Berita

Menanti Siapa Walikota Blitar Mendatang, Responsif Terhadap Persoalan Petani Dan Pertanian

360
×

Menanti Siapa Walikota Blitar Mendatang, Responsif Terhadap Persoalan Petani Dan Pertanian

Sebarkan artikel ini

Blitar, HarianForum.com – Tidak memetik atau sengaja membiarkan buah tomat yang sudah matang hasil panen berjatuhan, menurut Sapto Pranandoyo sebenarnya bukan hanya didasari karena anjloknya harga tomat di pasaran yang berkisar 2 ribu per kilogram. Namun petani yang tinggal di Kelurahan Tanggung, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar, mengungkapkan bahwasanya pengepul yang membeli hasil panennya lebih memilih buah tomat yang masih berwarna hijau atau mentah, sehingga tomat yang sudah matang yang berwarna merah tidak laku dijual.

Besar kemungkinan tidak ada keseimbangan pasar dimana hasil panen tomat yang saat ini sedang melimpah, sedangkan permintaan terhadap buah dari tumbuhan asli Amerika Tengah dan Selatan, dari Meksiko sampai Peru ini terjadi penurunan cukup tajam, yang diperkirakan karena sepinya pasar dampak dari lemahnya daya beli konsumen.

Meruahnya hasil panen yang tidak seimbang dengan permintaan dari konsumen, menyebabkan terjadinya penumpukan salah satu komoditas hortikultura, membuat para pengepul harus berhitung dengan membeli tomat yang masih mentah dengan mengingat buah yang akan dijual ke para pedagang sudah matang sesuai waktunya. Sementara bagi petani, tidak lakunya buah tomat yang sudah matang menimbulkan kerugian yang tidak bisa dihindari.

Selain tomat, Sapto juga menanam cabe tampar menyampaikan dengan memberikan kondisi yang terjadi, kerugian dipastikan dialami dikarenakan biaya produksi yang tinggi sedangkan harga jual hasil panen yang rendah, diakui dirinya sangat sulit untuk bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Kepada HarianForum.com (6/9), dijelaskan selain biaya untuk pupuk dan obat tanaman untuk mengendalikan ulat buah, ulat tanah, lalat buah, kutu kebul dan organisme pengganggu tanaman lainnya yang tinggi, biaya untuk pengairan juga tidak sedikit pada musim kemarau.

“Tomat dan cabe cukup sulit pada saat ini karena harganya murah, sementara pupuk mahal dan air juga mahal yang mana dalam cengkal 100 biayanya 120 ribu. Mengenai tomat malah lebih sulit, di pasar saat ini tomat 2 ribu per kilonya dan tomat yang sudah matang tidak laku karena permintaan dari pembeli menginginkan buah tomat yang masih mentah. Harapan saya, pemerintah bisa membuat harga menjadi stabil,” jelasnya.

Mengambil informasi dari lembaga pemerintah yang memiliki tugas di bidang meteorologi, klimatologi, kualitas udara dan geofisika dimana memproyeksikan bahwa musim kemarau tahun 2024 akan berlangsung panjang, dimulai bulan Juni hingga bulan September, dengan puncak kemarau pada bulan Agustus. Kemarau panjang menyebabkan terjadinya kekeringan berdampak serius pada komoditas pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat.

Menyikapi musim kemarau panjang, Ganjar Asmorotanto dengan dampak yang dibawa terhadap pertanian, salah satu pakar dan pengamat pertanian Blitar menuturkan pengelola pertanian sebijaknya saat ini lebih kreatif terhadap tanaman pangan yang akan dibudidayakan dengan tidak terfokus hanya pada satu jenis tanaman, akan tetapi harus melakukan inovasi – inovasi sesuai dengan musim yang sedang berjalan.

Ganjar menambahkan penuturannya, untuk menjaga ketahanan pangan dalam menghadapi musim kemarau panjang, pemerintah sebijak mungkin melakukan kebijakan pembangunan jaringan irigasi serta penampungan air hujan di musim hujan atau dikenal embung, dengan melihat serta merasakan musim kemarau panjang yang dipastikan berdampak dengan ketersediaan air, tidak hanya dipergunakan lahan pertanian dan persawahan namun juga untuk masyarakat yang membutuhkan.

“Petani harus lebih kreatif karena curah hujan tidak wajar, maka dibutuhkan inovasi yang intinya petani memilih tanaman tidak beresiko. Saat ini padi cukup beresiko tidak seperti yang lalu – lalu dimana setahun bisa panen dua kali, dan mungkin sekarang yang aman panen satu kali. Jadi memang harus memilih tanaman yang tahan dengan kekeringan, ubi jalar misalnya. Jagung dimungkinkan juga bisa, dengan berspekulasi bila airnya tidak mencukupi maka tanamannya bisa dijadikan pakan ternak. Petani harus mempunyai plan A plan B, berfikir matang dengan manajemen resiko, petani harus mampu memahami kondisi saat ini berbeda kondisi dengan sebelumnya,” tuturnya.

“Kebijakan pemerintah juga harus hadir dengan pembangunan infrastruktur jaringan irigasi atau mungkin embung yang nantinya digunakan untuk mempertahankan air hujan tidak langsung kembali ke laut. Sedangkan persoalan naik turunnya harga sayur seperti sekarang, saya pikir mungkin terkait daya beli,” pungkas Ganjar Asmorotanto.(Ans).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *