A. Dari Kadipaten Panarukan Menjadi Kabupaten Situbondo
Nama Kabupaten Situbondo diresmikan pada tahun 1972, pada masa pemerintahan Bupati Achmad Tahir. Sebelumnya bernama Kadipaten Panarukan. Kata dasar Panarukan yaitu Taru yang mendapat imbuhan Pe – an. Taru berarti pohon. Panarukan berarti wilayah yang menjadi tempat persemaian pepohonan. Loh subur kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku.
Pelopor berdirinya kabupaten Panarukan adalah Raden Ajeng Sukaptinah. Beliau putri Adipati Cakraningrat, Bupati Pamekasan Madura. Raden Ajeng Sukaptinah wanita bangsawan yang cerdas, pintar, cekatan, luhur budi, berwibawa, ramah, pemurah, suka menolong, trampil, berwawasan luas dan kaya raya. Putri Bupati pamekasan Madura ini memiliki usaha pabrik garam di Kalianget, tambak udang di Sidoarjo, usaha mebel ukir-ukiran Jepara, industri trasi Lasem Rembang, usaha kecap Grobogan. Raden Ajeng Sukaptinah juga komisaris utama pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Tanjung Kodok Lamongan dan Tanjung Perak Surabaya.
Raden Ajeng Sukaptinah ini kelak menjadi garwa permaisuri Kanjeng Sinuwun Paku Buwono IV. Raja Surakarta Hadiningrat ini memerintah tahun 1788 – 1820. Gelar Raden Ajeng Sukaptinah menjadi Kanjeng Ratu Handoyowati atau Gusti Kanjeng Ratu Kencono Wungu. Dari pernikahan ini lahir Raden Sugandi yang bergelar Sinuwun Paku Buwono V. Lahir pula Raden Malikis Sholikin yang bergelar Sinuwun Paku Buwono VII. Jelas sekali bahwa para raja karaton Surakarta Hadiningrat memang keturunan Madura.
Pengaruh Raden Ajeng Sukaptinah besar sekali. Pada tahun 1815 diselenggarakan diskusi sejarah budaya di Pendopo Taru Ageng Panarukan. Sebagai narasumber dipilih Pangeran Kadilangu. Beliau merupakan pewaris ilmu Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam ceramahnya Pangeran Kadilangu menghimbau agar warga Panarukan mengingat perjalanan sejarah. Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Kerajaan Kahuripan, Jenggala, Daha, Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram mewariskan sejarah besar. Jiwa patriotik dan nasionalisme para raja agung itu hendaknya dilestarikan, demi memperkokoh jatidiri bangsa.
Hadir lengkap saat itu Adipati Cakraningrat, Bupati Pamekasan. Tampak datang rombongan dari kabupaten Sumenep yang dipimpin oleh Adipati Cokronegoro. Duduk juga tamu kehormatan dari Kadipaten Surabaya yang dipimpin oleh Bupati Yudonegoro. Konferensi yang diselenggarakan di gedung Taru Agung Panarukan ini memunculkan gagasan untuk mendirikan kabupaten Panarukan. Usul datang dari Raden Ajeng Sukaptinah. Rekomendasi Gedung Taru Agung ini menjadi catatan penting bagi segenap penguasa Bang Wetan. Tiga tahun lamanya perencanaan dan persiapan berdirinya kabupaten Panarukan.
Pada tanggal 15 Agustus 1818 Sinuwun Paku Buwono IV meresmikan berdirinya kabupaten Panarukan. Surat keputusan diserahkan oleh Patih Sosrodiningrat II. Suara gamelan Monggang berkumandang mengiringi datangnya raja kraton Surakarta Hadiningrat yang didampingi oleh Raden Ajeng Sukaptinah atau Gusti Ratu Kencono Wungu. Bendera gula klapa, rontek, umbul-umbul berkibar sepanjang jalan. Gong tambur beri seruling mengiringi jalannya prajurit. Ada barisan prajurit Jayeng Astro, prajurit Prawiro Anom, prajurit Panyutro.
Gamelan Corobalen berbunyi saat Bupati Pamekasan, Bupati Sumenep, dan penguasa bang wetan, penguasa bang kulon serta penguasa pesisir sama hadir. Suasana pesta rakyat Panarukan benar-benar megah meriah, indah. Para santri dengan membawa musik terbangan mengumandangkan Sholawat Badar. Maka wajar sekali kabupaten Panarukan memiliki semboyan Bumi Sholawat Nariyah.
Pimpinan kabupaten Panarukan dipegang oleh Adipati Condrokusumo. Beliau putra Bupati Sumenep yang telah berpengalaman dalambidang tata negara. Adipati Condrokusumo pernah menempuh pendidikan di Glagahwangi Demak Bintara. Selama belajar di Glagahwangi Condrokusumo sempat membangun jaringan politik dan ekonomi. Kepribadian, kemampuan, keluhuran, kebijaksanaan, keteladanan, keberhasilan, kecakapan, kecerdasan, kejujuran lebih dari cukup. Adipati Condrokusumo sangat layak menjadi Bupati Panarukan yang disegani.
B. Pengembangan Kabupaten Panarukan yang Indah Permai
Raden Sugandi adalah putra Raden Ajeng Sukaptinah yang menjadi raja Surakarta dengan gelar Sinuwun Paku Buwono V. Pada tahun 1821 tokoh Panarukan yang bernama Raden Tegal Mas diberi kesempatan untuk membuka lahan perkebunan kopi di lereng gunung Ijen. Perkebunan kopi gunung Ijen berhasil membuat makmur masyarakat Panarukan. Raden Ajeng Sukaptinah membantu pembibitan, penanaman dan perawatan tanaman kopi. Raden Ajeng Sukaptinah mendatangkan ahli kopi dari Samudra Pasai Aceh.
Putra Raden Ajeng Sukaptinah yang menjadi raja Surakarta Hadiningrat adalah Raden Malikis Sholikin. Beliau memerintah tahun 1830 – 1858. Bupati Panarukan dipegang oleh Adipati Prawirodiningrat I. Selama kepemimpinannya ini warga Panarukan diberi tugas untuk menyalin kitab Wulangreh karya Sinuwun Paku Buwono IV dan Serat Centhini karya Sinuwun Paku Buwono V. mereka dimasukkan dalam tim kapujanggan kraton yang dipimpin oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita. Pemuda Panarukan yang pintar menulis diajak untuk mengelola majalah Retno Dumilah.
Gagasan besar Raden Ajeng Sukaptinah selalu cemerlang. Putri Bupati Pamekasan Madura ini memang mengagumkan. Boleh dibilang mustikane putri tetunggule widodari. Raden Sugandi atau Sinuwun Paku Buwono VII menghormati dan mengindahkan nasihat ibunda Raden Ajeng Sukaptinah. Kabupaten Panarukan harus makmur. Pemuda harus mendapat lapangan kerja, sehingga hidupnya menjadi layak.
Tahun 1846 Adipati Prawirodiningrat didorong untuk mendirikan Pabrik Gula Olean. Investor berdatangan di kabupaten Panarukan. Lapangan kerja terbuka luas. Perkebunan, pelayaran, pertukangan, angkutan, kuliner berkembang pesat. Nama Panarukan menjadi terkenal arum kuncara. Pabrik Gula Olean memberi manfaat besar bagi seluruh masyarakat Panarukan. Perumahan lagi berjajar-jajar berdiri untuk para administratur pabrik gula Olean.
Tebu artinya antebing kalbu. Orang Panarukan mahir menanam tebu dengan semangat tinggi sepenuh hati. Musim tebang tebu menjadi saat yang membahagiakan. Pekerjaan tebang tebu mendatangkan uang berlimpah ruah. Juga bagi pengusaha angkutan andong gerabah, dokar, cikar adalah masa panen yang menyenangkan. Pembukaan giling pabrik gula dimulai dengan prosesi cembengan. Upacara giling tebu disertai dengan pesta rakyat dan gelar seni budaya.
Sukses makmur pabrik gula Olean disusul dengan berdirinya pabrik gula Asembagus, pabrik gula Panji, pabrik gula Demas, pabrik gula Prajekan, pabrik gula Wringin Anom. Enam pabrik gula di kabupaten Panarukan itu berdampak pada ekonomi masyarakat. Warga Panarukan sejahtera lahir batin, murah sandang pangan papan. Bekerja di perkebunan tebu meliputi pembibitan, penanaman, perawatan dan penebangan. Setahun lamanya tebu ditanam. Selama setahun itu pula masyarakat bekerja bersama mandor yang dibina oleh Sinder.
Pembukaan pabrik gula Kalimas pada tanggal 23 Nopember 1896 menambah identitas Panarukan. Dampaknya adalah usaha pelabuhan dan pelayaran makin ramai. Gula yang diproduksi diekspor melalui pelabuhan Panarukan. Di kirim gula itu ke Eropa, Afrika, Asia Barat, Asia Selatan, Tiongkok dan Malaka. Warga Panarukan tampil sebagai orang kosmopolit yang menguasai dunia. Perdagangan berlangsung aman nyaman. Pabrik gula membawa sejarah Panarukan sangat manis, semanis rasa gula.
Perluasan lapangan usaha terjadi pada tahun 1872. Sinuwun Paku Buwono memberi bantuan kepada Bupati Nataningrat. Budidaya tembakau dilakukan di daerah Besuki. Sepanjang sejarah tembakau Besuki amat digemari oleh konsumen dunia. Tembakau Besuki berkualitas ekspor. Masa kejayaan tembakau Besuki patut untuk dikenang. Generasi sekarang perlu belajar atas kesuksesan manajemen dan marketing tembakau. Usaha para leluhur merupakan teladan dalam bidang agrobisnis.
Ketrampilan masyarakat Panarukan ditingkatkan terus. Pada tahun 1873 warga dari daerah Banyuglugur, Jatibanteng, Sumber Malang, Besuki, Suboh diundang ke perkebunan tembakau Tegalgondo Klaten. Warga dari daerah Mlandingan, Bungatan, Kendit, Panarukan, Situbondo, Paji diajak berkunjung ke daerah Ampel Boyolali. Mereka belajar manajemen perkebunan teh. Warga dari daerah Mangaran, Kapongan, Arjasa, Jangkar, Asembagus, Banyuputih belajar marketing kebon kopi di daerah Kembang Semarang.
Istri Adipati Notoningrat membawa ibu-ibu kabupaten Panarukan untuk belajar kerajinan tangan. Mereka perlu dibina dengan beragam ketrampilan. Ibu-ibu Panarukan dikirim ke Laweyan untuk belajar batik. Sebagian dikirim ke Tawangsari untuk belajar jamu. Ibu-ibu belajar kuliner sego liwet di daerah Baki Sukoharjo. Kedatangan mereka membawa cakrawala berpikir, agar bisa mandiri dan berdikari.
Selama hayat dikandung badan, kabupaten Panarukan berjalan dengan selamat sentosa. Maju kabupatennya, bahagia warganya. Atas berbagai perkembangan sejak tahun 1972 kabupaten Panarukan diubah menjadi kabupaten Situbondo. Masyarakat tetap aman nyaman ayem tentrem.
C. Para Bupati Situbondo yang Memakmurkan Rakyat
1. Adipati Condrokusumo I 1818 – 1830
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
2. Adipati Condrokusumo II 1830 – 1844
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
3. Adipati Prawirodiningrat I 1844 – 1856
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
4. Adipati Prawirodiningrat II 1856 – 1870
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
5. Adipati Notodiningrat 1870 – 1893
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
6. Adipati Sutikno Hadiprojo 1893 – 1901
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
7. Adipati Suryadi Putronagoro 1901 – 1924
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
8. Adipati Kusumo Diputro 1924 – 1939
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
9. Adipati Pustoko Pronomo 1939 – 1942
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
10. Adipati Sudibyo Kusumo 1942 – 1953
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.
11. Subyakto Mangkudiharjo 1953 – 1956
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
12. Supangat Prataningrat 1956 – 1963
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
13. Sujanarso Adiwardoyo 1963 – 1968
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
14. Achmad Tahir 1968 – 1973
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
15. Abdullah Dachnan 1973 – 1978
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
16. Tassrip 1978 – 1984
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
17. Margono Samsidi 1984 – 1989
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
18. Arief Mulyadi, SH 1989 – 1989
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
19. Sudaryanto 1989 – 1994
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
20. Drs. Diaman 1994 – 2005
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
21. Ismunarso 2005 – 2010
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
22. Dadang Wigiarso 2010 – 2020
Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kembang Kopi
Sumariwing karya wangi kembange kopi
Renteng turut ngepang cumalorot kaya salaka
Godhonge ijo awe-awe merak ati
Nyata sarwa adhem nyawang kopi neng ati ayem
Kopi kembang tandha arep metu uwohe
Setahun pisan ngundhuh kopi titi wancine
Wohe abang-abang gedhe-gedhe grompolane
Kopi ciblok neng lemah sisa luwak iku arane
Perkebunan kopi di sepanjang lereng gunung ijen Situbondo memang asri anglam nglami. Begitu indahnya kembang kopi yang ada dalam cabang-cabangnya, sehingga pengarangnya memberi ibarat saloka atau emas yang menempel. Dalam kebun kop terdapat suasana yang sejuk, damai, ayem tentrem dan bahagia.
Sejak masih bernama kadipaten panarukan, tanaman kopi gunung ijen amat terkenal. Juru kebunnya mempunyai harapan tiap tahun mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Kopi berguna untuk menambah stamina. Orang tidak bisa ngantuk. Cocok untuk suguhan lek-lekan. Kabupaten Situbondo dapat belajar dari pengalaman berkebun yang baraneka ragam.
Ditulis oleh Dr. Purwadi, M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA 13 Juli 2020 Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta