Bogor, HarianForum.com- Koordinator nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan atau KRKP, Said Abdullah menyampaikan pendapat, karena bahan pangan yang ada di Indonesia banyak diimpor dari pasar global, tidak menutup kemungkinan krisis pangan global dampaknya terasa sampai di Indonesia.
Said Abdullah menambahkan pemikirannya, apabila terjadi krisis pangan global, kenaikan harga pangan dipastikan bakal mengikuti dan sangat berpotensi menjadi salah satu penyebab inflasi yang tinggi, serta berimbas pada kestabilan ekonomi nasional.
Dimisalkan Said Abdullah pada saat ini terjadi di negara Inggris, kondisi kekurangan pangan dialami warganya yang dipicu beberapa faktor, selain krisis ekonomi akibat Covid – 19 juga ketegangan dan perang antara Rusia dengan Ukraina yang terus berkecamuk.
Ayip sapaan Said Abdullah, mengungkapkan bahwasanya kenaikan harga pangan global akan berimplikasi pada kenaikan harga pangan di dalam negeri, terutama pangan yang diimpor dari pasar global. Disebutkan Ayip, kedelai dan gandum merupakan dua komoditas pangan dimana pada setiap tahunnya diimpor cukup banyak.
“Sejak awal tahun, harga kedelai terus saja berfluktuasi. Situasi tersebut menyebabkan para pengrajin tahu dan tempe benar benar kelimpungan karena biaya produksi naik tapi, sedangkan harga ditingkat konsumen dirasa berat untuk dinaikkan. Memang sempat turun, namun pada bulan ini naik kembali. Yang kita ketahui bersama, lebih dari 75 persen kebutuhan konsumsi kedelai nasional dipenuhi dari impor, yaitu kedelai transgenik,” ungkapnya kepada Harian Forum.com ( 1/11).
“Sebuah problem yang cukup serius, dimana tahu dan tempe merupakan sumber protein hayati yang murah bagi masyarakat dan telah menjadi kebutuhan keseharian konsumen di Indonesia. Apabila terjadi kenaikan harga, tentunya dapat memukul tingkat konsumsi dan pemenuhan gizi masyarakat” imbuhnya.
Penggiat pertanian yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pangan bangsa, serta selalu menggaungkan hak-hak kaum petani menandaskan pada sisi lain kenaikan harga gandum sangat berpotensi menjadi persoalan.
Menurut Ayip, dikarenakan pada saat ini impor gandum di Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir rata-rata impor gandum 10 juta ton.
Gandum dan produk turunannya diakui juga menjadi pangan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat. Ayip mengingatkan beras dan gandum merupakan sumber karbohidrat utama, maka apabila terjadi gangguan harga, yang pasti sangat mempengaruhi tidak terpenuhinya asupan energi.
“Dampak lebih jauh tentu saja bisa mendorong inflasi karena harga pangan yang naik. Kita tahu inflasi pada kondisi normal sekalipun, sering kali disebabkan adanya kenaikan harga. Jika kondisi seperti ini terus terjadi, bukan tidak mungkin terjadi krisis ekonomi,” ujar Ayip.
Lebih lanjut, ia memgatakan, Saat ini seharusnya menjadi momentum penting bagi kita untuk melakukan perubahan sistem pangan. Bergerak dari tahan pangan ke daulat pangan, artinya kita harusnya segera bersungguh sungguh melakukan perubahan dengan memperkuat produksi pangan dalam negeri dengan memperkuat petani.
Menempatkan petani sebagai subyek, dengan upaya menumbuhkan produksi dalam negeri dengan harapan bisa menekan impor.Kita ketahui bersama, bahwa impor tidak hanya memperlemah produksi dalam negeri, namun juga menyebabkan negara semakin terjebak jeratan impor pangan, salah satu contoh gandum.
Maka sudah saatnya kita berani mendorong substitusi ke tepung tepungan lokal, dengan penguatan produksinya, dengan kebijakan yang kuat serta dukungan anggaran yang memadai tanpa melupakan keterlibatan petani sebagai subyek didalamnya.(Ans)