Blitar, HarianForum.com – Pertimbangan memiliki adaptasi yang baik pada lingkungan dan bisa tumbuh secara optimal dengan suhu udara antara 25 sampai 30°C dibarengi tingkat kelembapan udara tidak begitu tinggi, kambing juga bisa menyesuaikan di daerah yang dingin meskipun kurang baik, dikarenakan rentan terserang penyakit, salah satunya pilek. Selain itu, ketersediaan rumput dan daun atau hijauan makanan ternak yang banyak terdapat di sekitar desanya, menjadi alasan bagi Eko Suyatno menjatuhkan pilihannya untuk berternak hewan pemamah biak dan dikenal dengan ruminansia.
Salah satu warga desa Pandanarum, kecamatan Sutojayan, kabupaten Blitar kepada Harian Forum.com juga menjelaskan dalam mengembangkan atau beternak kambing menurut perhitungan ekonomi, karena pasar dirasakan masih luas, termasuk limbah ternaknya bisa digunakan atau dimanfaatkan menjadi pupuk tanaman organik yang menimbulkan nilai ekonomi. Aktif sebagai penggiat pelestari hutan dan lingkungan di lembaga Pandanarum Tandur atau Pandur, dirinya mengaku teman temannya dalam satu aktivitas saat ini hampir semuanya memelihara atau berternak kambing.
Dikemukan Eko Suyatno, Pandur dalam aktifitasnya telah lama memproduksi pupuk pertanian organik dengan memanfaatkan kotoran hewan kambing. Namun yang dilakukan oleh Pandur, semestinya didukung oleh pihak yang memiliki pemikiran dan komitmen dengan dampak yang tidak menguntungkan untuk waktu kedepan terhadap penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara terus-menerus yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan, terutama pada tanah ternyata haris berhenti produksi. “dulu kohenya (kotoran hewan.red) kita kumpulkan dan kita proses menjadi pupuk organik.Namun semenjak mesin pinjaman yang kita gunakan untuk menggiling kotoran kambing itu diambil pemiliknya, pada akhirnya hingga sampai hari ini kita tidak bisa mengolah dan memproduksi lagi” jelasnya dengan nada kecewa (23/5).
Ditanya usaha Pandur untuk mencari bantuan alat penggiling kotoran hewan yang digunakan produksi pupuk organik ke pemerintah, Eko Suyatno menjawab dengan senyum getir. Dituturkannya bahwa upaya Pandur tidak hanya sekali membuat proposal pengajuan bantuan alat penggiling kotoran kambing sebagai bahan baku pupuk organik, namun tidak membuahkan hasil.
“Kami Pandur disuruh membuat proposal untuk pengajuan bantuan dan itu tidak hanya sekali dua kali. Maka secara otomatis Pandur mesti kehilangan biaya pembuatan dan waktu, namun kenyataan apa tidak ada respon, nol besar.Jadi tidak ada bantuan dari pemerintah hingga sampai saat ini.” tandas Eko Suyatno.
Ungkapan kekecewaan perihal yang sama kemungkinan bukan hanya dirasakan oleh salah satu penggiat Pandanarum Tandur atau Pandur. Tidak diresponnya, selayaknya memicu ketidak percayaan terhadap institusi birokrasi adanya kerumitan sistem terhadap dukungan kegiatan yang memberi keuntungan bagi masyarakat.
Adanya keluhan, setidaknya pemangku kebijakan bisa merespon aktif dengan mencari solusi yang terbaik. Pemangku kekuasaan merupakan pejabat politik yang memiliki kebijakan untuk menata dan mengatur wilayah kekuasaan di wilayahnya terdapat anggaran keuangan dan dibantu oleh aparatur birokrasi sesuai perundang-undangan, semestinya berkomitmen bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Penyelesaian persoalan yang ada di masyarakat merupakan sebuah ukuran kemampuan pemangku dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
Turun ke bawah, bersentuhan dengan aspiratif secara langsung akan memperoleh informasi yang obyektif, bukan hanya tampil dalam acara acara formalitas saja. Begitu juga dengan program yang pernah disampaikan pada saat akan mencari jabatan, menjadi tanggung jawab moral dan berdampak pada kepercayaan publik, bila tidak dikatakan nol besar.(Ans)