Blitar, HarianForum.com- Penyebaran virus yang berasal dari kota Wuhan, Cina dan pertama kalinya dilaporkan ke WHO pada tanggal 31 Desember 2019, dan akhirnya menyebar di seluruh benua ini. Telah memaksa banyak negara harus berjibaku untuk menghentikan aksinya dengan menggunakan berbagai kebijakan maupun aturan untuk mengembalikan pada kehidupan normal.
Menghadapi agresi coronavirus membuat banyak negara melakukan tindakan membatasi aktivitas warganya baik dengan physical distancing, social distancing bahkan banyak juga yang memutuskan untuk melakukan lockdown. Tindakan yang dilakukan semua negara merupakan upaya untuk memutus penyebaran virus lebih meluas. Namun dampak dari keputusan dan ketidakpastian waktu pandemi kapan berakhir, membuat negara mulai berhitung akan ketersediaan pasokan bahan pangan untuk kebutuhan dalam negeri.
Dilansir dari sebuah media online, bahwa negara Vietnam dan Thailand merupakan penyuplai beras kawasan Asia Tenggara mulai menahan ekspor beras ke luar negeri, dengan perhitungan bahwa beras yang dimiliki negara tersebut akan dikonsumsi oleh warga domestiknya sendiri. Sedangkan pemerintah Indonesia melalui kementerian pertanian bahwa kebutuhan beras nasional saat ini dalam kondisi aman. Dengan dasar, bahwa musim panen yang bakal berlangsung pada awal tahun ini akan menambah jumlah persediaan yang ada, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dengan baik.
Penyampaian tercukupinya kebutuhan beras dari pemerintah layak untuk diapresiasi, namun pemerintah juga harus mengamati serta membuat langkah antisipasi dengan
persoalan yang akan terjadi. Ujung masalah stabilisasi harga beras yang berkaitan dengan daya beli masyarakat juga perlu diperhatikan secara serius, agar nantinya tidak terjadi percikan masalah sosial.
Syaikhu Ahmad, ketua Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya atau P4S Jawa Timur yang bermarkas di Nganjuk, menyampaikan permasalahan klasik yang biasa dialami petani. Dan terbiasanya para petani dengan perihal klasik tersebut, dirinya mulai melakukan edukasi pada para petani binaannya agar lebih befikir bijak lagi untuk mengadakan gerakan perubahan yang lebih signifikan dengan “Simpan Hasil Panen Padi”.
Gerakan yang disampaikan Syaikhu Ahmad bahwa para petani binaanya untuk menyimpan padi secukupnya sebagai persediaan bahan pangan bagi keluarga sampai musim panen padi berikutnya. “Masa panen raya padi di musim pertama ini sebagian besar petani padi tidak sampai proses pasca panen sudah 100 % hilang ini permasalahan klasik. Perihal tersebut terjadi karena padi dijual dengan menggunakan sistem tebasan. Petani banyak melakukan demikian karena tidak memiliki tempat penjemuran atau pengering, tenaga kerja untuk proses panen susah dan ongkos kerja mahal bahkan untuk panen tidak mempunyai modal. Juga apabila petani memanen sendiri tanaman padinya, harga jual gabah direndahkan dengan dalih bahwa bersamaan panen raya beralasan gudang penuh, sehingga membuat petani kebingungan di masa menjelang panen,” terang Syaikhu.
Keputusan sulit namun dialami sebagian banyak petani, sehingga tidak mengherankan sebulan usia panen, keberadaan gabah sudah tidak lagi pada petani. Dan ironisnya tanpa disadari oleh petani pada saat membutuhkan beras, petani membelinya dari tengkulak. “Melihat kondisi seperti itu, teman – teman P4S Jatim, bergerak melakukan pendekatan edukatif kepada petani binaan untuk menjual hasil panen padi berupa beras, bukan berupa gabah ataupun menjual tanaman padi di sawah dengan istilah tebas. Kemudian teman teman menghimbau untuk memanfaatkan sarana tehnologi sebagai media menjual beras dalam kemasan secara online melalui P4S Mart. Dengan cara tersebut sebuah solusi untuk bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19 yang masih terjadi,” tuturnya.
