Pertanian

Mengurai Benang Kusut Food Estate Di Lahan Gambut

859
×

Mengurai Benang Kusut Food Estate Di Lahan Gambut

Sebarkan artikel ini
Ganjar Asmorotanto, S.P., pakar pertanian.

Blitar, HarianForum.com- Beredar kabar polemik pelaksanaan food estate merupakan sebuah kejahatan lingkungan, masih menjadi bahan perbincangan cukup hangat dikalangan masyarakat, terutama bagi para profesi yang berhubungan atau menggeluti dunia pertanian.

Proyek yang dituding menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan dengan terjadinya pembalakan hutan, namun tidak memperoleh hasil. Bahkan tudingan yang dilontarkan, juga merembet adanya indikasi aliran dana kepada sebuah kelompok kepentingan.

Dalam satu pandangan, memang tidak dipungkiri proyek food estate sangat berkaitan dengan pembukaan lahan dan berdampak pada deforestasi yang berpotensi berkurangnya flora fauna bahkan juga dianggap menjadi pemicu bencana.

Namun disudut pandang lainnya, food estate merupakan langkah kebijakan membangun pertanian terintegrasi dengan tujuan memperkuat ketahanan pangan, tidak hanya dalam jangka pendek namun juga mengacu pada ketahanan pangan jangka menengah dan jangka panjang, sehingga diperlukan mengembangkan kawasan lumbung pangan yang berbasis usaha petani.

Pandangan tersebut disampaikan Ganjar Asmorotanto, S.P. , salah satu penggiat dan pakar pertanian kota Blitar kepada HarianForum.com, ditemui dikediamannya perumahan GKR Sananwetan, Kota Blitar, Jumat (18/8).

“Polemik yang mencuat selayaknya disikapi dengan menggunakan lebih dari satu sudut pandang, dan tidak diarahkan membentuk opini kepentingan sebuah kelompok , karena permasalahan tersebut sangat berhubungan dengan hajat hidup orang banyak atau masyarakat. Menurut pemikiran saya, proyek pengembangan food estate merupakan sebuah upaya untuk menjawab persoalan ketahanan pangan terutama di masa yang akan datang,” jelasnya.

“Tetapi untuk mendukung pelaksanaan program tersebut, harus melakukan alih fungsi.Kalau food estate tersebut dalam skala besar maka alih fungsi lahan yang dilakukan tentunya juga dalam skala besar. Dan hal ini menimbulkan dampak yang negatif dan mempengaruhi atau merubah lingkungan,” imbuhnya.

Ditanya konsep ideal dan pelaksanaan food estate pada lahan gambut yang sedang menjadi perbincangan khalayak karena dianggap tidak efektif bahkan menemui kegagalan, alumni Institut Pertanian Bogor, jurusan budidaya tanaman menyampaikan argumentasinya, timbulnya.stagnasi dan permasalahan program food estate bisa dihindari, dengan suarat proyek tersebut dilakukan tanpa adanya campur tangan atau keterlibatan pihak yang mengambil kesempatan untuk tujuan profit semata.

Ganjar Asmorotanto menambahkan penjelasan, tanah atau lahan gambut merupakan lahan yang terbentuk dari timbunan material organik baik dari sisa tumbuhan dan binatang yang telah membusuk di tanah. Kerusakan lahan gambut tidak bisa dipulihkan kembali dan pada kondisi kekeringan sangat berpotensi sebagai sumber bencana lingkungan, terutama terjadi kebakaran hutan.

“Menurut studi kelayakan, sebenarnya akan menyimpulkan bahwa food estate di lahan gambut dalam kategori tidak layak, tetapi sepertinya ada pihak yang memaksakan kehendak. Lahan gambut mempunyai problem besar, diantaranya kemasaman tanah dan resiko kebakaran.Bila ditinjau dari kesesuaian lahan, sebenarnya tidak layak untuk tanaman pangan.Adapun kategori kelayakan sedang pada lahan gambut untuk tanaman kelapa sawit, kelapa dan kopi excelsa,” ungkap Ganjar Asmorotanto, yang kerap didapuk nara sumber persoalan pertanian.

“Mengenai faktor kegagalan, penyebab utamanya adanya proyek yang tidak feasible secara teknis. Dalam pandangan saya, selain kemungkinan adanya arogansi keilmuwan dari akademisi, juga teknokrat yang diindikasikan menjadi refrensi agar terkesan menjadi proyek mercusuar, kemudian diarahkan untuk penyerapan dana besar yang kemungkinannya untuk pekerjaan pembersihan lahan, konstruksi parit juga kontruksi jalan,” pungkasnya.(Ans)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *