Jumat , Maret 29 2024
170 views
Ahmad Mujaibir : kami bersama warga lain menolak.

Ahmad Mujaibir : Kami Tetap Tidak Bisa Menerima Pembangunan TPA Di Desa Kami

Blitar, HarianForum.com- Warga Pandanarum dipastikan tetap tidak bisa menerima pembangunan tempat pemrosesan akhir sampah terpadu dan sarana penunjangnya yang akan dibangun oleh pemerintah kabupaten Blitar. Bangunan tersebut rencananya akan berdiri di kawasan hutan wilayah pengelolaan perum perhutani pada petak 114 dan 114 e, RPH Banjarsari, dengan menggunakan ijin pinjam pakai kawasan hutan dilahan seluas kurang lebih 10 hektare.

Persoalan yang dihadapi, tidak hanya tercemarnya air dan tanah di sekitar desa Pandanarun, menjadi alasan aksi penolakan rencana pembangunan tempat pemrosesan akhir sampah terpadu dan penunjangnya.
Banjir yang kerap kali melanda, tidak lagi menjadi sebuah kekhawatiran, namun sudah menjadi ancaman yang serius dengan dampak yang ditimbulkannya, terutama pada lahan pertanian.

Direktur BIC Institut, Mujianto, S.Sos, MM.

Banjir di desa Pandanarum disinyalir efek dari degradasi hutan, akibat pengalihan fungsi hutan yang dirubah menjadi lahan tanaman oleh beberapa gelintir personal tanpa memiliki kesadaran pentingnya pohon pohon yang tegak di hutan, serta tidak memperhitungkan dampaknya yang bisa merugikan warga lainnya. Penebangan pohon yang tidak terkendali merupakan awal perusakan harmonisasi alam yang sering menjadi pemicu bencana, terutama bencana banjir dan bencana tanah longsor. Pemikiran tersebut disampaikan Ahmad Mujaibir aktivis peduli lingkungan desa Pandanarum, dalam diskusi yang diprakarsai BIC Institut.

“Warga tetap tidak bisa menerima dengan rencana pembangunan TPA di desa kami, selain pencemaran air dan tanah, saya yakin banjir akan lebih sering terjadi apabila lokasi joko tarub nantinya dibangun tempat pembuangan sampah, karena daerah tersebut dataran tinggi. Setiap tahun desa kami terjadi banjir, sekarang hujan sebentar saja bisa menyebabkan banjir apalagi nanti. Belum lagi sekarang banyak pohon pohon besar ditebang karena digunakan menjadi lahan untuk penanaman tebu. Kalau dibiarkan pohon tersebut tentu habis, dan kalau tidak ada perlawanan pohon pohon tersebut pasti akan dihabiskan. Banjir yang merasakan dampaknya itu tetap warga desa Pandanarum. Maka kami tetap menolak rencana pembangunan tersebut,” tegasnya (29/12).

Areal sekitar situs Joko Tarub, dimungkinkan peninggalan Raja Hayam Wuruk.

Penolakan Ahmad Mujaibir dan teman temannya baik di LMDH maupun di Pandur cukup beralasan. Pembangunan tempat pemrosesan akhir sampah dan penunjangnya dengan lokasi di dataran tinggi selain berdampak pada pencemaran air dan tanah, serta akan memicu terjadinya banjir pada musim penghujan. Dan menjadi perhatian bagi aktivis lingkungan desa Pandanarum, bahwasanya di area yang rencana akan dibangun tempat pemrosesan akhir sampah, terdapat komplek peninggalan peninggalan situs sejarah.

Direktur BIC Institut Mujianto, S.Sos, MM, inisiator diskusi menyikapi persoalan yang saat ini mulai mengemuka di ranah publik terkait adanya penolakan warga desa Pandanarum dengan adanya rencana pembangunan tempat pemrosesan akhir sampah.

Dalam forum diskusi yang dihadiri kepala Dinas Lingkungan Hidup kabupaten Blitar, M Krisna Triatmojo, MSi, aktivis LMDH Pandanarum, komunitas Pandanarum Tandur serta beberapa awak media, Mujianto menyampaikan hasil kajian dari beberapa masukan yang seimbang serta penelitian yang dilakukan. Disampaikannya bahwa dalam menangani sampah menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah daerah, karena sampah merupakan salah satu masalah besar.

Salah satu sumber air berada di bawah area rencana lokasi TPA.

Tidak hanya menjadi masalah nasional tetapi sampai menjadi masalah universal. Mujianto tetap dengan pendapatnya, dalam pengelolaan sampah secara terpadu dan komprehensif, tidak akan meninggalkan pemenuhan hak maupun kewajiban masyarakat dengan berdasarkan asas tanggung jawab, kebersamaan, kesadaran, berkelanjutan, manfaat, nilai ekonomi, keadilan, keselamatan, dan asas keamanan.

“Pengelolaan sampah oleh pemerintah mempunyai tujuan selain meningkatkan kesehatan juga kualitas lingkungan.Selain itu sampah mampu dijadikan sebagai sumber daya ekonomi, kita ambil salah satu contoh pengolahan sampah menjadi energi listrik yang telah sukses dilakukan di tempat pembuangan akhir sampah Benowo, kota Surabaya. Dan masih banyak inovasi yang dilakukan terhadap sampah, dengan merubah menjadi sesuatu yang mempunyai nilai manfaat. Namun kembali pada persoalan rencana lokasi pembangunan, kita juga harus melihat kondisi real yang ada secara obyektif. Tanah lahan yang subur, adanya 3 sumber air yang cukup besar, serta terdapatnya peninggalan sejarah yang harus dilestarikan, sangat disayangkan apabila lokasi tersebut berubah menjadi lokasi tempat pemrosesan akhir sampah. Pemerintah daerah saat ini masih masuk tahap kerjasama lahan, maka sebijak mungkin membatalkan pembangunan di lokasi yang tidak diterima warga dan mencari lokasi yang lain, merupakan sebuah solusi yang terbaik dalam menyelesaikan masalah ini,” jelas Mujianto kepada HarianForum.com.(Ans)

Check Also

Hindari Perpecahan & Faham Radikal, Kapolres Nganjuk Gelar Sosialisasi Wawasan Kebangsaan

Nganjuk, HarianForum.com– Kapolres Nganjuk AKBP Muhammad, S.H., S.I.K., M.Si., mengajak seluruh peserta Sosialisasi Pemantapan Wawasan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *