Blitar, HarianForum.com – Meskipun kepengurusan di jam’iyyah tidak aktif, kegiatan jama’ah masih tetap berjalan, sehingga Nahdlatul Ulama dinilai sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki kekhasan tersendiri.
Dalam organisasi, ulama-ulama yang dianggap menjadi figur masyarakat biasanya memegang peran strategis di posisi kepengurusan. Namun begitu, pengaruh ketokohannya tidak serta-merta bisa mengendalikan struktur secara solid, karena kultur warga nahdliyin lebih kuat menyangga Nahdlatul Ulama.
Menjelang pemilihan kepala daerah, diberitakan beberapa media bahwa elit di struktur organisasi telah melakukan nota kesepahaman atau pakta integritas dengan salah satu calon, dan dalam klaimnya telah didukung oleh semua warga nahdliyin.
Namun beberapa hari kemudian, terdapat aksi dari Majelis Wakil Cabang (MWC) yang menolak dukungan terhadap satu pasangan calon kepala daerah pada Pilkada 2024 yang membawa Nahdlatul Ulama secara kelembagaan. Mereka berpijak bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, di mana politik hanyalah instrumen untuk mencapai tujuan kemaslahatan bagi bangsa dan negara.
Melihat dinamika yang terjadi, salah satu alumni IPNU 1976 Kabupaten Blitar, H. Achmad Dardiri, berpandangan bahwa elit organisasi sebenarnya mengetahui bahwa NU kembali ke Khittah 1926, dan secara struktural NU menerapkan politik kebangsaan, politik keumatan, politik kerakyatan, dan politik yang penuh dengan etika, bukan politik praktis yang berorientasi kekuasaan semata.
Kurang lebih dua pekan lagi, pemilihan kepala daerah digelar. Ketika ditanya tentang pilihan ideal kepala daerah mendatang, dia menandaskan bahwa sebelum memilih pemimpin, calon pemilih hendaknya bijaksana dengan melihat rekam jejak bakal calon sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tanpa diikuti pendapat pribadi atau seobyektif mungkin.
“Pemimpin idealnya harus amanah serta jujur dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, karena hal itu akan berpengaruh besar terhadap keputusan yang diambil. Menurut agama yang diyakini, dalam pemilihan baik yang dipilih maupun pemilih pasti ada pertanggungjawaban nantinya di hadapan Allah SWT,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa kriteria pemimpin ideal adalah seseorang yang mempunyai keahlian meski terdapat kekurangan, dapat menerima masukan-masukan, serta dapat membawa kemajuan daerah untuk masyarakat baik di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan bidang lainnya.
“Untuk memilih pemimpin, calon pemilih harus bijaksana dengan melihat rekam jejak bakal calon secara obyektif. Kalau saya, idealnya bagaimanapun kalau ada warga sendiri, keluarga, atau yang bernasab NU itu lebih utama, karena bagaimanapun calon tersebut dipastikan akan menjaga sejarah dan martabat dari generasi-generasi pendahulunya,” tandasnya.
“Kita meyakini bahwa keturunan, baik anak maupun cucu, apabila diberikan amanah menjadi pemimpin, maka besar kemungkinan ada andil perjuangan orang tua atau mungkin kakek buyutnya yang cukup signifikan pada lembaga maupun organisasi itu. Dalam konteks ini, terdapat calon yang mempunyai nasab atau keturunan orang NU tetapi tidak begitu besar kiprahnya di NU. Namun tirakat dan pengabdian orang tuanya besar kepada NU, dan ini bisa ditelusuri sejarahnya. Hal ini diyakini oleh berbagai kalangan, termasuk di pesantren. Begitu juga kalau masih ada trah ke-NU-an, maksudnya bukan dinasti; bagi saya, ini adalah hal utama. Soal menang atau kalah itu urusan Allah, yang penting berikhtiar dengan baik. Yang tidak kalah penting untuk diingat, bahwa semuanya itu baik yang memilih dan dipilih bakal ada pertanggungjawabannya. Di akhirat nanti ada pertanyaan, dengan siapa kamu berteman waktu di dunia,” imbuhnya. (Ans).