A. Asal Usul Nama Kabupaten Tulungagung
Generasi muda harus tahu sejarah leluhur. Sejarah kabupaten Tulungagung berhubungan dengan perjalanan kerajaan besar. Mulai dari kerajaan Kahuripan, Jenggala, Daha, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram dan Surakarta Hadiningrat. Warganya suka kerja bakti, gugur gunung, sambatan, gotong royong. Sehari-hari mereka selalu sambang sambung srawung tulung tinulung. Hatinya ayem ayom, jiwanya ageng agung. Maka kabupaten ini dinamakan Tulungagung.
Peran warga Tulungagung pada jaman Kahuripan turut membantu Empu Barada. Beliau membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua, yaitu Jenggala dan Daha. Sesepuh masyarakat dari daerah Ngantru, Kedungwaru, Kauman, Pagerwojo, Rejotangan, Campurdarat dan Bandung dilibatkan dalam upacara ritual. Di sepanjang kali Brantas mereka melakukan tapa kungkum, tapa ngeli, tapa ngiwak. Pakaryan palihan negara berjalan lancar, nir bita nir baya nir sambikala.
Kerajaan Kediri yang beribukota Dahono Puro dipimpin oleh Kanjeng Sinuwun Prabu Kertajaya. Jasa besar warga Tulungagung ini mendapat penghargaan tinggi dari istana kraton Daha. Pada tanggal 18 Nopember 1205 Prabu Kertojoyo memberi hadiah emas batangan, kursi gading, dampar kencana, dan inten jumerut. Anugerah besar ini diserahkan di daerah tani Lawasan. Orang berduyun-duyun datang untuk ngalap berkah. Rasa gembira ini digores di atas prasasti dengan sengkalan Sukra suklapaksa mangga siramasa.
Pada tanggal 14 Juli 1342 kerajaan Majapahit menyelenggarkaan upacara sarada agung. Tata cara adat ini langsung dipimpin oleh Sri Bagenda Putri yang berkuasa di Majapahit, yaitu Sri Gitarja Tribuana Tunggadewi Jaya Wisnumurti. Upacara Sarada Agung ini menghormati abu Sri Ratu Gayatri Rajapatni. Beliau adalah garwa prameswari Raden Wijaya Sri Kertarajasa Jayawardana. Abu jenasah istri pendiri kerajaan Majapahit berada di Candi Gayatri daerah Boyolangu Tulungagung. Raja Tribuana Tunggadewi menghormati arwah ibunya, dalam rangka mikul dhuwur mendhem jero.
Upacara Sarada Agung ini dilanjutkan terus oleh Prabu Hayamwuruk Sri Rajasanagara setiap tahun. Beliau raja Majapahit yang memerintah tahun 1350 – 1386. Setiap berkunjung ke wilayah Tulungagung Prabu Hayamwuruk pasti mengajak Empu Prapanca dan Empu Tantular. Turut serta dalam upacara Sarada Agung ini warga dari daerah Sendang, Karangrejo, Gondang, Ngunut, Sumbergempol, Pucanglaban, Kalidawir, Besuki, Pakel, Tanggul Gunung.
Kinanthi
Nalika nira ing dalu
Wong agung mangsah semedi
Sirep kang bala wanara
Sedaya wus sami guling
Nadyan ari sudarsana
Wus dangu nggenira guling.
Majapahit menjadi kraton yang agung ngrembuyung ketika dipimpin oleh Sinuwun Prabu Brawijaya V. Kerajaan Majapahit tampil sebagai negara kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Prabu Brawijaya memang narendra gung binathara, mbahu dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana. Sinuwun Brawijaya V pada tahun 1458 melakukan siram jamas di Grojogan Sewu Gunung Wilis.
Kunjungan raja Majapahit ke wilayah Tulungagung selalu disambut dengan hangat. Sepanjang jalan warga Tulungagung rebut ducung piyak ngarep. Njejel riyel sakmarga-marga. Perasaan mereka menjadi ayem sewaktu berjumpa dengan Sinuwun Prabu Brawijaya. Seolah-olah Dewa ndharat. Para petani percaya tanaman tumbuh subur. Bakul di pasar laris dagangannya. Jejaka perawan lancar jodoh. Begitulah kepercayaan mereka pada raja Majapahit. Raja merupakan penguasa jagad gumelar dan jagad gumulung.
Berbakti pada raja berarti hidupnya penuh berkah. Rejeki mbanyu mili. Warga Tulungagung kuwat drajad pangkat semat, wirya arta, winasis, guna kaya purun. Hidupnya akan mengalami kejayaan. Nak tumanak run tumurun bakal pikantuk ganjaran agung. Sungkem bekti pada penguasa Majapahit akan jauh dari mara bahaya, pageblug sumingkir. Hama tanaman akan sirna. Singkat kata hidupnya terus beruntung. Kabupaten Tulungagung tansah ginanjar suka basuki.
B. Warga Kabupaten Tulungagung Belajar Ngelmu Kawijayan Guno Kasantikan
Pada tahun 1523 Adipati Kalangkusumo berguru pada Kanjeng Sunan Kalijaga di Kadilangu. Tulungagung berada di bawah kekuasaan Kesultanan Demak Bintara. Agama ageming aji, bahwasanya beragama itu bertujuan meningkatkan kualitas pribadi. Yakni diri pribadi yang unggul lahir batin. Maka Adipati Kalang mendapat pelajaran mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi.
Adipati Kalang juga berguru kepada Syekh Maulana Makdum Ibrahim, Sunan Gunungjati, Sunan Murya, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Ampel, Sunan Drajad. Pengetahuan dari Wali Sanga ini digunakan sebagai bekal untuk mengabdi kepada masyarakat Tulungagung. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese dur angkara.
Perbedaan adalah rahmat. Tidak semua warga Tulungagung seperti Adipati Kalang Kusumo. Sebagian warga Bonoworo berguru kepada Syekh Siti Jenar. Beliau guru kebatinan tingkat tinggi. padepokannya bernama Peguron Lemah Bang. Makanya pengikut Adipati Kalang yang belajar ngelmu joyo kawijayan guno kasantikan dinamakan Kalangbret, Kalang Abrit atau Kalang Abang. Artinya orang Kalang Bonorowo yang berguru di Peguron kebatinan Lemah Bang.
Peguron Lemah Bang yang dipimpin Syekh Siti Jenar mengajarkan ngelmu kasampurnan, makrifat sejati, kawruh sangkan paraning dumadi. Ilmu tingkat tinggi ini sangat digemari oleh kasepuhan kejawen. Cuma cara belajarnya dilakukan amat rahasia. Mereka tak berani terang-terangan, karena selalu berhadapan dengan pihak yang salah paham. Pelaku seni jaranan, jathilan dan reyog kebanyakan mendapat ngelmu dari Syekh Siti Jenar. Ilmu tingkat tinggi ini kerap disebut dengan manunggaling kawula Gusti.
Pangkur
Tan samar pamareng sukma
Sunukmaya winahya ing ngasepi
Sinimpen telenging kalbu
Pambukane warana
Tarlen saking leyep layaping ngaluyup
Pindha pesating sumpena
Sumusup ing rasa jati.
Makna filosofis tembang di atas sangat dalam. Rasa jati, sari rasa jati, sarira sajati. Sari tunggal, sari rasa tunggal, sarira satunggal. Naga rasa tunggal, nagara satunggal. Begitulah ajaran pokok Syekh Siti Jenar. Dimulai dari sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Dalam ajaran Jenggala Kediri dikenal adanya kama, githa, dharma, muksa. Sedang jaman Majapahit disebut kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu, nirwana. Pada jaman Demak dikenalkan ajaran syariat tarikat hakekat makrifat.
Pengajaran ilmu kasampurnan demi memayu hayuning bawana. Oleh karena itu para pengikut Syekh Siti Jenar di kabupaten Tulungagung berprinsip dedalane guna lawan sekti, kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane, tumungkula yen dipun dukani, bapang den simpangi, ana catur mungkur.
Periode penting bagi warga Ponorogo Tulungagung terjadi pada tahun 1543. Joko Tingkir bertapa di gunung Budheg. Anelasak wana wasa, tumuruning jurang terbis, kang ri bandhil bebondhotan, gumbet penjalin cacing. Wau ta sang apekik gumregut sangsaya sengkut, sayekti datan nyipta, pringga bayaning wanadri, apan nyata satriya trah witaradya. Warga Kalangbret selanjutnya mengikuti Joko Tingkir bertapa di Guwa Pasetran Ganda Mayit. Masyarakat Sine Kalidawir nantinya diajak mukti ngawibawa di Kasultanan Pajang tahun 1546 – 1582.
Pengikut aliran Kalangbret berkembang pesat di wilayah Bonorowo Tulungagung. Mereka berbeda dalam keyakinan, tetapi punya rasa solider yang tinggi. Hidupnya tetap manunggal, nyawiji seperti wejangan Empu Prapanca pujangga kraton Majapahit. Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.
C. Dari Kadipaten Bonorowo Menjadi Kabupaten Tulungagung
Kanjeng Sinuwun Amangkurat Amral pada tahun 1697 datang di Kadipaten Bonorowo. Beliau adalah raja Mataram Kartasura yang lahir di kota Surabaya. Berkuasa tahun 1677 – 1703 atas dukungan Pangeran Pekik dan Ratu Pandansari. Beliau adalah penguasa Surabaya dan pengelola Pelabuhan Tanjung Perak. Bersama dengan Sinuwun Amangkurat Amral Adipati Pekik terlibat aktif dalam penataan daerah aliran sungai Brantas. Irigasi memang diperhatikan demi keperluan pertanian. Kehadiran di Bonorowo Tulungagung didampingi oleh Demang Surantani.
Pimpinan Kadipaten Bonorowo mendapat hasil menggembirakan pada tahun 1769. Tumenggung Adipati Mangundirono memajukan kesejahteraan rakyat dengan membuka industri marmer. Pemasaran marmer dilakukan keluar negeri yaitu Cina, India, Mesir, Afrika dan Timur Tengah. Kualitas marmer Tulungagung diakui dunia. Maka rakyat bisa hidup subur makmur, murah sandang pangan papan.
Adipati Tondowiyogo mulai mengembangkan industri batik di daerah Kauman. Beliau pemimpin yang merakyat, ahli tata pemerintahan dan tahu memutar roda bisnis. Usaha batik Tulungagung amat pesat. Adipati Tondowijoyo pada 1796 memberi piagam penghargaan pada Nyi Menggung Retno Mursodo. Wanita hebat ini memiliki usaha batik yang mempekerjakan karyawan lebih dari 2000 orang.
Nyi Menggung Retno Mursodo pernah belajar batik di Laweyan Solo pada tahun 1718 atas dukungan Adipati Tondowijoyo. Kemudian dilanjutkan dengan studi banding ke sentra batik pekajangan kota Pekalongan. Corak batik Kauman Bonorowo semakin beraneka ragam. Usaha batik Kauman yang dipelopori Nyi Menggung Retno Mursodo bertahan sampai generasi anak cucu. Tentu berkat dukungan para pemimpin Bonorowo Tulungagung yang lincah, pintar dan sukarela.
Kepemimpinan Adipati Mangunnagoro di Bonorowo Tulungagung amat berguna. Rakyat semakin sejahtera lahir batin. Adipati Mangunnagoro memimpin Bonorowo tahun 1812 – 1824. Demi kualitas industri tekstil dan batik, beliau turut mendirikan pabrik tenun di Ngunut. Usaha ini semakin hari bertambah maju. Usaha tenun Ngunut memperlancar industri batik kauman. Karyawan sejahtera perusahaan untung. Semua mendapat kesempatan bekerja dan berusaha.
Hari yang bersejarah bagi kadipaten Bonorowo terjadi pada tanggal 1 April 1824. Sinuwun Paku Buwono VI raja karaton Surakarta Hadiningrat melantik RMT Pringgodiningrat sebagai bupati. Upacara pelantikan dilakukan di sasana sewaka dengan dihadiri pembesar kerajaan. Turut diundang para bupati pesisir dan bupati bang wetan.
Pada tahun 1834 pendopo kongas arum kusumaning bangsa mengadakan sarasehan budaya adi luhung. Bertindak sebagai pembicara utama yaitu Raden Ngabehi Ranggawarsita. Beliau pujangga karaton Surakarta Hadiningrat yang menjadi menantu Bupati Cakraningrat Kediri. Dalam uraiannya Ranggawarsita mengingatkan masyarakat agar tetap eling lan waspada.
Pada tanggal 1 April 1901 nama kadipaten Bonorowo diubah menjadi kabupaten Tulungagung. Waktu itu Bupati dijabat oleh Kanjeng Raden Tumenggung Cokrohadinagoro tahun 1901 – 1907. Kabupaten Tulungagung semakin jaya makmur, gedhe obore padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kawibawane.
D. Daftar Bupati Bonorowo Tulungagung yang Mempunyai Semangat Tulung Tinulung jiwa Agung
1. Adipati Mangundirono 1769 – 1794
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.
2. Adipati Tondowijoyo 1794 – 1812
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.
3. Adipati Mangunnagoro 1812 – 1824
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadiningrat.
4. Adipati Pringgodiningrat 1824 – 1830
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI, raja Surakarta Hadiningrat.
5. Adipati Jayadiningrat 1830 – 1855
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.
6. Adipati Sumodiningrat 1855 – 1864
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.
7. Tumenggung Joyoatmojo 1864 – 1865
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
8. Tumenggung Gondokusumo 1865 – 1879
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
9. Tumenggung Sumodirjo 1879 – 1882
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
10. Tumenggung Pringgokusumo 1882 – 1895
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
11. Tumenggung Partowijoyo 1885 – 1901
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
12. Tumenggung Cokrohadinagoro 1901 – 1907
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.
13. Tumenggung Sosrodiningrat 1907 – 1943
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.
14. Tumenggung Djanu Ismadi 1943 – 1945
Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.
15. R. Moedajat 1945 – 1947
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
16. Mochtar Prabu Mangkunegoro 1947 – 1950
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
17. R Moestopo 1950 – 1958
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
18. Dwijo Soeparto 1958 – 1959
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
19. Kasran 1959 – 1960
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
20. Suryo Kusumo 1960 – 1961
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
21. Puguh Tjokrosumarto 1961 – 1966
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soekarno.
22. Soendarto 1966 – 1968
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
23. Letkol Soenardi 1968 – 1973
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
24. Letkol Martawi Suroso 1973 – 1978
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
25. Singgih 1978 – 1983
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
26. Drs. Moh. Purnanto 1983 – 1987
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
27. Drs. Jaifudin Said 1987 – 1999
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Soeharto.
28. Drs. Budi Susetyo 1999 – 2003
Dilantik pada masa pemerintahan presiden BJ Habibie.
29. Ir Heru Tjahjono 2003 – 2013
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Megawati.
30. Syahri Mulyo, SE 2013 – 2018
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
31. Maryoto Birowo 2018 – 2023
Dilantik pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo.
Deneng utamaning nata
Ber budi bawa laksana
Lir ber budi mangkana
Ageng nggennya paring dana
Dene kang bawa laksana
Anetepi pangandika
Pitutur luhur suluk padalangan di atas dihayati benar oleh para pemimpin kabupaten Tulungagung. Kearifan lokal menjadi bekal untuk melakukan pengabdian kepada nusa bangsa dan negara. Identitas nasional tentu akan semakin kokoh. Kabupaten Tulungagung mewujudkan semangat tulung tinulung yang dilandasi jiwa agung.
Ditulis oleh Dr Purwadi, M.Hum, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (LOKANTARA), 22 Juni 2020