Dalam pencarian kebijakan sebagai solusi independensi petani tidak hanya disampaikan Syaikhu Ahmad, namun tindakan yang sama diungkapakan oleh salah satu petani juga pengusaha beras organik yang domisili di Banyuwangi. Pembudidaya beras organik yang sudah menembus pasar Selandia Baru, Cina, Jepang, Amerika Serikat, dan negara negara Arab Saudi mempunyai tekad bulat untuk memandirikan petani, karena dalam pemikirannya pada saat ini petani masih lemah.
Samanhudi, tokoh petani padi organik yang tinggal di desa Sumberbaru, kecamatan Singojuruh, kabupaten Banyuwangi menyampaikan beberapa alasan bahwa petani saat ini memang posisinya tidak signifikan. Alasan yang diungkapkan Samanhudi karena pada umumnya petani mempunyai luasan lahan sempit sehingga posisi tawar petani lemah. Tingkat ketergantungan petani tinggi karena mulai benih, pupuk, pestisida membuat petani semakin tidak berdaya.
Kemudian petani belum mampu memberikan harga terhadap produksi yang dihasilkan, sehingga menurutnya semua harus ada alternatif solusi. “Pedagang boleh terus saja bermain, tetapi petani juga harus semakin tambah berdaya. Dan pmerintah juga harus turun kebawah untuk melihat serta mengkaji apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh para petani, sehingga tidak sampai terjadi kekurangan pangan,” ungkap Samanhudi.
Tidak berbeda kondisi yang disampaikan ketua P4S Jawa Timur Ahmad Syaikhu. Ditegaskan oleh Samanhudi, bahwa petani masih hanya berkutat menjadi produsen saja, belum bisa menjadi pengusaha. Karena fasilitas untuk merubah gabah menjadi beras tidak dimiliki oleh kebanyakan para petani, begitu juga sarana untuk mengelola padi mulai menjemur, menggiling, pengemasan.
H. Samanhudi telah mampu membawa beras organiknya menembus pasar internasional ini menyampaikan “Yang sekarang kami lakukan kepada para petani, melatih membuat pupuk organik, agen hayati digunakan sebagai musuh alami hama penyakit tanaman, plonasi benih padi.Dengan pelatihan tersebut petani tidak tergantung lagi produk produk fabrikasi dan tidak butuh lagi subsidi dari pemerintah. Kami melatih bertani organik, dan untuk produknya kami beli dengan kontrak harga 30% lebih tinggi dari harga dipasaran,” jelasnya.
Syafix Zam Zam, sekretaris Gerakan Petani Nusantar atau GPN Jawa Timur, menyikapi adanya pandemi virus corona yang sedang terjadi merupakan sebuah tantangan dan eksistensi peran petani. Syafix mempunyai pandangan bahwa pada kondisi dalam masyarakat Jawa disebut pagebluk dan terus terjadi sampai setahun ke depan, Syafik menyimpulkan kejadian tersebut bisa menciptakan paceklik.
Menurutnya semua harus bijak untuk menyikapi dan menghadapi situasi alam, dan menurutnya saat ini sangat signifikan apabila setiap desa mempunyai lumbung padi sebagai kekuatan ketahanan pangan masyarakat. “kami sangat sepakat dan sepaham dengan apa yang disampaikan mas Syaikhu, ketua P4S Jawa Timur yang menyampaikan edukasi kepada petani binaanya agar tidak menjual hasil panen pangan ke tengkulak dengan sistem tebas. Karena kami juga menginginkan untuk hasil panen, walaupun sulit bisa diproses menjadi beras dan dijual langsung ke masyarakat sekitar, agar masyarakat tidak terjebak dengan permainan harga,” tegas Syafix menyampaikan melalui phone selulernya.
Sekretaris propinsi gerakan petani yang bermarkas nasional di Bogor Jawa Barat ini menegaskan, bahwa kondisi pandemi jangan menjadi surutnya semangat, akan tetapi justru petani harus bangkit untuk menjadi kekuatan bangsa, dengan menyatukan langkah, serta tanggap dengan informasi. Dirinya meyakinkan bahwa out put atau apa yang dihasilkan oleh petani merupakan penyanggah pangan nasional dan menjadi pilar ekonomi bangsa. Syafix Zam Zam juga sepakat dengan pemikiran salah satu aktivis Gerakan Petani Nusantara nasional, bahwa desa merupakan benteng terakhir, dalam penanganan COVID-19.(Ans)