Tuban, HarianForum.com- Kekerasan dan pelecehan seksual terus terjadi di Indonesia, sering terjadi, Sayangnya belum ada Undang-Undang (UU) yang menjadi landasan memberantas kejahatan ini. Dari data yang dihimpun Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) sepanjang Tahun 2017-2019, di Kabupaten Tuban ada sekitar 98 kasus.
Melihat hal tersebut kelompok mahasiswa dan masayarakat yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini menyuarakan regulasi baru untuk menghapus kekerasan seksual di depan Gedung DPRD Kabupaten Tuban, Kamis(18/07/2019).
Aksi Gerakan Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu diikuti puluhan peserta dari beberapa aliansi, meliputi Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR), Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Tuban, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Forum Anak Ronggolawe (FAR), serta Korpri, serta masyarakat sipil dan rumah perempuan mandiri.
Dalam aksinya, mereka membawa sependuk yang bertuliskan tetang kecaman, seperti jangan ada korban selanjutnya, kami butuh rasa aman bukan kecaman”. serta memperagakan teaterikal tentang kekerasan yang terjadi kepada perempuan yang diperkosa oleh tetangganya. Namun, pelaku tidak mau tanggung jawab.
“Stop kekerasan seksual, sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan segerakan pengesahan RUU ini,”teriak Nuru Aini Kordinator lapangan.
Tambah Aini Sapaan akrabnya, aksi ini merupakan bentuk aksi solidaritas yang dilakukan serentak oleh jaringan perlindungan perempuan mulai dari Sabang sampai Merauke, dan meminta menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual serta membuka akses korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, serta jaminan agar tidak terulang.
“Sudah tiga tahun RUU ini diajukan, dan tahun ini saatnya untuk disahkan,” ungkap Nunuk usai aksi didepan Kantor DPRD Tuban.
Ada empat rincian dari RUU tersebut, mulai dari mencegah tindak kekerasan seksual, menangani, melindungi, memulihkan korban, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
Selain Pemerintah dan DPR RI, aliansi juga meminta aparat penegak hukum mengoptimalkan penggunaan UU KDRT, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Dari data yang dihimpun Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) sepanjang Tahun 2017-2019, di Kabupaten Tuban ada sekitar 98 kasus. Meliputi , kekerasan di ranah privat contohnya, Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT, Kekerasan dalam Pacaran KDP dan Incest, kemudian perkosaan dalam perkawinan yaitu hubungan seksual dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan terhadap isteri.
Penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban merupakan kekerasan berbasis cyber. Kekerasan ini ditujukan untuk mengintimidasi atau meneror korban, dan sebagian besar dilakukan oleh mantan pasangan baik mantan suami maupun pacar. Jika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku atau korban tidak mau kembali berhubungan dengan pelaku.
Sementara hukum yang kerap digunakan untuk penanganan kasus-kasus seperti ini adalah UU Pornografi dan UU ITE, yang dalam penerapannya justru dapat mengkriminalkan korban. Dalam hal ini perempuan korban mengalami ketidaksetaraan di depan hukum, karena hukum yang tersedia lebih berpotensi menjerat korban dan mengimpunitas pelaku kekerasan.
“Pemerintah dan DPR RI perlu segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk menghentikan impunitas bagi pelaku kekerasan seksual dan Aparat Penegak Hukum perlu mengoptimalkan penggunaan Undang-Undang PKDRT, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan produk hukum lainnya,”. (tbn01)