Uncategorized

60 Tahun Berkhidmat, Hj. Af’idah Tokoh Muslimat NU Blitar Tetap Komitmen Menjaga Netralitas dalam Pilkada 2024

25
×

60 Tahun Berkhidmat, Hj. Af’idah Tokoh Muslimat NU Blitar Tetap Komitmen Menjaga Netralitas dalam Pilkada 2024

Sebarkan artikel ini
Hj.Af'idah, 60 tahun berkhidmat di NU

Blitar, Harian Forum.com – Secara pribadi, setiap anggota Muslimat NU Kabupaten Blitar bebas menggunakan hak pilihnya maupun melakukan kampanye pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Blitar 2024. Namun, tidak boleh membawa lembaga dalam keberpihakan kepada salah satu pasangan calon kepala daerah. Disampaikan oleh salah satu tokoh Muslimat NU Kabupaten Blitar, Hj. Af’idah, bahwa sikap netralitas dalam politik praktis seharusnya tidak lagi menjadi persoalan bagi badan otonom perempuan Nahdlatul Ulama Kabupaten Blitar. Keputusan ini telah dimusyawarahkan pada pilkada sebelumnya, di mana sembilan orang tokoh Muslimat NU Kabupaten Blitar, atau dikenal sebagai Tim 9, menyatakan kesepakatannya bahwa Muslimat NU Kabupaten Blitar bersikap netral. Namun, bagaimana implementasinya, termasuk adanya aksi dukung-mendukung, Hj. Af’idah mengungkapkan bahwa urusan tersebut merupakan tanggung jawab personal pengurus di tingkat atas.

Pengajian Ahad Pon, Masjid NU Sutojayan

“Memang hasil musyawarah Muslimat di Grand Mansion, Bu Luki mengatakan bebas, dan kalau mau menjadi tim sukses dan berkampanye silakan, tapi tanggalkan baju Muslimat. Waktu kita bermusyawarah di Graha NU juga begitu, di pengajian-pengajian juga begitu, sebelumnya dikatakan bebas. Tapi kita tidak tahu, ada angin apa yang berhembus sampai terjadi perubahan. Ya, anggap saja semua itu dinamika. Kalau yang di bawah, sampai tingkat ranting, semuanya pandai-pandai dan mereka punya sikap sendiri. Usia saya 80 tahun, anak-anak saya tidak memperbolehkan saya terlibat kampanye. Saya sudah lama berjuang di Muslimat hingga bisa mendirikan PAC Wates dan PAC Wonotirto, merintis santunan yatim di Sutojayan 4 hingga 5 juta setiap anak dalam setiap santunan, dan juga santunan di Wonotirto dan di Ngeni. Bagi saya, itu adalah surga, karena dunia saya bukan politik, tapi sosial,” tandas Hj. Af’idah kepada Harian Forum.com saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar (16/11).

Selain komitmen netralitas Muslimat NU dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Blitar 2024, ada yang menarik pada saat berbincang-bincang dengan tokoh Muslimat NU Kabupaten Blitar Hj. Af’idah, yang telah berkhidmat di Nahdlatul Ulama Blitar selama 60 tahun, melintasi dua orde dan satu masa reformasi. Di usia 80 tahun, Hj. Af’idah masih mengingat runtutan peristiwa dari Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reformasi. Memulai momen sejarah pada Orde Lama dengan digelarnya peringatan HUT Republik Indonesia pada tahun 1965, di mana dalam perayaan kemerdekaan tersebut digelar pawai dan perlombaan puluhan pleton drumband serta atraksi puluhan rombongan Liang Liong atau Barongsai yang mewah.

Hj. Af’idah menyampaikan bahwa pada saat itu, Nahdlatul Ulama Kota dan Kabupaten Blitar belum terpisah. Dalam mengikuti perlombaan drumband, sayangnya pasukan drumband Ansor dan Fatayat mengerahkan sendiri-sendiri setiap daerah atau setiap kawedanan, sehingga satu pleton drumband yang tampil hanya terdiri dari 15 sampai 20 orang, yang bisa dikatakan sudah maksimal. Sementara itu, pasukan drumband PKI dari Kawedanan Wlingi dan pasukan drumband Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dari Kota Blitar terlihat besar dan solid.

Mengingat sejarah 59 tahun silam, Hj. Af’idah mengaku bahwa perayaan kemerdekaan saat itu merupakan perayaan yang termegah. Ia masih mengingat ucapan yang disampaikan neneknya, Mbok Nyai Arofah, yang rajin tirakat, begitu terheran dengan gegap gempitanya perayaan kemerdekaan yang digelar pada bulan Agustus secara berlebihan. Mbok Nyai Arofah mengaku dalam sepanjang hidupnya baru sekali melihat perayaan kemerdekaan seperti itu dan bahkan bertanya-tanya bakal ada apa. Ternyata, ucapan dan pertanyaan Mbok Nyai Arofah merupakan firasat, karena satu bulan kemudian terjadi peristiwa berlatar belakang kudeta yang dikenal dengan Gerakan 30 September atau G30S.

“Drumband PKI dan Baperki terdapat pasukan inti, satu pleton drumband dengan lebih dari 60 orang mengenakan pakaian merah, alatnya banyak serta suaranya bergemuruh. Maka dalam perlombaan, Baperki mendapat nomor satu, sedangkan PKI nomor dua. Sementara Fatayat dan Ansor, personel drumband yang keluar tampil sedikit-sedikit. Orang-orang NU memang begitu, dari dahulu sulitnya bersatu dan selalu membuat kelompok sendiri-sendiri,” terang Hj. Af’idah, dengan mata berkaca-kaca mengingat kembali perayaan HUT Republik Indonesia 1965.

Melanjutkan cerita dengan situasi dan kondisi politik sebelum tahun 1965, Hj. Af’idah menuturkan bahwa pada waktu itu Gerakan Pemuda Ansor dan Fatayat merupakan organisasi badan otonom NU yang eksis. Sementara itu, Muslimat NU hanya menjadi rujukan untuk meminta doa serta dukungan moral juga donatur kegiatan. Mulai tahun 1971, kegiatan Ansor dan Fatayat menjadi pasif bahkan vakum, hal ini karena banyaknya anggota Ansor dan Fatayat yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk mengisi posisi aparatur pemerintah yang kosong, terutama guru-guru yang terlibat PKI.

“Pada waktu sebelum dan sesudah G30S, peran Muslimat hanya diminta doa oleh anak-anak muda, mungkin kepada Bu Haji Mudawari dan lainnya. Jadi yang berperan memang Fatayat dan Ansor, yang bergerak adalah anak-anak muda. Bahkan setelah G30S ada Fatser, dan saya pernah menjadi Fatser, yaitu Fatayat Banser, istilahnya Bansernya perempuan. Namun, beberapa tahun kemudian berubah karena banyaknya anggota Ansor dan Fatayat yang menjadi PNS,” tutur salah satu penasihat Muslimat NU Kabupaten Blitar.

Seiring bergesernya waktu dan berubahnya konstelasi politik, peran Muslimat NU mulai terlihat pada saat Orde Baru. Perubahan tersebut merupakan dampak dari banyaknya anggota Ansor, Fatayat, IPNU juga IPPNU yang menjadi pegawai negeri dan tidak berani mengaku sebagai warga atau anggota NU, karena untuk menjadi pegawai negeri harus menjadi anggota partai politik Golongan Karya. Dengan demikian, organisasi Fatayat, Ansor, IPNU, dan IPPNU tidak ada kegiatan sama sekali.

Tekanan politik rezim Orde Baru tidak hanya dirasakan oleh pegawai negeri, tetapi juga setelah tahun 1969 dan 1971. Intervensi politik juga dirasakan oleh Hj. Af’idah dan suaminya serta teman-temannya yang “dikandangkan” karena persoalan penggantian nama sekolah dengan mengharuskan hanya menggunakan Islam saja, tanpa NU. Namun dengan keteguhan hati, Hj. Af’idah, suaminya, dan teman-temannya tetap mempertahankan nama NU, karena memegang amanah dari orang-orang NU yang mendirikan sekolah, dan hingga saat ini nama tersebut masih terpampang.

Hj. Af’idah juga bercerita tentang tahun 1968 hingga 1970, di mana Hj. Siti Fatimah mulai berjuang merintis pengajian di tiap-tiap kecamatan dengan kondisi alam pegunungan kapur selatan yang curam serta perbukitan, berbeda dengan Lodoyo (Sutojayan) yang sudah memiliki infrastruktur jalan yang lebih baik dan situasi yang relatif aman. Meski begitu, Lodoyo, yang merupakan wilayah Blitar selatan, termasuk dalam zona karantina politik dengan pengawasan dan doktrin dari rezim Orde Baru melalui aparat pemerintah mulai dari kelurahan, kecamatan, kepolisian sektor hingga komando rayon militer. Menghadapi kondisi alam yang sulit, minimnya infrastruktur, serta situasi politik yang ada, tidak menyurutkan perjuangan Hj. Siti Fatimah dalam merintis pengajian-pengajian warga NU, meskipun yang hadir hanya 40 sampai 50 orang, dan paling banyak sekitar 100 orang.

“Waktu itu Muslimat mulai bergerak, karena anggota Muslimat banyak yang sudah tua dan tidak terlalu berpikir ekonomi dan prestise, sehingga Muslimatnya hidup kembali. Sedangkan Fatayat mulai hidup setelah tahun 1985, karena PNS sudah boleh kembali menyatakan NU. Kalau sekarang ada yang bilang, ‘Saya PNS dan Fatayat tapi tidak apa-apa,’ maka saya jawab, itu sekarang, coba dulu ada yang berani bilang begitu. Maka Muslimat menjadi eksis karena Fatayat dan Ansor, IPNU, IPPNU tidak berani bergerak pada saat itu. Muslimat itu perjuangannya juga besar, pada masa Orde Baru merintis pengajian halangannya tidak sedikit. Saya waktu di Wonotirto dipanggil lurah, mau mengadakan pengajian di Kaulon oleh Koramil disuruh mencari surat pendirian, hingga semalam tidak tidur. DiSutojayan pun juga begitu, jadi halangannya seperti itu.Yang pasti pada saat itu, Muslimat bisa terus eksis karena tidak terbeban oleh persoalan ekonomi, kebanyakan anggotanya memiliki usaha sendiri,” pungkasnya.(Ans).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *