejarah, dan tidak merasa benar serta merasa unggul diantara lainnya, merupakan kunci terhindarnya perbuatan yang sembrono maupun keliru, bahkan sekalipun jangan pernah mau diadu domba,” pesan Mbah Satijan.(Anis)