Blitar, HarianForum.com- Meskipun pembatalan Surat Keputusan Bupati Blitar Rini Syarifah terhadap kepindahan salah satu ASN yang bertugas sebagai ajudan istri Wakil Bupati Blitar sudah dilakukan, dan Rahmat Santoso juga mengurungkan keinginannya mundur sebagai wakil bupati Blitar, tidak serta merta polemik antar pejabat yang mencuat menghentikan opini yang terus bergulir dan menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat.
Kegaduhan dipicu setelah pelaksanaan mutasi 640 pejabat aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Blitar, bukan karena perbedaan pemikiran yang mempresentasikan kepentingan maupun kebijakan untuk masyarakat Kabupaten Blitar. Pernyataan keinginan mundurnya Rahmat Santoso dari jabatan Wakil Bupati Blitar terus gencar tersebar, sehingga mau tidak mau juga membuahkan penilaian sebagian besar kalangan masyarakat bahwa hal tersebut merupakan kegagalan komunikasi antara kepala daerah dan Wakil Kepala daerah Kabupaten Blitar.
Tak ayal menyeruaknya kabar tersebut, direspon Mujib wakil ketua DPRD Kabupaten Blitar yang selalu reseptif terhadap persoalan persoalan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak memihak masyarakat. Kepada HarianForum.com, Politikus Partai Gerindra terlihat keheranan melihat permasalahan yang sedang terjadi pada saat ini, dimana pucuk dan wakil pimpinan pemerintahan masih sibuk dengan urusan yang tidak krusial sama sekali. Dikatakan, seharusnya kepala daerah dan wakil kepala daerah saling melengkapi untuk berbicara pencapaian target penyelesaian visi dan misi yang pernah disampaikan, tidak malah menggunakan waktunya untuk berkubang dengan urusan urusan internal.
“Waktunya kepala daerah dan wakil kepala daerah menyelesaikan visi dan misinya, dan tidak lagi bicara persoalan internal di tingkatan OPD -OPD jajarannya ke bawah, nanti waktunya habis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Apalagi kejadiannya sampai mencuat ke publik, ini menjadi aib. Sekarang tidak perlu lagi membicarakan perihal seperti itu, tetapi bagaimana memacu kinerja OPD – OPD agar bisa menjalankan tugas dan fungsinya menyelesaikan visi dan misi, dan itu yang paling penting. Saya khawatir jangan jangan kepala daerah tidak memiliki visi dan misi,
sehingga hanya berjalan menggunakan anggaran tanpa ada berfikir input, output serta income,” jelas Mujib.
Mujib menambahkan, dalam rapat melalui fraksinya atau alat kelengkapan, bahwasanya permasalahan yang ada dan terjadi selalu disampaikan kepada OPD – OPD. Namun Mujib mengaku pertanyaan yang disampaikan kepada lembaga yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah , tidak mendapat jawaban tetapi malah menerima keluhan.
“Dalam diskusi justru kami malah mendengar keluh kesah dari OPD-OPD, dimana sistem pemerintahan didominasi dari luar lingkup pemerintah daerah. Ini yang menjadi persoalan, seharusnya secara hirarki OPD beserta jajaran yang ada dibawahnya semestinya bertanggung jawab kepada kepala daerah. Tetapi faktanya, terkadang pertanggung jawaban kepada luar ring pemerintahan, itu yang kami rasakan. Makanya ada kecenderungan bahwasanya OPD saat ini apatis dan pasif, karena mau bekerja dengan maksimal dan sesuai tupoksi tetapi ada orang lain yang merecoki. Kalaupun ada lembaga atau mungkin perorangan sifatnya hanya memberi masukan kepada bupati, wakil bupati atau mungkin setidaknya kepada sekda bukan action langsung kepada OPD,” tambahnya.
Bila dibiarkan, istilah emprit abuntut bedhug mungkin sangat tepat dengan kondisi yang ada seperti saat ini. Peribahasa yang mempunyai arti persoalan sepele bisa menjadi besar tersebut dilontarkan Mujianto, Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia atau PPI kabupaten Blitar mengakui memiliki pendapat yang sama dengan apa yang disampaikan Mujib, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar.
Namun dirinya juga berpandangan pada situasi sekarang ini, kepala daerah dinilai tidak masif dalam memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, dikarenakan adanya aktivitas disekelilingnya yang mempengaruhi urusan urusan internal pemerintahan, yang membuka celah untuk memperoleh keuntungan. Pengaruh tersebut menurutnya dijalankan dan dijadikan dasar kebijakan tanpa melihat terlebih dulu dampak politik yang lebih besar, sehingga ujungnya mengganggu komunikasi antara eksekutif dengan legislatif.
Selain kegagalan hasil rapat paripurna yang digelar pada akhir bulan Juli 2022 dengan agenda penyampaian perubahan kebijakan umum APBD Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara atau KUA – PPAS karena tidak kuorum, Rapat Badan Anggaran dengan TAPD membahas KUA dan PPAS Perubahan tidak di hadiri salah satu fraksi, serta Rapat Paripurna yang digelar akhir bulan Agustus 2022 dengan agenda Penanda Tanganan Nota Kesepakatan Bersama KUA-PPAS Perubahan Tahun 2022 juga batal digelar.
Mujianto menandaskan, protes keras yang disampaikan dari wakil Bupati Blitar baginya justru menjadi pintu dan membuka kondisi sebenarnya dengan apa yang terjadi di lingkup orang nomor satu Kabupaten Blitar.
“Pernyataan tersebut malah membuka pintu informasi kepada publik, dengan adanya kegaduhan justru akhirnya publik akan mengetahui siapa yang menjadi penyebab sumber kesemrawutan. Bagi saya ini sebuah bentuk teskis, apakah publik merespon atau tidak dengan apa yang disampaikan Wakil Bupati, dan sekarang yang ditunggu adalah kecerdasan publik dalam menangkap perihal tersebut, disitulah sebenarnya menjadi sebuah peran penting,” ujar Mujianto.
“Maka sudah waktunya bupati juga harus berfikir dengan cerdas serta jangan mengira masyarakat Kabupaten Blitar tidak bisa menangkap sesuatu yang terjadi. Teman teman pergerakan maupun media juga harus melihat konteksnya seperti apa, bukan hanya teksnya saja.Bupati harus benar berhati hati dalam merespon permasalahan dengan tidak membuat keputusan tanpa melalui dengan kajian kajian terlebih dulu, sehingga nantinya tidak salah dalam mengambil keputusan,” tandasnya.(Ans)